Home » Jurnal (Page 6)

Category Archives: Jurnal

RESTRUKTURISASI ORGANISASI DALAM RANGKA REFORMASI ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH

RESTRUKTURISASI ORGANISASI DALAM RANGKAREFORMASI ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH
(Studi Pada Pemerintah Kabupaten Aceh UtaraProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Restructurization Organization in Administrative Reformation Distric Govermnt (Study at Distric Goverment North Aceh, Province of Nanggroe Aceh Darussalam)

Muklir
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Ismani HP
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang

Heru Ribawanto
Fakultas Ilmu AdministrasiUniversitas Brawijaya Malang
SUMMARY
Muklir, Public Administration Department, Specialization of Public Policy, Post-Graduate Program of Brawijaya University, December 11th 2003, Restructurization Organization In Administrative Reformation Distric Goverment (Study at North Aceh, Province of Nanggroe Aceh Darussalam).Supervisor:Prof.Drs.Ismani HP,MA, Co-Supervisor: Drs. Heru Ribawanto,MS.
Administrative reformation included aspects of structure, attitude and behavior that hasbeen very important substance on local development process, because of administrativecapacity weakness that caused development program not good efficiently and effectively working. Giving extensive autonomy to NAD province in special autonomy, based on UU No. 18 Year 2001, is the appropriate policy to enhance the local. This research aimed at describing, analyzing and interpreting organizational structure reformation, attitude and behavior alteration of public servants of North Aceh Regency on responding to special autonomy. This research used qualitative approach with interview, observation and documentation as data collection technique. Collected data was been analyzed with data analyzing of interactive model.
The result shown that organizationstructure that has been built was more aimed to local culture. Reformation of organizationstructure on special autonomy comprised name changing of organization/function on the government, those are: Regency/regent to be Sagoe / Wali Sagoe, Sub-District / Sub-District Head to be Sagoe Cut / Wali Sagoe Cut, formed again government of Mukim, Majelis Musyarawah Mukim, rapat Adat Mukim, Imum Chik / Peutua Chik and Panglima Laot / Panglima Lhok. Rural / Rural Head to be Gampong / Keuchik, formed Dinas Syariat Islam Sagoe, adding of Section Pelaksanaan Syariat Islam and Sub-Section of Custom Development Sub-Sectionat Secretariat of Sagoe Cut, Adding of Gampong instrument which comprises: Tuha Adat, Keujuren Blang and Peutua Seuneubok, LMD or Rural Society Organization to be Tuha Peuet, Perda (Local Regulation) and Peraturan Desa (Rural Regulation) to be Qanun Sagoe/Qanun Gampong and writing of the name board of Office/Institution with Arab-Malay (Jawi letter). With structure alteration and nomenclature of organization mirroring the higher of complexity, formalization and centralization.
Attitude and behavior alteration of apparatus to respond special autonomy on aspectof attention, understanding, receiving and retention actually just occurred at top level (Regent), at middle level just occurred in the attention, understanding and receiving, while at bottom level still not optimal yet, it was mirrored by the low of attitude alteration. The absence attitude alteration of apparatus at middle and bottom level was caused by low optimization of socialization process to special autonomy. Aparatus attitude agree with Syariat Islam stillbeen constrained by no Qanun Formil. The late of Qanun legalization about authority between Province of NAD and Sagoe/Banda have made different view to respond special autonomy.
Based on above phenomenon, suggestedto formulate and regulate Qanun Program that has been priority of special autonomy implementation, optimize socialization process,so then appeared retention for all apparatus. Tooptimize Qanun arrangement process, it is neededsuggestions from Academicians, Ulama, Custom Figure and other Organization who understand about special autonomy mission.
Keywords : Administrative Reformation, Special Autonomy.

RINGKASAN
Muklir, Program Studi Ilmu AdministrasiNegara, Kekhususan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 11 Desember 2003, Restrukturisasi Organisasi Dalam RangkaReformasi Administrasi Pemerintah Daerah (Studi Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Komisi Pembimbing, Ketua: Prof,Drs.Ismani HP,MA Anggota:Drs.Heru Ribawanto, MS.

Dimensi reformasi administrasi meliputi aspek struktur, sikap dan perilaku yang merupakan unsur yang sangat penting dalam proses pembangunan daerah karena lemahnya kapasitas administratif mengakibatkan program pembangunan tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Pemberian otonomi yang luas kepada Provinsi NAD dalam bentuk otonomi khusus berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 merupakan kebijakan yang tepat untuk memberdayakan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan proses reformasi struktur organisasi, perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus melalui pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisa data model interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Reformasi struktur organisasi dalam otonomi khusus meliputi perubahan sebutan organisasi/jabatan dalam pemerintahan yaitu: sebutan Kabupaten/Bupati menjadi Sagoe/Wali Sagoe, Kecamatan/Camat menjadi Sagoe Cut/Wali Sagoe Cut, dibentuk kembali Pemerintahan Mukim di bawah Sagoe Cut dengan perangkat Mukim yang terdiri dari Sekretaris Mukim, Majelis Musyawarah Mukim, Rapat Adat Mukim, Imum Chik, Keujruen Chik/Peutua Chik dan Panglima Laot/Panglima Lhok. Desa/Kepala Desa menjadi Gampong/ Keuchik, dibentuk Dinas Syariat Islam Sagoe, Penambahan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat serta Sub Seksi PelaksanaanSyariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adatdi Sekretariat Sagoe Cut, Penambahan perangkat Gampong yang terdiri dari Tuha Adat, Keujruen Blang dan Peutua Seuneubok, LMD menjadi Tuha Peut, Perda dan Peraturan Desa menjadi Qanun Sagoe/Qanun Gampong serta penulisan papan nama Kantor/Lembaga dalam Bahasa Arab-Melayu (huruf Jawi). Dengan perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tinggi kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
Perubahan sikap dan perilaku aparatur dalammenyikapi otonomi khusus dari aspek atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi ternyata hanya terjadi di tingkat pimpinan atas (Wali Sagoe/Bupati), di tingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman dan penerimaan namun belumdiwujudkan dalam bentuk retensi. di tingkatbawah, atensi, pemahaman dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan sikap. Belum terjadinya perubahan perilaku aparatur di tingkat menengah dan tingkatbawah disebabkan masih belum optimalnya proses sosialisasi terhadap otonomi khusus. Perilaku aparatur yang didasarkan pada nilai-nilaiSyariat Islam masih terkendala karena belum adanya Qanun formil. Keterlambatan pengesahan Qanun tentang kewenangan antara Provinsi NAD dengan Sagoe / Banda telah menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi otonomikhusus.
Berdasarkan fenomena di atas penulis merekomendasikan agar segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Qanun yang menjadi perioritas sebagai aturan pelaksana otonomi khusus, mengoptimalkan proses sosialisasi, sehingga menimbulkan retensi bagi semua aparatur. Untuk mempercepat proses penyusunan Qanun dapat meminta masukan dari Akademisi, Ulama, Tokoh Adat dan Lembaga lainnya yangmemahami otonomi khusus
PENDAHULUAN Latar Belakang
Meningkatnya perhatian pada pendekatandesentralisasi dalam pembangunan negara-negara berkembang termasuk Indonesia terutama disebabkan berbagai kegagalan dengan pendekatan sentralistis yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial seperti se
makin melebarnya kesenjangan (gap)antara yang kaya dan miskin, antar kota dan desa,antar sektor ekonomi dan daerah. Pada masa lalu terutama di era Orde Baru sistem pemerintahan Indonesia sangat sentralistis, hampir semua kebijakan publik diputuskan oleh pemerintah pusat dan secara seragam diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Sistem sentralistik dan penyeragaman secara berlebihan mengakibatkanberbagai fenomena keberagaman kondisi, letak geografis, budaya dan sebagainya yang kenyataannya sangat beragam diabaikan, sehingga dapat menghambat kreativitas daerah untuk berkembang dan menciptakan kepatuhan masyarakat dan aparat di daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah telah ditetapakan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan dilengkapi dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusatdan Daerah. Namun demikian bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kedua UU tersebut dianggap belum menampung sepenuhnya hak asalusul keistimewaan yang dimiliki Provinsi ini, terutama substansi keistimewaan Aceh belum dapat terealisasi baik menyangkut masalah keadilan maupun kesejahteraan dan pembangunan daerah menjadi kurang seimbang dibandingkandengan pembangunan di Provinsi lain. Provinsi NAD dan khususnya Kabupaten Aceh Utara dengan kekayaan alam yang melimpah belum dapat memberikan kontribusi yang berarti untukkesejahteraan rakyat. Hal ini tercermin dari kondisi masyarakat hampir 60 % hidup dalamkeadaan miskin (Kompas,17 April 2001)

Permasalahan Aceh semakin rumit denganmunculnya masalah sosial politik dan konflik vertikal sehingga kondisi ini semakin terpuruk. Munculnya berbagai tuntutan masyarakat yangdianggap tepat untuk menyelesaikan persoalan ini ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan ProvinsiDaerah Istimewa Aceh.
Dengan dikeluarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang merupakan political will pemerintah pusat atas keistimewaan Aceh dalam bidangpenyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupanadat dan peran Ulama dalam penetapan kebijakandaerah, memunculkan kembali berbagai tanggapan dan reaksi dari masyarakat karena dengan UU tersebut tidak cukup untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan.
Mencermati masalah Aceh yang sangat kompleks dan mendesak untuk dicarikan jalan penyelesaiannya secara adil, komprehensif dan berwawasan kedepan sebagai upaya untuk mengakomodasi, mengartikulasi aspirasi yang bervariatif maka substansi keistimewaan diatur lebih rinci dengan suatu UU yang kemudian terbitlah UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi NAD. Titik berat otonomikhusus berada pada Provinsi NAD yang pelaksanannya pada Kabupaten/Kota. Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten lainnya yang ada dalam Provinsi NAD disamping memiliki kewenangan yang luas berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memiliki kewenangan pelaksanaan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD yang meliputi seluruh bidang Pemerintahan kecuali kewenangan bidang Politik Luar Negeri, Pertahanan Eksternal dan Moneter. Otonomi khusus menitikberatkan pada empat pondasi utama yaitu : (a) Pemberlakuan Syariat Islam
(b) Bagi hasil sumberdaya alam. (c) Pemilihan langsung kepala daerah dan d) Penerapan budayalokal ke dalam struktur pemerintahan daerah.
Dengan kewenangan yang dimiliki Provinsi NAD dan khususnya Kabupaten AcehUtara melalui otonomi khusus memberikan harapan akan terwujudnya pemerintahan dan pembangunan dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang selama ini tertinggal jauh.Namun demikian hal ini sangat tergantung pada upaya pemerintah daerah dalam menyikapi otonomi khusus itu dengan gerakan-gerakan pembaharuan yang salah satu di antaranya melalui reformasi administrasi yang meliputiaspek struktur, sikap dan perilaku aparatur yangselaras dengan semangat otonomi khusus gunameningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat untuk mencapai tujuan pembangunan.
Rumusan Masalah
1 Bagaimanakah proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utaradalam otonomi khusus ?
2 Bagaimanakah perubahan sikap dan perilakuAparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus ?

Tujuan Penelitian
1 Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utaradalam otonomi khusus
2 Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan perubahan sikap dan perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus.

Manfaat Penelitian
1 Secara teoritis, diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan konsep reformasi administrasi dan menjadi bahan komparasi bagi peneliti lain yang berkeinginan mengkaji masalah reformasi administrasi.
2 Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan (input) bagi Pemerintah/DPRD Sagoe Aceh Utara dan Pemerintah dan DPRD Provinsi NAD dalam perumusan danimplementasi kebijakan reformasi administrasi.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang struktur organisasi, sikap dan perilakuaparatur pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus.
Fokus Penelitian
1. Proses reformasi struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam otonomi khusus, meliputi kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi
2 Perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus, meliputi atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada PemerintahKabupaten Aceh Utara Provinsi NAD. Penentuanlokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive).

Sumber Data
1 Informan, yaitu ditentukan secara sengaja

(purposive) pada subjek yang dianggap
menguasai permasalahan. yaitu : Kalangan
Birokrat, Anggota DPRD, Pengamat
Pemerintah Daerah , Akademisi dan Tokoh

Masyarakat. 2 Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atausituasi, fenomena yang terjadi yang relevandengan fokus penelitian. 3 Dokumen, yaitu berbagai dokumen yang

memiliki relevansi dengan fokus penelitian.

Teknik Pengumpulan Data :
1 Wawancara,
2 Observasi dan
3 Dokumentasi.

Analisis Data
Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisa interaktif (interactive model of analysis) yaitu mulai dari data reduction, data display dan Verivication conclution / Verification drawing(Miles dan Huberman,1992:16-21)
Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, keabsahan data menggunakan kritera credibility, transferability, dependability dan Confirmability (Moleong, 1997:173-175)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Profil Lokasi Penelitian
Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu Kabupaten yang berada dalam Wilayah Provinsi NAD. Dilihat dari konsepsi pembangunan wilayah ini termasuk kedalam kawasan industri. Luas wilayah 3.477,92 km2, berada 275 km sebelah timur kota Banda Aceh Ibu Kota Provinsi NAD terletak pada garis 96,20°sampai 97,21° Bujur Timur dan 4,54° sampai 5,18° Lintang Utara. berbatasan sebelah Utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan denganKabupaten Aceh Tengah, sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bireuen yang merupakan Kabupaten Baru yang sebelumnyatermasuk dalam Kabupaten Aceh Utara.
Dilihat dari segi sosial ekonomi, sebagian besar Gampong masuk dalam peta Inpres Desa Tertinggal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di Kabupaten AcehUtara tedapat sebanyak 366 Gampong miskin dari 850 Gampong yang ada. Kenyataan ini menjadikan Kabupaten Aceh Utara sebagai Kabupaten yang memiliki Gampong miskin terbanyak dibandingkan dengan Kabupaten lainnya yang ada di Provinsi NAD.
Sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimil
iki Kabupaten Aceh Utara, sekitar 65,82 % dari angkatan kerja bekerja pada Sektor Pertanian dan Perikanan, Sektor Perdagangansebesar 1,27 %, Sektor Industri 9,28 %, Sektor Jasa 5,80 % dan lain-lain sebesar 17,83 %.
Keadaan Pemerintahan
Kabupaten Aceh Utara dibagi dalam 17 Kecamatan, 56 Mukim dan 850 Gampong. 1 Sekretariat Daerah Sagoe, 1 Sekretariat DPRD Sagoe, 21 Dinas, 6 Badan, dan 6 Kantor.
Potensi Sumber Daya Aparatur
Jumlah aparatur pemerintah Kabupaten Aceh Utara sebanyak 1.551 orang, yangterbanyak berada pada Dinas Daerah yaitu 1.131 orang. Pegawai/aparatur yang memiliki golonganIII dan IV juga berada pada Dinas Daerah yaitu sebanyak 620 orang golongan III dan 115 orang golongan IV. golongan yang paling banyak dariseluruh Instansi yaitu golongan III mencapai 827 orang atau sebesar 53 % dari keseluruhan pegawai, sedangkan urutan berikutnya golongan II dan IV sebanyak 689 orang atau 44 %, golongan I merupakan golongan yang paling sedikit yaitu hanya 35 orang atau 2 %. Tingkat pendidikan SMU menunjukkan angka yang palingbesar yaitu 799 orang. berikut Sarjana sebanyak 539 orang dan yang berkualifikasi Magister hanya14 orang., Dilihat dari formasi jabatan sebanyak648 jabatan di jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Yang sudah mengikuti Diklat Pendidikan Penjenjangan adalah 499 orang atau77,5 %. Yang belum mengikuti Diklat Penjenjangan sebanyak 149 orang atau sebanyak22,5 % dari formasi jabatan yang sudah terisi..
Kemampuan Keuangan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) KabupatenAceh Utara mengalami fluktuasi. Pada dasarnyapendapatan Daerah naik cukup tinggi. Bila dilihatdari tahun 1997/1998 sampai tahun 1998/1999 mengalami penurunan yaitu sebesar Rp.
288.579.493 atau sebesar 1,07 % kemudian tahun 1999/2000 naik sebanyak Rp 11.343.747.591 atausebesar 26,67.%. Selanjutnya tahun 2000 turun lagi sebanyak Rp. 6.101.725.788 atau sebesar 60,05.%. kemudian tahun 2001 naik Rp. 3.190
993.283 atau sebesar 13,40 %.
Dengan diberikan otonomi khusus kepadaProvinsi NAD berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 maka Kabupaten Aceh Utara sebagaipenghasil gas alam mendapat porsi penerimaan yang cukup besar, sehingga total AnggaranPendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2002 yang telah ditetapkan dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2002 Tanggal 29 Juni 2002 mencapaiRp. 962.145.047.

Proses Reformasi Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
Reformasi struktur organisasi PemerintahKabupaten Aceh Utara yang disoroti dalam penelitian ini meliputi tiga komponen yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan proses reformasi struktur organisasi sebelum dan selamaotonomi khusus. Struktur organisasi dalam otonomi khusus lebih diarahkan pada budaya lokal dengan tahapan/proses reformasi sebagai berikut : (a) Bupati meminta usulan struktur dari Dinas, Lembaga Teknis Daerah Sagoe (Badan dan Kantor), Sagoe Cut, Mukim dan Gampong.
(b) Dinas, Lembaga Teknis Daerah Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong mengirimkan usulan struktur kepada Wali Sagoe (Bupati) melalui Kabag Organisasi (c) Kabag organisasimeneruskan kepada Bagian Hukum untuk dibahas bersama dalam suatu kepanitiaan yang dibentukoleh Wali Sagoe (Bupati) (d) Selesai dibahas panitia mengembalikan lagi kepada Bagian organisasie (e) Dengan surat pengantar Wali Sagoe (Bupati) diajukan kepada DPRD Sagoe (f) DPRD Sagoe mengadakan sidang dengan menyampaikan pemandangan umum terhadap usulan struktur yang diajukan Wali Sagoe(Bupati) (g) Wali Sagoe (Bupati) memberijawaban atas pemandangan umum anggota Dewan (h) DPRD menerima usulan yang kemudian ditetapkan dalam Qanun Sagoe.
Jika dicermati proses reformasi struktur organisasi pada pemerintah Sagoe Aceh Utara sebagaimana disebutkan diatas maka terlihat dengan jelas bahwa reformasi struktur organisasipemerintah Sagoe Aceh Utara diproses dari bawah (buttom up), sehingga struktur yang dibentuk merupakan kebutuhan nyata daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan kepadamasyarakat. Hasil dari proses reformasi struktur organisasi pemerintah Sagoe Aceh Utara sebagai berikut :
Struktur Organisasi Perangkat Daerah Sebelum Otonomi Khusus
Struktur organisasi perangkat dearah Kabupaten Aceh Utara sebelum otonomi khusus yang terdiri dari 1 Sekretariat Derah, 1 Sekretariat DPRD, 20 Dinas, 6 Badan 6 Kantor, 17 Kecamatan dan 56 Mukim dan 850 Gampong. Pembentukan dilakukan dengan beberapaPeraturan Daerah yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Strukturorganisasi tersebut merupakan perubahan dari struktur sebelumnya yatu sebagai berikut :1). Perubahan di Jajaran Dinas dan Lembaga
Teknis Daerah : .
a. Penggabungan Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi Dinas Kehutanan dan Perkebunan
b. Pengembangan Dinas Perikanan menjadiDinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Sosial menjadi Dinas Kesejahteraan Sosial,
c. Perubahan Kantor Departemen Tenaga Kerja menjadi Dinas Tenaga Kerja, Kantor Departemen Koperasi menjadi Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, Kantor Catatan Sipil menjadiDinas Pendaftaran Penduduk, Irwilkab menjadi Badan Pengawasan, Dinas PMDmenjadi Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Dinas Pendidikan, Kantor DepartemenPenerangan menjadi Dinas Informasi danKomunikasi.
d. Pembentukan Dinas baru yaitu Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Dinas Kependudukan dan Mobilitas Penduduk, Badan Kesatuan Bangsa danPerlindungan Masyarakat, Badan Diklat,Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL.PP), Kantor Arsip Daerah, Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan dan Dinas Pertahanan

2). Perubahan di Jajaran Sekretariat Daerah, meliputi :
a. Asisten Tata Praja yang sebelumnya empat Bagian terdiri dari Bagian Tata Pemerintahan, Bagian Pemerintahan Desa, Bagian Ketertiban dan Bagian Hukum menjadi dua Bagian yaitu : Bagian Ketertiban dan Bagian Hukum
b. Asisten Administrasi Pembangunan berubah menjadi Asisten Ekonomi dan Pembangunan yang sebelumnya empat Bagian yaitu : Bagian Perekonomian, Bagian Penyusunan Program, Bagian Sosial dan Bagian Lingkungan Hidup, tetap empat Bagian dengan perubahan nama Bagian menjadi Bagian Ekonomi, Bagian Pembangunan, Bagian Pemberdayaan Perempuan dan Bagian Sosial.

3). Perubahan di Jajaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meliputi penambahan Bagian yaitu : Bagian Umum, Bagian Risalah dan Persidangan serta Bagian Keuangan, yang sebelumnya hanya memilikitiga Sub Bagian yaitu : Subbag Umum, Subbag Rapat dan Risalah dan Subbag Keuangan.

Struktur Organisasi Perangkat Daerah DalamOtonomi Khusus
Dengan keluarnya UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi NAD maka susunan organisasi yang telah dibentuk sebagaimana diuraikan di atas disesuaikan kembali dengan semangat otonomi khusus. Penyesuaiaan kembali dimaksud meliputi susunan organisasi, tugas dan kewenangan serta penamaan pemerintahan termasuk penamaan jabatan pada tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Mukim dan Desa.

Adapun susunan organisasi perangkat daerah dalam otonomi khusus yang terdiri dari 1 Sekretariat Sagoe, 1 Sekretariat DPRD Sagoe, 21 Dinas, 6 Badan, 6 Kantor, 17 Kecamatan, 56 Mukim, 850 Gampong.
Perubahan lainnnya selama diberlakukan otonomi khusus yaitu perubahan sebutan LMDmenjadi Tuha Peuet, Peraturan Daerah/Peraturan Desa menjadi Qanun Sagoe/Qanun Gampong dan Penulisan Papan nama Lembaga/Kantor yangsebelumnya ditulis dengan huruf Latin berubah penulisan dalam Bahasa Arab-Melayu (huruf jawi). Dengan perubahan struktur dan nomenklatur organisasi tercermin kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
a. Kompleksitas
Kompleksitas organisasi pemerintahan Sagoe Aceh Utara telihat dari meningkatnyavolume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalampendidikan dan pelatihan dan dari penggunaansistem kerja. Meningkatnya volume kerja selamaotonomi
khusus memerlukan penambahan Dinasdan Unit Kerja seperti Dinas Syariat Islam Sagoe (dan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan adat serta Sub Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adatdi Sekretariat Sagoe Cut (Kecamatan) sehinggakompleksitas horizontal tinggi. Demikian pula pembentukan tingkat pemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut menyebabkan organisasi pemerintahan menjadi relatif bertambah besar yang menuntut lebih banyak kontrol sehingga kompleksitas vertikal menjadi tinggi. Tingginyatingkat kompleksitas vertikal terjadi karena telahdihidupkan kembali tingkat pemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002, sehingga tingkat pemerintahan di Sagoe Aceh Utara menjadi tiga tingkat yaitu Sagoe,, Mukim dan Gampong yang sebelumnya hanyadua tingkat yaitu Kabupaten dan Desa.
b. Formalisasi
Formalisasi menyangkut sejauh mana pekerjaan dalam suatu organisasi itu distandarkan, dimasukkan dalam aturan-aturan, prosedurprosedur dan perintah-perintah yang tertulis.
Sebelum diberlakukan otonomi khusus, pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan UU Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintah Daerah dan dilengkapidengan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusatdan Daerah. Dengan UU tersebut kedudukan pemerintah Daerah semakin kuat karena pemerintah daerah tidak lagi hanya menjalankankemauan dan aspirasi pusat akan tetapi beralihkepada semakin banyaknya aspirasi daerah sendiri yang penting untuk ditampung dan dipenuhi.
Mekanisme blue print atau populer dengan istilah Juklak/Juknis yang selama beberapa dekade menjadi parameter utama dalam setiap pengelolaan program pembangunan secara bertahap dapat dihilangkan. Sering kali mekanisme Juklak/Juknis tersebut membuat aparatur birokrasi terkungkung oleh sebuah aturanyang ketat sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi sesuai dengan kondisi dan potensi lokal (Contectual setting). Pada akhirnya situasi yang demikian akan membuat daya nalar/pikir aparatur mengalami stagnasi serta kurang peka atau responsif terhadap permasalahan yang muncul ditingkat lokal.
Demikian pula setelah diberikan otonomi khusus kepada Provinsi NAD, kedudukan Provinsi dan Sagoe/Banda) dalam Provinsi NAD semakin mandiri dalam menentukan arah pembangunan di daerah tanpa harus menunggu Juklak/Juknis dari pemerintah pusat.
Dengan peyederhanaan aturan/ prosedur birokrasi melaui pemberian kewenangan untuk mengeluarkan Qanun sebagai aturan pelaksana UU tersebut maka dalam pelaksanaan otonomi khusus tidak ada lagi Juklak/Juknis dari Pemerintah Pusat sehingga semakin cepat dalam merespon keinginan/aspirasi masyarakat di Provinsi NAD. Namun dalam kenyataannyadengan penyederhanaan aturan birokrasi sebagai mana dijelaskan di atas Pemerintah Provinsi NAD justru belum dapat bekerja maksimal untukmeningkatkan pembangunan di daerah.
Ketidakjelasan hubungan antara Provinsi NAD dengan Sagoe/Banda karena belum disahkan Qanun tentang kewenangan Sagoe/Banda. Kewenangan yang luas yangdimiliki Provinsi NAD berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 telah menimbulkan kesan terlalu banyak mengatur Sagoe/Banda, terutama dalam pelaksanaan proyek pembangunan, padahal antara Sagoe/Banda) dengan Provinsi NAD samasama memiliki otonomi. Dalam kaitannya dengantingkat formalisasi organisasi pemerintah Sogoe Aceh Utara tercermin dari standarisasi tugastugas yang didasarkan pada buku manual, uraianpekerjaan dan kepatuhan aparatur terhadap aturanyang telah ditetapkan.
Salah satu wujud dari upaya pengentasankemiskinan tertuang dalam Program PembanunanGampong (PPG). Dari data dokumentasi menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur Wali Sagoe Aceh Utara telah menetapkan standarisasi dalam bentuk prosedur yang diatur dalam juklak/juknis yang menjadi acuan bagi aparatur pelaksana ditingkat Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong. Pendekatan program ini bersifat bottom up dengan memberi peran yan luas kepada masyarakat untuk menentukan arah pembangunan ditingkat gampong. Pemerintah Sagoe Aceh Utara hanya memfasilitasi dana tiap – tiap Gampongmaksimum sebesar Rp.200.000.000. Standarisasisebagaimana telah dikemukakan merupakan salah satu contoh formalisasi yang di jalankan padaorganisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.

c. Sentralisasi
.Seperti diketahui bahwa UU Nomor 22Tahun 1999 tidak menggunakan sistem otonomibertingkat dalam arti Gubernur bukan merupakan atasan Bupati/Walikota. Keberadan Gubernur menjadi tidak banyak fungsinya jika hanya menyelenggarakan urusan-urusan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota . Menjadi tidak ada gunanya menghapus hubungan vertikal antara Bupati dan Gubernur yang dianggap inefisien itu jika inefisiensi ulang diciptakan melalui hubungan yang lebih vertikal lagi yakni dengan pemerintah pusat. UU Nomor 22 Tahun 1999 masih membuka ruang yang besar bagi adanyaintervensi pusat terhadap eksistensi Kepala Daerah
Lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD kembali memperkuat posisi Gubernur NAD karena titik berat otonomi khusus berada pada Provinsi. Besarnya kekuatan ini terlihat dari kewenangan pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun2001 langsung dengan Qanun (Perda) yangmenurut hirarkhi perundang-undangan-undangan di Indonesia semestinya UU dilaksanakan denganPeraturan Pemerintah seperti halnya UU Nomor 22 Tahun 1999.
Sagoe/ Banda diberikan kewenanganpelaksanaan otonomi khusus yang diatur denganQanun Provinsi NAD. Saat ini Kabupaten/Kota dalam Provinsi NAD disamping memiliki otonomi yang luas berdasarkan UU Nomor 22Tahun 1999 juga melaksanakan Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi NAD dalam penyelenggaraan otonomi khusus.
Hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi NAD berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 bersifat koordinasi, sedangkan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 yang pelaksanaannyadiatur dalam Qanun Provinsi NAD disamping hubungan horizontal juga terjadi hubungan vertikal karena Wali Sagoe/Wali Banda jugaberkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat didaerah yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur NAD,
Dengan kewenangan yang luas dimiliki Provinsi NAD maka pemerintah Provinsi menjadi motor utama untuk menggerakkan rodapemerintahan di Provinsi NAD dalam menjalankan otonomi khusus dengan cara membuat perangkat aturan hukum yang dibutuhkan sebagai aturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001.
Sentralisasi diukur dari proporsi tingkatkeikutsertaan dalam pengambilan keputusan dantingkat pelimpahan wewenang baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusantaktis. Ikut serta mengambil kuputusan terhadap alokasi sumber-sumber daya dan penentuan kebijakan organisasi mempengaruhi organisasisecara keseluruhan, hal ini dinamakan keputusanstrategis. Keputusan-keputusan strategis adalahkeputusan-keputusan yang bertalian denganmasalah kebijakan jangka panjang yaitu tentangalokasi sumber-sumber daya manusia dan uangkarena hal tersebut merupakan pusat bagikeputusan-keputusan yang paling mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua mengenaibagaimana kekuasaan itu didistribusikan diantaratugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hirarkhi wewenang, ini menyangkut keputusankeputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisiendan lancar. Sentralisasi semacam ini disebut sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.
Otonomi khusus merupakan salah satubentuk desentralisasi kewenangan dari pemerintahpusat kepada Provinsi NAD melalui UU Nomor 18 Tahun 2001. Dalam hal ini Provinsi NAD memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengambil keputusan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus, yang selanjutnya Provinsi juga melimpahkan kewenangan tersebut kepada Sagoe/Bandasebagai kewenangan pelaksanaan otonomi khusus yang diatur dalam Qanun. Keikutsertaan pemerintah Sagoe/Banda dalam pengambilankeputusan misalnya dalam penentuan prosentasebagi hasil penerimaan dalam rangka otonomi khusus
antara Sagoe/Banda dengan ProvinsiNAD yang didasarkan atas kesepakatan bersama yang kemudian penggunaan dana merupakan tanggung jawab penuh Sagoe/Banda.
Dikaitkan dengan ruang lingkup pembangunan, Sagoe / Banda memiliki kewenangan yang luas untuk mengimplementasikan kebijakan -kebijakan pembangunan, karena telah memiliki landasan berpijak yang kuat untuk melaksanakan pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.dan potensi daerah. Kewenangan yang tegas Sagoe/Banda dalam penyelenggaraan otonomi khusus belum diatur. Dalam Rancangan Qanun Provinsi NAD hanya disebutkan kewenangan Sagoe/Banda mencakup kewenangan seluruh bidang Pemerintahan, kecuali bidang-bidang yang merupakankewenangan Provinsi yang sudah ada dan akanditetapkan dalam Qanun (pasal 4) Hal ini telahberdampak pada perbedaan persepsi menyangkutkewenangan masing-masing, sebagai contoh dalam kasus berbagai proyek pembangunan banyak memunculkan keluhan dari Sagoe/Banda karena dana yang menjadi hak Sagoe/Banda masih dikelola Provinsi, proyeknya saja di tempatkan di Sagoe/Banda sedangkan pimpinanproyek dan penunjukan kontraktornya dilakukanoleh Provinsi. Politik pemerintahan yangdemikian itu tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan di masa Orde Baru, daerah bawahan terus dieksploitasi untuk kepentingan tertentu atau kelompok.

Secara umum bahwa tingkat keberanian aparatur setingkat Kabag di jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) dalam mengambil keputusan masih tergolong rendah, ketergantungan yang tinggi terhadap atasan melahirkan sikap pasif bawahan. Tingkat pengambilan keputusan atas dasar inisiatif individual atau deskresi sangat lemah karena masih adanya kekhawatiran dari aparatur melampaui wewenang pimpinan. Aparatur lebih merasa aman jika sudah mengikuti petunjukatasan untuk melindungi diri dari kesalahan danimplikasi lebih lanjut adalah semakin suburnyabudaya mohon petunjuk kepada atasan
Pendelegasian wewenang kepada bawahan sangat penting karena bawahan itu sebenarnya yang lebih mengetahui secara langsung kebutuhan masyarakat. Pendelegasianwewenang kepada bawahan akan merangsang memunculkan inovasi-inovasi yang berkembangdari bawahan yang melaksanakan pekerjaan yangberhubungan dengan masyarakat. Dampaknyaadalah munculnya semangat kerja bawahan yangtinggi, lebih banyak komitmen dan lebih produktif.
Perubahan Sikap dan Perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Dalam Menyikapi Otonomi Khusus
a. At e ns i
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe Aceh Utara telah memberi perhatian untuk menjalankan otonomi khusus ini dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Atensi (perhatian) pemerintahdaerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus mestinya didukung oleh pemerintah provinsi NAD karena Pemerintah Provinsi sebagai motor utama penggerak otonomi khususdengan menyiapkan berbagai Qanun sebagai aturan pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001 maupun penyaluran dana yang bersumber dari otonomi khusus seperti dana perimbangan dari sektor migas yang menjadi hak Sagoe/Banda yang selama ini sering terlambat disalurkan.
Adanya perhatian Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoe serta aparatur dijajarannya dalam penyelenggaraan otonomi khusus maka efek yangdihasilkan berupa perubahan keyakinan aparaturdalam menyikapi otonomi khusus.
b. Pemahaman
Sosialisasi UU Nomor 18 Tahun 2001 telah dilakukan kepada seluruh aparatur dijajaranPemerintah Sagoe Aceh Utara, namun tingkatpemahaman terhadap otonomi khusus sangat tergantung pada kemampuan aparatur dalam menyerap pesan yang disampaikan Bupati,. Otonomi khusus baru dipahami secara komprehensif oleh aparatur pimpinan tingkat menengah keatas, sementara aparatur tingkatbawah masih belum memahami secara mendalam.
Rendahnya efek perubahan sikap aparatur tingkat bawah disebabkan mereka belum memahami sepenuhnya misi otonomi khusus, komponen kognitif dan komponen afektif sukar untuk dirubah hanya oleh kekuatan komunikator (pimpinan puncak) semata. Terjadinya perubahansikap merupakan fungsi interaksi antara kemungkinan terjadinya pemahaman dan keyakinan diterimanya obyek sikap oleh aparatur
c. Penerimaan
Sikap aparatur tehadap otonomi khusus merupakan manifestasi dari tiga komponen sikapyakni kognitif, afektif dan konatif yang salingmemahami, merasakan dan berperilaku terhadapobyek sikap. Penerimaan terhadap otonomi khusus tercermin dari kesediaan aparatur untuk menerima dan merespon dalam bentuk perubahansikap. Aparatur menerima otonomi khusus jikaadanya kejelasan kewenangan dan hak-hak antaraSagoe dengan Provinsi NAD
Penerimaan aparatur terhadap otonomi khusus melalui proses perantara internal yangdipengaruhi oleh target akan menghasilkan efek perubahan sikap aparatur dalam merespon otonomi khusus.
d. R e t e n s i
Retensi menghasilkan efek perubahan perilaku aparatur. Perubahan perilaku dalam pola perencanaan pembangunan dari top down menjadi buttom up hanya terjadi pada pimpinan puncak (Wali Sagoe/Bupati). Perubahan perilaku jugaterjadi dalam hubungan kelembagaan Legislatif-Eksekutif berlangsung didasarkan atas etika politik. Sementara perubahan perilaku yang selaras dengan Syariat Islam masih terkendala karena belum adanya Qanun formil. Perubahan perilaku aparatur pemerintah Sagoe Aceh Utara hanya terjadi dari pimpinan puncak (Wali Sagoe)), sementara di jajaran pejabat pelaksana masih belum dapat memahami komitmen Wali Sagoe dalam arti masih menonjolkan model topdown sehingga apa yang diharapkan masyarakatbelum dapat terwujud secara maksimal. Retensiakan menghasilkan efek perubahan perilakuaparatur yang dimulai dari atas kebawah, artinya perilaku yang baik harus ditunjukkan oleh pemimpin/aparatur kepada masyarakat. Jika pemimpin/aparatur sudah berperilaku sejalan dengan nilai-nilai Syariat Islam maka rakyat akan memiliki kecendrungan mengikutinya.

Pembahasan

Proses Reformasi Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
Struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Aceh Utara yang telah dibentuk sebelum sebelum otonomi khusus dalam rangkamenunjang atau mendukung kelancaran pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata danbertanggung jawab dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Djohan (2000:3)yang menyatakan bahwa dalam rangka otonomi daerah, lembaga daerah merupakan salah satu faktor penunjang tercapainya otonomi daerah, sebab kehadirannya dapat memacu percepatan laju perjalanan otonomi daerah .
Struktur organisasi perangkat daerah Kabupaten Aceh Utara disesuaikan dengan kondisi rill daerah (kebutuhan daerah dan masyarakat) terlihat lebih ramping sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi dalam pelaksanaan pemerintahan,pembangunan dan pelayanan publik.
Reformasi struktur organisasi memang diperlukan dalam meningkatkan kenerjaorganisasi, namum yang perlu dihindari adalahkecenderungan terjadinya pemekaran kelembagaan daerah yang kurang efisien dan kurang efektif. Sering terjadi struktur bukan lagimerupakan akomodasi fungsi atau kewenangan, namun lebih merupakan akomodasi terhadapbirokrat, seperti pembentukan Kantor Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan menjadi kurang efisien mengingat telah ada Dinas/Unit Kerja terkait yang membidangi hal tersebut. Robbins (1994:98)mengemukakan bahwa semakin besar organisasimaka kurang pula keefektivan organisasi..
Pembengkakan birokrasi telah terjadi penumpukan pegawai dengan tugas yang tidak jelas sehingga menimbulkan pemborosan dalampengelolaan birokrasi. Sejalan dengan pendapatIslamy (2001:22) bahwa pembengkakan birokrasi,perkembangan tugas-tugas pemerintahan yangbegitu pesat telah menyebabkan pembengkakanbirokrasi yang tidak terencana dengan baik sehingga bisa menjadi penghalang pengembangan akuntabilitas di kalangan aparatur pemerintah, situasi seperti ini juga mengakibatkanpengawasan, pengendalian dan koordinasi sanga
tsulit dilaksanakan yang pada gilirannyamenimbulkan penumpukan pegawai tanpa tujuanyang jelas, garis pertangung jawaban yang tidakjelas dan sangat sedikit pegawai yang profesional.
Dengan diberlakukan otonomi khusus bagiProvinsi NAD maka struktur organisasi perangkatdaerah diselaraskan dengan semangat otonomi khusus, baik susunan organisasi, tugas dan wewenang serta penamaan pemerintahan/sebutan jabatan mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Desa. Terjadinya perubahan ini juga atas dasar kebutuhan daerah dan masyarakat dengan mengangkat kembali nilai-nilai adat dan menerapkan dalam sistem pemerintahan daerah.
Dalam hubungan dengan susunan organisasi pemerintahan di Provinsi NAD telah dihidupkan kembali lima tingkat pemerintahn yaitu Provinsi, Sagoe, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong. Di tingkat Sagoe dibentuk Dinas Syariat Islam Sagoe dan di Sekretariat Sagoe Cutdibentuk Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat serta Sub Seksi Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi Pengembangan Adat. Disamping itu juga dihidupkan kembali tingkatpemerintahan Mukim dibawah Sagoe Cut dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan Syariat Islam dan penembangan adat dalam mengisi otonomi khusus.
Dalam kaitannya dengan sebutan jabatan pemerintah daerah seperti Wali Sagoe/Wali Banda (Bupati/Walikota), Wali Sagoe Cut (Camat), Imum Mukim dan Keuchik, merupakan kekhususan yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi NAD dan masih diberi peluang untuk menggunakan sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai adat dan budaya masyarakat/sebutan-sebutan yang berkembang didaerah masing-masing, karena itu memungkinkanadanya perbedaan sebutan antar Kabupaten/Kotadalam Provinsi NAD. Demikian pula dalam penyebutan Perda Kabupaten menjadi Qanun Sagoe dan Peraturan Desa menjadi Qanun Gampong.
Pengakuan kembali Mukim dalam struktur Pemerintahan di bawah Camat (Sagoe Cut) sebagai langkah yang tepat dalam menghargai hak-hak adat masyarakat. Dengan dihidupkan kembali lembaga Mukim menurut peneliti suatu kebijakan yang menyentuh harapan masyarakat Aceh karena secara de facto eksistensi lembaga Mukim masih sangat dibutuhkan oleh masyarakatbaik dalam mengkoordinir urusan PemerintahanGampong, pengaturan Adat Istiadat maupun dalam mengadili dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana yang tidak mampu diselesaikan oleh Keuchik. Lembaga Mukim ini sebenarnya telah terbentuk pada masa KesultananIskandar Muda (1607-1636) meskipun pada mulanya lebih bercirikan azas Islam yang menunjukkan suatu komunitas berdasarkan kepada kepentingan menjalankan ibadah shalat Jum’at. Pada tahap berikutnya lebih berperan sebagai lembaga koordinasi atas beberapa Gampong. Kedudukan lembaga ini selama masaKesultanan adalah perantara antara Ulee Balang dengan Gampong, keadaan serupa berlangsung sejak awal kemerdekaan sampai Tahun 1979. Apabila pada masa pra kemerdekaan Mukim merupakan lembaga dibawah Ulee Balang maka pada masa kemerdekaan berada dibawah Camat dengan status dan peran Imum Mukim begitu jelas sebagai koordinator Gampong-gampong yang ada dalam wilayah kekuasaannya.

Perubahan besar terjadi pada Tahun 1979dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Pemerintah ProvinsiDaerah Istimewa Aceh mengkonversi 5.463 Gampong menjadi Desa di 591 Mukim yang pada masa sebelumnya merupakan kesatuan dari Gampong menjadi tidak jelas statusnya dalam struktur pemerintahan. Keadaan ini menjadi Lembaga Mukim dalam suatu delema yang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat menyulitkan. Disatu pihak (secara yuridis) lembaga tersebut sudah dihilangkan namun dipihak lain (realitas masyarakat) eksistensinya masih terus dibutuhkan.
Sebagaimana dikemukan di atas bahwa eksistensi Lembaga Mukim dalam masyarakat Aceh dewasa ini sangat dibutuhkan bahkan kebutuhan terasa semakin solid seiring denganperkembangan masyarakat. Lembaga Mukim yangdinilai konvensional ini terasa terasa begitu berharga bagi mereka karena saat orang sibukdengan lembaga peradilan modern yang kadangkadang belum pasti menjanjikan rasa keadilan justru Lembaga Mukim eksis ditengah-tengah masyarakat sebagai tempat bermufakat, bermusyawarah dalam menyelesaikan segala permasalahan kemasyarakatan. Dengan UU Nomor 18 Tahun 2001 dan aturan pelaksananyayang diatur dalam Qanun Provinsi NAD maka tugas Mukim ditingkatkan fungsinya yang meliputi: Penyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam.
Perubahan susunan organisasi perangkatdaerah sesuai dengan semangat otonomi khusus,baik penambahan dinas Syariat Islam Sagoe maupun penambahan tingkat pemerintahan Mukim di bawah Sagoe Cut maka organisasi pemerintah daerah menjadi lebih besar dan memerlukan lebih banyak kontrol sehingga kompleksitas vertikal menjadi tinggi. Demikian pula penambahan seksi pelaksanaan Syariat Islam dan Pengembangan Adat di Sekretariat Sagoe Cut menunjukkan lebih banyak kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan maupun spesialisasi perannya, karena itu kompleksitas horizontal menjadi tinggi.
a. Kompleksitas
Kompleksitas mempengaruhi efektivitas organisasi, dengan demikian perlunya keterampilan dan sistem kerja tertentu agardiperoleh keluaran-keluaran dari suatu organisasimaka diperlukan adanya spesialisasi dalam arti diperlukan berbagai macam ketrampilan maupun penambahan pengetahuan yang berkaitan dengan peran aparatur dalam organisasi pemerintah Sagoe Aceh Utara. Robbins (1994 : 67) menyatakan bahwa semakin banyak pekerjaan yang dilakukan maka dengan sendirinya juga memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus maka berarti semakin kompleks organisasitersebut. Dengan demikian semakin banyak tugas yang dilaksanakan dan dalam pelaksanaannyamenggunakan sistem kerja yang ada serta diikutidengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilanterhadap tugas yang akan dilaksanakan maka akan memberi konstribusi yang lebih besar terhadap efektivitas oganisasi. Demikian pula pendapattentang adanya peningkatan volume kerja yangbertambah besar dan komplek baik di Sekretariatmaupun di Dinas dan Lembaga Teknis Daerah(Badan dan Kantor) selama otonomi khusus maka aparatur dituntut memiliki inisiatif, kreativitas dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Diikutsertakan aparatur dalam pendidikandan pelatihan merupakan salah satu upaya untukmemberdayakan aparatur dan secara spesifik diharapkan adanya peningkatan kualitas, profesionalisme, budaya kerja, mentalitas dan disiplin aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Kewenangan untuk memberdayakan aparatur terutama melalui Pendidikan dan Pelatihan sangatterbatas, sedangkan kewenangan yang sifatnya mempercepat proses pemberdayaan aparatur justru masih berada pada Pemerintah Pusat danProvinsi NAD.
Bila pernyataan tersebut di atas dihubungkan dengan kedudukan pemerintah Sagoe Aceh Utara terutama dalam aspek pemberdayaan aparatur maka terlihat bahwa apapun yang dilakukan tersebut masih jauh darikonsep otonomi. Kewenangan menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan aparatur yang ada sangat tersentralisasi pada pemerintah pusat dan Penerintah Provinsi NAD, kecuali Diklatpim IV yang menjadi kewenanganSagoe untuk menyelenggarakannya. Padahal inisangat penting untuk mempercepat pencapaiankualitas Sumber daya di daerah yang selama ini menghadapi masalah. Sebagaimanadikemukakkan Heady dan Willis dalam Sutrisno (2002:2) bahwa masalah utama sumber daya manusia birokrasi pemerintah di era otonomi daerah ini adalah kekurang sumberdaya yangberkualitas, baik dari kepemimpinan, manajemenmaupun kemampuan tekknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Pernyataan terbatasnya dana dalam penyelengggaraan Pendidikan dan Pelatihan Penjenjangan dan pendidikan formal merupakan sangat ironis disaat Provinsi NAD diberikan otonomi khusus. Pada hal dana pendidikan yangdiperoleh dari penerimaan otonomi khusus sebesar Rp.700 milyar pertahun dapatdimanfaatkan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di Provinsi NAD, baik untuk masyarakat maupun aparatur. Adanya tingkatdeferensiasi horizontal yang merujuk pada tingkatdeferensiasi unit-unit berdasarkan orientasi para an
ggotanya, sifat dan tugas yang mereka laksanakan dan tingkat pendidikan dan pelatihannya dapat dikatakan bahwa semakin banyak jenis pekerjaan yang ada dalam organisasiyang membutuhkan ketrampilan yang istimewa, semakin kompleks pula organisasi tersebut (Robbins,1994:67)

Orientasi yang berbeda akan menyulitkan para anggota organisasi untuk berkomunikasi serta lebih sukar bagi manajemen untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka. Misalnya jika organisasi menciptakan kelompok khusus atau memperluas tujuan Dinas yang ada maka akan mendeferensiasikan kelompok yang satudari yang lain, sehingga interaksi antar kelompokmakin kompleks. Jika organisasi diisi orang yang mempunyai latar belakang, ketrampilan dan pelatihan yang sama maka kemungkinan besar akan melihat permasalahan yang ada dengan carapandang yang sama. Karena itu ada kaitan erat antara tingkat kompleksitas dengan efektivitas organisasi.
Menurut Sutrisno (2002:8-9) dalam kontek pembangunan daerah dewasa ini peningkatan kualitas sumberdaya aparatur melalui jenjang pendidikan seharusnya diorientasikan pada human centered developmen, yakni sebuah paradigma pembangunan sumberdaya manusia yang menjangkau dimensi lebih luas dari sekedar membentuk manusia profesional dan trampil yang sesuai dengan kebutuhan sistem tidak dapat memberikan konstribusinya di dalam proses pembangunan. Pengembangan sumbedayaaparatur melalui jenjang pendidikan umum, diklatteknis dan fungsional serta Diklatpim harus mampu membentuk manusia yang mempunyaikemampuan kritis untuk melihat kendala sosial,ekonomi, politik, kultural dan sebagainya dari sistem yang ada dan mendorong alternatif- alternatif pemecahannya. Mereka akan melakukan valuative discord dengan dirinya dan dialogical encounter dengan sesamanya dalam proses transformasi sosial.
Jenis-jenis pendidikan dan pelatihan yangdilakukan untuk meningkatkan pengetahuan serta kemapuan berpikir otomatis akan berpengaruhterhadap perubahan perilaku dalam melaksanakanbebagai urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Terselenggaranyapelaksananaan pendidikan dan pelatihan aparatur tidak terlepas dari kondisi yang kondusif pemerintah daerah sendiri seperti keinginan dari para policy maker pemerintah daerah untuk menaruh perhatian yang besar terhadap perlunyasumber daya aparatur dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan dan menyediakan anggaran Diklatsetiap tahun dalam APBD. Keinginan para aparatur untuk mengembangkan diri dan adanyapemahaman dari berbagai pihak bahwa kemampuan, kualitas, profesionalisme, budayakerja, inovasi, kreativitas, mentalitas dan disiplin aparatur akan dapat diperoleh dan meningkat apabila dilakukan melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan.

b. Formalisasi
Tingkat fomalisasi pada organisasipemerintah Kabupaten Aceh Utara tercermin dari pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh aparatur di jajarannya. Seperti yang terungkap dalam hasil wawancarapeneliti bahwa pada umumnya tugas-tugasaparatur dijalankan atas dasar standarisasi, baikdalam buku manual, uraian pekerjaan maupun aturan-aturan dan prosedur. Jika sebuah pekerjaan sangat diformalisasikan maka pemegang pekerjaan itu hanya mempunyai sedikitkebebasan mengenai apa yang harus dikerjakan, bilamana mengerjakkannya dan bagaimana ia harus mengerjakannya Jika formalisasi rendah perilaku pegawai relatif tidak terprogram. Makin besar standarisasi makin sedikit pulajumlah masukan bagaimana suatu pekerjaan harusdilakukan oleh seorang pegawai. Standarisasi ini bukan saja melenyapkan kemungkinan para pegawai untuk berperilaku secara lain tetapi juga menghilangkan kebutuhan bagi pegawai untukmempertimbangkan alternatif (Robbins,1994:103)
Keadaan seperti tersebut di atas terkait dengan pendapat Thoha (1990:v) yang menyatakan bahwa pendekatan birokrasi yang hanya menekankan pada segi formalitas dan mengabaikan segi kemanusiaan membuat administrasi negara sebagai alat yang mekanis, kaku (rigidity) dan tidak inovatif. Karena itu pandangan aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang mengemukan tidak selamanya mempertimbangkan aspek formalitas disebabkan mereka lebih mementingkan substansi tugas-tugas mereka yang bersifat kompleks merupakan suatuperubahan kebiasaan aparatur yang cenderung terikat dengan formalisasi yang sudah dibakukan seperti buku manual, uraian pekerjaan dan prosedur-prosedur yang justru membuat aparatur kurang memiliki inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Dengan demikian terlihat bahwa pada umumnya adalah benar pekerjaan yang sederhanadan berulang-ulang lebih cocok dengan tingkatformalisasi tinggi, tetapi makin besar profesionalisme sebuah pekerjaan maka makin kecil kemungkinan pekerjaan itu diformalisaikandengan tinggi. Formalisasi berbeda bukan hanyadalam hal pekerjaan itu tidak terampil (unskilled) atau profesional tetapi juga dalam tingkatan organisasi dan departemen fungsional. Pegawaipada tingkat lebih tinggi dalam organisasi makinbanyak terlibat dalam aktivitas yang kurang diulang maka dibutuhkan ketrampilan dan pemecahan yang unik, seperti tugas-tugas yang dilakukan Kepala Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) tingkat formalisasinya rendah, apalagi di era otonomi daerah mereka dituntut memiliki kreativitas dan inisiatif dalam pelaksanaan tugasnya. Robbins (1994:112) menyatakan bahwa peraturan, prosedur, dan aturan yang mengatur pekerjaanseseorang ditetapkan secara rinci, dikodifikasi dan dilaksanakan melalui pengawasan merupakan ciriformalisasi yang diperuntukkan bagi pekerja yangtidak terampil.

Apapun petimbangannya, pelanggaran terhadap aturan dan prosedur selalu dartikan sebagai pelanggaran, oleh karena itu sebagian aparatur birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara lebih memiliki kecenderungan menghindari pelanggaran terhadap aturan dan prosedur, kendati aturan dan prosedur itu tidak lagi memihak kepada kepentingan publik. Akhirnyaaparatur mengabaikan perwujudan misi birokrasi hanya untuk mematuhi prosedur yang mestinyatidak boleh terjadi dalam kehidupan birokrasi publik. Bertindak hanya atas dasar juklak/juknis seringkali menyebabkan aparatur menjadi lambandalam merespon perubahan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, padahal aparatur dituntut untuk bekerja dengan cepat dalam mengantisipasi dinamika masyarakat. Diskresi masih dianggap sebagai bentuk pelanggaran prosedur dan aturan. Tindakan yang dilakukan diluar juklak/juknis, tetapi berada pada visi dan misi pelayanan masih belum berlaku sepenuhnyadikalangan aparatur birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara, akibatnya aparatur lebih memilih menolak memberikan pelayanan kepada masyarakat jika menemui kesulitan. Dalam hal ini Dwiyanto (2002:16) menyatakan bahwa orientasi pada aturan dan prosedur harus ditanggalkan dan orientasinya pada hasil. Kepadapara pejabat birokrasi yang langsung behadapan dengan pengguna jasa perlu diberikan discretionary power yang memadai untuk mengkritisi peraturan dan prosedur yang dinilainya tidak lagi menguntungkan bagimasyarakat. Prosedur yang sudah tidak relevanboleh saja dengan pertimbangan dan kriteria tertentu dilanggar dan diganti dengan cara-carabaru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya Dwiyanto menambahkan bahwa kepatuhan terhadapperaturan yang berlebihan ini sering menghambat kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kondisi seperti di atas masih ditemui dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah Sagoe Aceh Utara, misal dalam pelaksanaan program pembangunan gampong telihat tingkat fomalisasi yang tinggi terungkap dalam wawancara peneliti dengan para pihak yangterlibat program tersebut, baik aparatur di tingkatKabupaen, Kecamatan, Mukim dan dalam Gampong yang pada prinsinya mereka menjalankan program itu sesuai dengan buku panduan (buku manual) dan uraian pekerjaanyang telah ditetapkan Bupati bersama Bappeda dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas-tugas rutin di jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) mencerminkan hal yang sam
a. Prosedur yang ditetapkan itu untukmemastikan terjadinya standarisasi proses kerja sesuai dengan uraian pekerjaan masing-masing dan adanya keseragaman untuk mengatur perilaku aparatur pelaksana. Standarisasi pekerjaan melalui buku manual, uraian pekerjaan dan tingkat kepatuhan aparatur terhadap aturan sebagai cerminan formalisasi ternyata ditanggapi oleh sebagian kecil aparatur dengan tingkatkepatuhan yang sangat tergantung pada keadaandan masalah yang dihadapi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formalisasi bukanlah peletakan aturan yang permanen karena keadaanyang menentukan tingkat formalisasi yang cocok dapat berubah.
Glouder dalam Paramita (1985:38) menyatakan bahwa jika terlalu memberatkan aturan-aturan dapat menimbulkan kerugian yangserius, seperti kekakuan yang akan mengurangi keluwesan dan kemampuan menyesuaikan diriorganisasi itu pada keadaan berubah dan dengan demikian akan mengurangi kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Demikan pula meskipun dalam kondisi yang mantap danrutin, terlalu banyak aturan dapat merintangi prestasi. Karena itu dapat dikatakan bahwa ketaatan sepenuhnya pada semua aturan disetiapwaktu mungkin sekali tidak bermanfaat bagi organisasi.
c. Sentralisasi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sentralisasi menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarkhi) dalam organisasi. Sebagaimanadikatakan Robbin (1994:102) bahwa sentralisasimenyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan suatu organisasi.
Dilihat dari letak letak pengambilan keputusan dan hirarkhi struktur maka dapat dibedakan antara keputusan-keputusan yang dilakukan di tingkat hirarkhi teratas dan keputusan-keputusan yang dilakukan ditingkat hirarkhi lebih rendah, pengambilan keputusan pada tingkat hirarkhi terbawah disebut desentralisasi. Otonomi khusus merupakan desentralisasi politik (devolusi) untuk mengambil keputusan-keputusan politik dan administrasi serta kontrol tehadap sumber-sumber daya kepadaProvinsi dan kabupaten/kota dalam Provinsi NAD. Hal ini sejalan dengan pendapat Pide (1997:37) yang menyatakan bahwa devolusi disebut desentralisasi politik (political decentralization) karena yang didesentralisasikan adalah wewenang mengambil keputusan politik dan administrasi.
Kuchan dalam Abdul Wahab (1994:10) mengemukakan organisasi yang tersentralisasi memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan.

Kelebihannya antara lain dimilikinya peluang yang bagus untuk mencapai dan mempertahankankonsentrasi sumber-sumber, cepat dan konsistendalam pengambilan keputusan, bewawasan luas,memudahkan klien yang ingin memperoleh pelayanan. Sedangkan kelemahannya antara lainsaluran-saluran dan fasilitas-fasilitas komunikasi seringkali sarat beban dan tumpang tindih. Akibatnya sering menimbulkan tersendatnya implementasi kebijakan atau rusaknya sebagian atau seluruh sistem itu sendiri. Berdasarkan kelemahan yang melekat pada organisasi yangsentralistis tersebut maka banyak pakar strategi organisasi semisal Henry Minberg yang menyukaibentuk struktur yang terdesentralisasi. Alasannyaadalah segala keputusan tidak apat dipahami pada satu pusat, dengan demikian maka perlu desentralisasi sehingga memungkinkan organisasimenanggapi lebih luas
Pemerintah Sagoe Aceh Utara, disamping memperoleh desentralisasi kewenangan yang luas berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memiliki kewenangan pelaksanaan otonomi khusus dari Pemerintah Provinsi NAD berdasarkan Qanun. Qanun tentang Kewenangan Sagoe / Banda dan Qanun-qanun lainnya dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus idealnya sudah dibentuk secara bertahappaling lambat setahun setelah disahkan UU Nomor 18 Tahun 2001. Keterlambatan pengesahan Qanun Provinsi NAD lebih disebabkan belum optimalnya tugas DPRD dalammembentuk Qanun-qanun yang menjadi perioritas dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dengan demikian suatu hal yang wajar jika dinilai oleh seorang pejabat Sagoe Aceh Utara bahwa dengan otonomi khusus yang diharapkan dapatmembawa perubahan yang mendasar bagi kesejahteraan rakyat ternyata belum dapat diwujudkan secara optimal.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangantersebut, Wali Sagoe Aceh Utara dibantu oleh perangkat daerah. Dalam pengambilan keputusan strategis, Wali Sagoe mengikutsertakan pimpinanDinas dan Lembaga Teknis Daerah Sagoe (Badan dan Kantor) serta Pimpinan Unit Kerja lainnya dijajarannya, meskipun keputusan akhir berada di tangan Wali Sagoe selaku pimpinan daerah. Sedangkan menyangkut keputusan-keputusan taktis didelegasikan kepada pimpinan Unit Kerja termasuk tanggung jawab, hal ini dimaksudkanuntuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan di tingkat bawah. Sejalan dengan pendapat Hage dan Aiken (dalam Paramita, 1985:32) yang menyatakan bahwa sentralisasi keputusan-keputusan strategis yang menambah perubahan program dan mengakibatkan produktivitas yang lebih besar. Tingginya sentralisasi keputusan-keputusan strategismenyumbang pada tingginya tingkat efektivitas dan produktivitas. Sedangkan untuk pekerjaan rutin adanya sentralisasi tinggi mengenai keputusan-keputusan taktis akan membuat efektivitas dan produktivitas yang lebih tinggi.
Sentralisasi sebagaimana dijelaskan di atas merujuk pada tingkat dimana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi. Konsentrasi yangtinggi adanya sentralisasi yang tinggi, sedangkan konsentrasi yang rendah menunjukkan sentralisas yang rendah atau disebut desentralisasi. Jadi sentralisasi yang dimaksudkan adalah sebagai jenjang kepada siapa kekuasaan formal untuk membuat pilihan-pilihan secara leluasa dikonsentrasikan pada seorang individu, unit atautingkatan dalam organisasi dan mengijinkan para aparatur tingkat rendah untuk mengambil keputusan dilingkungan unit organisasi yang dipimpinnya.
Diikutsertakan pimpinan terkait dalam pengambilan keputusan strategis dijajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, berarti memberi kesempatan untuk menyampaikan informasi yangmenjadi dasar pengambilan keputusan. Informasi ini tentunya telah disaring terlebih dahulu yang berarti pimpinan unit organisasi yang ada di jajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara telah diberi wewenang untuk membuat pertimbanganpertimbangan dan interpretasi mengenai informasiyang harus diteruskan melalui penyaringan danmeneruskan informasi yang mereka inginkan agar diketahui dan menjadi bahan pertimbangan Bupati dalam mengambil keputusan strategik.
Di distribusikannya pengambilan keputusan taktis kepada Dinas dan Lembaga Teknis Derah (Badan dan Kantor) dijajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, memungkinkan organisasi dapat menanggapi atau merespon secara lebih cepat aspirasi-aspirasi yang berkembang dilingkungan unit organisasi yangbersangkutan dan juga akan menambah motivasi pimpinan unit organisasi karena diberikan kesempatan untuk turut serta dalam pengambilankeputusan. Dengan tingginya tingkat pelimpahanwewenang dari Wali Sagoe Aceh Utara kepadaPerangkat Daerah dijajarannya mencerminkan bahwa mereka diikutsertkan dalam pengambilankeputusan strategis dan diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan taktis sekaligus tanggung jawab masing-masingpimpinan unit organisasi perangkat daerah.

Perubahan Sikap dan Perilaku Aparatur Pemerintah Kabupaten Aceh Utara Dalam Menyikapi Otonomi Khusus
Efek suatu pesan tertentu berupa perubahan sikap akan tergantung sejauh mana pesan itu diperhatikan, dipahami, diterima dan retensi atau pengendapan isi yang telah disetujui.Dengan demikian dalam proses perubahan sikapmenimbulkan langkah-langkah atensi, pemahaman, penerimaan dan retensi. Masingmasing langkah tersebut dipandang sebagai suatukemungkinan adanya perubahan sikap.

a. A t e n s i
Adanya perhatian yang besar dari Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyikapi otonomi khusus ternyata belum dapat membawa perubahan yangmaksimal terhadap kesejahteraan masyarakat bilaPemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD sebagai motor pengerak otonomi khusus belum menyiapkanaturan pelaksana yang jelas dalam bentuk Qanun sebagai pelaksana UU Nomor 18 Tahun 2001Tentang Otonomi Khusus.
Sikap arogansi Pemerintah Provinsi NAD yang menonjolkan kekuasaan dan tidak transparan terhadap Sagoe/Banda seperti dalam penyaluran dana yang bersumber dari migas sebagai penerimaan otonomi khusus yang menjadi hak Kabupaten/Kota mestinyadihilangkan dan diganti dengan sikap yang ramahdan penuh perhatian terhadap kebutuhan Sagoe/Banda. Wasistiono (2000:19) mengemukakan hubungan kelembagaan mestinyaberlangsung dalam kerangka siapa, mengerjakan apa dan bagaimana caranya.
Perhatian yang ditunjukkan aparatur di Jajaran Dinas dan Lembaga Teknis Daerah dalam menyikapi otonomi khusus yang belum optimaldapatlah dipahami dalam kontek proses pembelajaran. Untuk pengubahan sikap aparatur di jajaran pemerintah Sagoe Aceh Utara, perhatian Wali Sagoe dipusatkan pada cara bagaimana yang harus ditempuh agar masingmasing langkah dalam proses persuasi itu terjadi dalam diri subyek yang hendak diubah sikapnya.Apabila dikembalikan kepada pendapat Hovland dalam Azwar (2002:63) maka tentulah perhatian tersebut harus diarahkan pada faktor sumber, pesan maupun faktor subyek penerima. Ketika individu (aparatur) dihadapkan pada pesan makamemikirkan pesan itu, memikirkan argumen apa yang terkandung didalamnya dan argumen apayang tidak. Pemikiran (elaboration) inilah yang membawa kepada penerimaan atau penolakan pesan yang disampaikan dan bukan pesan itu sendiri.
Suatu pesan persuasif yang isinya kompleks akan lebih mudah diperhatikan dan dipahami apabila apabila disampaikan melaluimedia cetak dari pada media audiovisual. Namun demikian apabila pemahaman telah terjadi makaaudiovisual lebih efektif dari pada media cetakguna mencapai proses penerimaan dan retensi (Chaikan et.al, dalam Azwar,2002:72) Perhatian Wali Sagoe terhadap aspek-aspek yang telah diuraikan di atas akan berdampak pada perubahankeyakinan paratur dalam menyikapi otonomi khusus. b.Pemahaman
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemahaman secara komprehensif terhadap otonomi khusus baru terjadi pada tingkat pimpinan menengah ke atas, ini bukan berarti sikap aparatur tingkat bawah menolak obyek sikap namun tingkat penamahaman mereka masih sangat terbatas. Karena itu diperlukan pemantapan sosialisasi secara intensif makna otonomi khusus sehingga akan memahami obyek sikap secara lebih mendalam yang akhirnya akan menghasilkan efek perubahan sikap yang diinginkan melaui komunikasi yang efektif. Midddlebrook dalam Azwar (2002;77) mengemukakan bahwa pada dasarnya komunikasi akan lebih efektif apabila disampaikan secara berhadapan (face-to-face). Teknik komunikasi yang efektif adalah dapat mengemukakan kesimpulan komunikasi secara eksplisit kepada subyek yang sikapnya hendakdiubah dan dengan mengulang-ulang (repitition and familiary) argumen yang mendukung sikap yang dituju. Hal ini didukung oleh pendapatCacioppo dan Petty dalam Azwar (2002:78) yang menyatakan bahwa pengulangan pesan akan menaikkan perubahan sikap.
Efektivitas penyampaian pesan yang bertujuan untuk pengubahan sikap akan sangat tergantung pada kredibilitas, daya tarik dan kekuatan pimpinan. Kredibilitas pimpinan dapat berupa keahlian dan kepercayaan. Rendahnya kredibilitas pimpinan akan mempengaruhi efek perubahan sikap bawahan yang rendah. Rendahnya perubahan sikap karena penolakanbawahan terhadap persuasi yang bersumber dari pimpinan yang kurang mendapat kepercayaan dankurang disukai. Pimpinan yang tidak disukai oleh bawahan akan menghasilkan efek perubahan sikap ke arah yang berlawanan dengan yang dikehendaki. Azwar (2002:83) mengemukan perubahan sikap akan mudah terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan (disonansi) kognitif diantara komponen sikap dalam diri individu,oleh karenanya strategi persuasi merupakan usaha menimbulkan disonansi dalam diri individu akan mudah menimbulkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Disamping itu bawahan yang menerima pesan juga dipengaruhi oleh pengetahuannya, bawahan yang memiliki pengetahuan yang luas akan lebih mudah menginterpretasikan ide atau pesan yang diterimanya. Sebaliknya pengetahuan bawahan yang kurang luas sangat memungkinkan pesan yang diterimanya menjadi kurang jelas atau kurang dapat dimengerti seperti yang telah diungkapkan dalam hasil penelitian yang menunjukkan masih rendahnya pemahahan otonomi khusus dikalangan aparatur yang beradapada tingkat bawah.
c. Penerimaan
Respon dalam bentuk penerimaan terhadapotonomi khusus tercermin dari sikap positif aparatur. Penerimaan merupakan prosesperantara internal dari target yang menghasilkan efek perubahan sikap. Sikap mempunyai dua arah yaitu mndukung (positif) dan tidak mendukung(negatif). Dalam hal ini aparatur pemerintah Sagoe Aceh Utara memiliki arah sikap yangpositif dalam bentuk mendukung otonomi khususjika adanya kejelasan kewenangan dan hak-hak antara Provinsi dengan Sagoe/Banda. Jika hal ini belum diatur secara jelas akan memiliki kecenderungan merespon terhadap obyek sikap pada arah yang negatif seperti dalam contoh alokasi dana pendidikan untuk Sagoe/Banda yang masih banyak campur tangan Pemerintah Provinsi NAD dan minimnya bantuan langsungdalam bentuk cash (block grand).

Demikian pula penerapan perilaku yang selaras dengan Syariat Islam di jajaranpemerintahan disambut baik, namun perlu diatur dalam sebuah sistem yang jelas dan tegas yangdapat dijadikan acuan dalam penerapannya.Syariat Islam telah mengakar dalam kehidupanmasyarakat di Aceh dan bahkan itu adalah way of life yang diyakini, namun hanya sebatas pengalaman yang bersifat ritual. Perbedaannya sekarang adalah syariat itu telah memiliki kekuatan hukum (low of power) dalam sebuah UU yang dijabarkan dalam Qanun. Penerimaan aparatur terhadap otonomi khusus menunjukkan adanya perubahan sikap aparatur dalam menyikapi otonomi khusus.

d. Retensi
Ada dua komitmen yang telah menjadi retensi Pemerintah Sagoe Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus yaitu pertama perubahan pola perencanaan dari top down majadi buttom up dan kedua perubahan perilaku aparatur yang selaras dengan Syariat Islam. Munculnyakomitmen perubahan pola perencanaan dari topdown menjadi buttom up karena ingin mendobrak tradisi lama yang tidak menguntungkan denganmemberi kewenangan yang seluas-luasnya kepadaGampong untuk memberdayakan diri seperti dalam Program Pembangunan Gampong (PPG). Dalam program pembangunan gampong sebagianbesar yang terlibat dalam organisasi pengelolaandan pelaksanaan berada di tingkat gampong dan Mukim. Untuk tingkat gampong dibentuk Tim Pelaksana Kegiatan Gampong (TPKG) yang bertugas menyusun rencana pembangunan dan Daftar Usulan Rencana Pembangunan Gampong (DURPGA) yang dipandu oleh Tenaga PemanduKemukiman (TPK) dan mendata seta menindaklanjuti pengaduan masyarakat dengan bantuan Tim Pembina Pembangunan Gampong (TP2G). Ditingkat Kecamatan dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Gampong (TKPG), sedangkan di tingkat Kabupaten dibentuk Tim Pembina dan Pengendalian Program Pembangunan Gampong (TP4G).
Dari tanggapan Tokoh Masyarakat, Akademisi dan Anggota DPRD di Sagoe Aceh Utara meunjukkan bahwa perubahan perilaku berkaitan dengan komitmen diatas baru terjadi pada pimpinan puncak (Wali Sagoe) dan belumdiikuti oleh aparatur ditingkat bawah. Hal ini tercermin dari masih banyaknya keluhan dan kritik yang ditujukan terhadap komitmen tersebutkerena kenyataannya Program Pembangunan Gampong masih terkesan top down. Kenyataanini menunjukkan tidak adanya konsistensi antarakomitmen dengan tindakan aparatur yang berada dibawahnya. Menurut Sax dalam Azwar (2002:87) bahwa untuk dapat konsisten, sikap harus dapat bertahan dari diri individu untuk waktu yang relatif panjang.
Komitmen Wali Sagoe yang mengharapkan adanya perubahan perilakuaparatur yang selaras dengan Syariat Islam yangsaat ini sedang disosialisasikan masih terkendalakarena belum adanya Qanun formil yang mengatur tentang hal tersebut meskipun Wali Sagoe telah mempunyai komitmen memerangi semua bentuk kemaksiatan terutama yang dilakukan oleh para pejabat atau kalangan elit seperti korupsi, Kolusi dan nepotisme. Masyarakat tidak membutuhkan simbolisasi seperti yang sedang terjadi sekarang ini. Ada kesan bahwa penerapan Syariat
Islam di Provinsi NAD dan khususnya di Sagoe Aceh Utara selama ini tidak menjurus kepada substansinya yang idealtetapi hanya bersifat simbol dan instruksi pemerintah daerah agar setiap Kantor atau Instansi Pemerintahan/Swasta memasang papan nama yang bertulisan Arab-Melayu (huruf Jawi). Pemberlakuan syariat islam di Kabupaten AcehUtara baru ditandai dengan penerapan kewajibanmengenakan jilbab, baik Pegawai Negeri Sipil, Karyawan Swasta, Aparat Kepolisian, Masyarakat dan Mahasiswa/Pelajar.
Islam memberi tuntunan kepada setiap muslim agar dalam bekerja dibidang apapun haruslah mempunyai sikap dan perilaku yang profesional. Widjajakusuma dan Yusanto (2000:157) mengemukakan sikap profesionalisme dalam pandangan islam dicirikan oleh tiga hal yakni : (1) Kafa’ah yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan, (2) Himmatul a’mal yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi (3) Amanah yakni terpercaya dan bertanggung jawab dalammenjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya. Untuk mewujudkan pekerja muslim yang memiliki sikap dan perilaku yangprofesional Islam telah memberi tuntunan yang sangat jelas. Kafa’ah atau keahlian dan kecakapan diperoleh melaui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Himatu al-amal atau etos kerja yang tinggi diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai pendorong utama disamping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) serta perolehan material. Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggung jawab diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan pengontrol utamaperilaku.

KESIMPULAN DAN SARAN Sagoe/Banda merupakan daerah otonom yangmemiliki otonomi. Tingkat formalisasi pada Kesimpulan organisasi Pemerintah Sagoe Aceh Utara
a. Reformasi struktur organisasi pemerintah masih tergolong tinggi dalam arti pelaksanaanSagoe Aceh Utara dilakukan melalui proses tugas-tugas aparatur didasarkan pada manual, dari bawah (buttom up). Masing-masing uraian pekerjaan dan prosedur. tingkat pemerintahan mulai dari Gampong, e. Sentralisasi tercermin dari keikutsertaan Mukim, Kecamatan dan Dinas/Lembaga aparatur dalam pengambilan keputusan dan Teknis Daerah diberi kesempatan untuk pendistribusian wewenang dan tanggung mengusulkan struktur yang sesuai denganjawab. Kewenangan antara Provinsi dan kebutuhan dan didasarkan pada budaya lokal.. Sagoe/Banda belum diatur secara tegas, hal ini
b. Terjadi perubahan sebutan organisasi, jabatantelah berdampak pada perbedaan persepsi dan sebutan lainnya yang meliputi sebutan menyangkut kewenangan masing-masing.Kabupaten manjadi Sagoe, Bupati menjadi Adanya keikutsertaan para Kepala Dinas danWali Sagoe, Kecamatan menjadi Sagoe Cut, Lembaga Teknis Sagoe dalam pengambilan Camat menjadi Wali Sagoe Cut, Pengakuan keputusan berikut diberikan tanggung jawab. kembali tingkat Pemerintahn Mukim dibawah Hal yang sama juga terjadi di jajaran aparaturSagoe Cut, perubahan sebutan Desa menjadi Dinas dan Lembaga Teknis Sagoe dan Gampong dan Kepala Desa menjadi Keuchik, bedanya adalah dalam pengambilan keputusanLMD menjadi Tuha Peuet Peraturan Daerah teknis harus bertindak sesuai dengan instruksi menjadi Qanun Sagoe, Peraturan Desa atasan, hal ini telah berdampak pada kebiasaan menjadi Qanun Gampong serta Penulisan aparatur tingkat bawah untuk selalu mohon Papan nama Kantor/Lembaga dalam bahasapetunjuk atasan dalam setiap pengambilan Arab-Melayu (huruf Jawi). keputusan.
c. Pembentukan Dinas Syariat Islam Sagoe,f. Atensi yang besar dari Pemerintah Sagoe dan Penambahan Seksi Pelaksanaan Syariat Islam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sagoedan Pengembangan Adat, Sub Seksi Aceh Utara mencerminkan adanya perubahan Pelaksanaan Syariat Islam dan Sub Seksi keyakinan dalam menyikapi otonomi khusus. Pengembangan Adat di Sekretariat Sagoe Cut. Atensi yang besar ini belum didukung denganPada tingkat Mukim dibentuk kelengkapan aturan pelaksana berupa Qanun. Pemerintah Mukim yang terdiri dari Sekretaris Mukim, Provinsi dan Dewan Perwakilan RakyatMajelis Musyawarah Mukim, Rapat Adat Daerah Provinsi NAD sampai saat ini belum Mukim, Imum Chik, Keujruen Chik atau mengesahkan Rancangan Qanun yang Peutua Chik dan Panglima Laot atau mengatur hubungan antara Sagoe/Banda Panglima Lhok. Pada tingkat Gampong dengan Provinsi NAD. Belum adanya Qanun dibentuk unsur pelaksana Gampong yang tersebut telah berdampak pada sikap arogansi terdiri dari Tuha Adat, Keujruen Blang dan dan kurang transparan Pemerintah Provinsi Peutua Seuneubok.NAD terhadap Sagoe/Banda.
d. Kompleksitasorganisasi Pemerintah Sagoe g. Pemahaman secara komprehensif terhadap Aceh Utara tercermin dari meningkatnya otonomi khusus hanya terjadi di kalangan vulume kerja, keikutsertaan aparatur dalam Pimpinan tingkat atas dan menengah, Diklat dan penggunaan sistem kerja. sedangkan di tingkat bawah tingkat Meningkatnya volume kerja mememerlukan pemahamannya masih sangat rendah. penambahan Dinas, Seksi dan Sub Seksi Pemahaman yang rendah menghasilkan efeksebagimana telah dikemukakan di atas perubahan sikap yang rendah. sehingga kompleksitas horizontal menjadi h. Penerimaan terhadap otonomi khusus tinggi. Dengan penambahan tingkat dikalangan aparatur Pemerintah Sagoe Aceh pemerintahan Mukim sehingga kompleksitas Utara tercermin dari kesediaan melaksanakan vertikal juga menjadi tinggi. misi otonomi khusus, namun dalam
e. Formalisasi tercermin dari pekerjaan yangimplementasinya belum adanya kejelasan distandarisasikan, dimasukkan dalam aturan-kewenangan dan hak-hak antara Provinsi aturan, prosedur-prosedur dan perintah-NAD dan Sagoe/Banda, sehingga masih perintah tertulis. Dengan penyederhanaan adanya kecenderungan campur tangan prosedur birokrasi melalui pemberian Pemerintah Pemerintah NAD terhadap kewenangan pelaksanaan UU Nomor 18 Sagoe/Banda dalam penyelenggaraanTahun 2001 langsung dengan Qanun otonomi khusus. Penerimaan aparatur tehadapmemungkinkan daerah mengembangkanobyek sikap menghasilkan efek perubahan kreativitas dan inovasi sesuai dengan kondisisikap aparatur dalam menyikapi otonomi lokal. Persoalan yang muncul adalah khusus. Pemerintah NAD memiliki kecenderungan i. Rentensi menghasilkan efek perubahan lebih banyak mengatur Sagoe/Banda, padahal perilaku aparatur. Perubahan perilaku yang antara Provinsi Nanggroe dengan telah terjadi yaitu menyangkut pola

perencanaan dari top down menjadi buttom up misal dalam proses pelaksanaan Program a. Pembangunan Gampong yang bersumber dari dana otonomi khusus. Perubahan perilakuberkaitan dengan hal tersebut di atas hanyaterjadi di tingkat pimpinan puncak Wali Sagoe dan belum diikuti oleh aparatur/pejabatpelaksana, hal ini terlihat dari penerapannya yang masih menonjolkan model top down sehingga apa yang diharapkan masyarakat belum dapat terwujud secara optimal. Perubahan perilaku dalam hubungan kelembagaan antara Legislatif dengan Eksekutif terlihat semakin kritis Lembaga Legislatif dalam mengawasi dan memberi penilaian terhadap kebijakan yang ditempuhEksekutif. Komitmen perubahan terhadapperilaku aparatur yang selaras dengan nilainilai Syariat Islam belum dapat terlaksanakarena sampai saat ini belum dibentuk Qanun formil.

Saran
Kepada DPRD dan Pemerintah Sagoe Aceh Utara
a. DPRD Sagoe harus menggunakan hak inisiatifnya menyusun Rancangan Qanun Sagoe yang diperlukan dalam penyelenggaraan otonomi khusus dan tidak hanya menunggu usulan dari Eksekutif. DPRD Sagoe dapat meminta masukan dari kalangan Akademisi, Ulama, Tokoh Adat dan Lembaga-lembaga lainnya untuk mempercepat proses pembentukan Qanun Sagoe.
b. Perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintah Sagoe Aceh Utara tidak hanya terjadi di tingkat pimpinan puncak (Wali Sagoe), tetapi juga perlu diikuti oleh seluruhaparatur di jajaran Dinas dan Lembaga TeknisSagoe, karena itu perlu dioptimalkan prosessosialisasi misi otonomi khusus kepada semuajajaran untuk menimbulkan retensi bagi semua aparatur.
c. Komitmen yang tegas dari Wali Sagoe(Bupati) Aceh Utara untuk mengembangkanperilaku aparatur yang selaras dengan nilainilai S
yariat Islam tidak hanya sebatas retorikatetapi perlu diwujudkan secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karenaitu perlu segera dibentuk Qanun formil, sehingga dapat dijadikan dasar bagi tindakantindakan aparatur yang menyimpang dari nilai-nilai Syariat Islam dalam menjalankantugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
d. Budaya mohon petunjuk atasan yang masih terlihat dijajaran Dinas dan Lembaga TeknisSagoe perlu dihilangkan agar aparatur lebihkreatif dan responsif dalam melaksanakan tugas pelayanan publik

Kepada DPRD dan Pemerintah Provinsi NAD
a.. Harus segera mengesahkan Rancangan Qanun Tentang Pemerintahan Sagoe/Banda, Sagoe Cut, Mukim dan Gampong untuk menjadiacuan bagi pemerintah tingkat bawah dalammenjalankan otonomi khusus sehingga jelasbatas-batas kewenangan, hak antara Provinsi Nanggroe dengan Sagoe/Banda dalam Provinsi NAD, karena masing-masing merupakan daerah otonom yang memiliki otonomi, hal ini perlu segera dilakukan untukmenghindari terjadinya kesalahpahaman dan perbedaan persepsi dalam menyikapi otonomikhusus.
b.Kewenangan yang luas dimiliki Provinsi NADberdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tetangOtonomi Khusus harus digunakan sebagaimodal untuk meningkatkan pembangunan diProvinsi ini, bukan sebaliknya menonjolkan kekuasaan dan sikap arogansi terhadap Sagoe/Banda.

DAFTAR PUSTAKA
AbdulWahab, Solichin, 1994, Kebijakan Desentralisasi Untuk Menjangkau Kaum Miskin, Pelopor, Malang.
Azwar, Saifuddin, 2002, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Pustaka Palajar, Yogyakarta.
Dwiyanto, Agus, 2002, Membangun Sistem Pelayanan Publik Yang Memihak PadaRakyat, Bulletin, Populasi, Volume 13 Nomor 1, Yogyakarta.
Djohan, D, 2000, Reformasi Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional Pemerintahan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Tanggal 21 September 2000.
Islamy, M, Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kebijakan Publik pada FIAUNIBRAW, Malang.
Milles, B, Bathew dan A. Michael Heberman, 1992, Analisa Data Kualitatif , UI Press, Jakarta.
Moleong, Lexy, J, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Paramita, 1985, Struktur Organisasi di Indonesia,UI, Jakarta.
Pide, Andi Mastari, 1997, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,Gaya Media Pratama, Jakarta.
Robbins, Stephen,1994, Organization Theory : Structure, Design and Applications, Terjemahan. Yusuf Udaya, Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi, Arcan.
Soetrisno,R, 2002, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Peranannya Dalam
Pembangunan Daerah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Otonomi Daerah di UNIBRAW, Malang

.Thoha, Miftah, 1990, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, CV.Rajawali, Jakarta.
Wasistiono, Sadu, 2000, Esensi UUNomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Bunga Rampai, Bandung,
Kompas, 17 April 2001, Profil Kabupaten Aceh Utara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi DaerahIstimewa Aceh Sebagai NAD.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 002 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Kecamatan dan Kelurahan dalam Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 003 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja SekretariatDewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 004 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara nomor : 005 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Utara
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Sagoe atau Banda dalamProvinsi NAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Pemerintah Sagoe Cut dalam PropinsiNAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD.
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi NAD

DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN GAMPONG DALAM MENDUKUNG OTONOMI KHUSUS PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN GAMPONG DALAM MENDUKUNG OTONOMI KHUSUS PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Studi Kelembagaan Birokrasi Pemerintah Gampong Di Kec. Baktya Timur . Kab. Aceh Utara)

Muklir, Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Universitas BrawijayaAiyub, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe M.Akmal, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Ringkasan
Dengan adanya konsep otonomiKhusus yang diwujudkan dengan mengesahkan UU 18/2001 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan langkah yang diambil pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang responsif ‘ danaspiratif untuk memenuhi kebutuhanmasyarakat. Otonomi Khusus dipandang sebagai bagian dari demokratisasi yang lebih menekankanprinsip-prinsip demokrasi, peran sertamasyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
UU 18 Tahun 2001 merupakanjawaban atas adanya perubahan besar dan cepat dalam paradigma pemerintahan. Birokrasi pemerintah dituntut dalam kondisi unggul, handal dan terpercaya, artinya mampumewujudkan perubahan berskala besar dan bekerja penuh motivatif dan proaktif terhadap tuntutan masyarakatAceh.
Kelembagaan pemerintahgampong yang dikembalikan sesuai dengan keanekaragaman, partisipasi, otonomi Khusus, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan asal usul gampong, ataupundiserahkan kepada daerah untuk mengaturnya. Dan dalam pengapli-kasiannya di Kec. Matang Sijuek Tengoh Kab. Aceh Utara terdapat kendala, yakni kebingungan dari masyarakat dan aparat tentang kelembagaan dan kurangnya daya inovasif dari aparat birokrasi Pemerintah gampong, dan adanyaperilaku birokrasi yang kurang memper-hatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Hal tersebut disebabkan lemahnya kualitas sumber daya manusia dari aparat birokrasi pemerintahan gampong.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui birokrasi pemerintahan gampong beserta perilaku birokrasi pemerintah gampong dalam kelembagaan baru sesuai dengan UU 18/2001 beserta implikasi penerapannya. Fokus penelitian ini adalah birokrasi pemerintah gampongbeserta implikasinya. Jenis penelitianini adalah deskriptif kualitatif dengan mengambil lokasi di Kecamatan Baktya Timur Kabupaten Aceh Utara. Analisadata menggunakan model “Alir” sertateknik keabsahan data yang meliputi : kepercayaan, keteralihan, ketergan-tungan dan kepastian.
Hasil penelitian ini menunjukkan balwa kelembagaan birokrasi pemerintah gampong di tingkat gampong yang disebabkan kurangnya kualitas sumber daya manusia penyelenggara pemerintahan gampong dalam inovasi menyebabkan kelembagaan birokrasi belum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perilaku birokrasi pemerintahan gampong secara umum telah mampu mengakomodir aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam setiap kegiatan yang menyangkut pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan prograrn program serta cara-cara dan sikap dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun terdapat kecenderungan birokrasi pemerintah gampong lamban dan kurang tanggap, lebih menunggu perintah dari atas sehingga menimbulkan pengawasan dari masyarakat berupa tindakan korektif. Implikasi dari kelembagaan baru tersebut yang positif adalah peningkatan responsivitas; produktivitas dan transparansi dari birokrasi pemerintahan gampong. Sedangkan dampak negatif adalah tumpangtindihnya tugas dan wewenang, penyalahgunaan wewenang dan kurangnya fleksibilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong disebabkan oleh tekanan pihak Gerakan Aceh Mardeka (GAM).
Summary
With the autonomy conceptrealized by authenticating The Constitution Number 18 Year 2001 about Otonomy Specials, it is the way step taken by government in order torealizing responsive and aspiratif governance to fulfill society requirement. Autonomous viewed as the part of democratization which moreemphasizing principles democratize, role and care of society, even distribution and equity, and also payingattention in potency and variaty area.
The Constitution Number 18 Year 2001 is the answers to existence of big and quick change in governanceparadigm. Governmen tal bureaucracy is claimed to eYeed, rely on and trustworthy condition, its meaning ableto realize the big scale change and work full of inovatif mid proaktif to its environment demand.
The Institution of VillageGovernment Bureaucracy returned as according to diversity, participation, autonomous genuiness, democratization and society empowerment according to history of the village, or arranged by local government. And in its application Sub-Regency of Matang Sijuek TengohRegency of Aceh Utara, there are constraint, the confusing of society arid government officer about new institution and lack of inovatif effort from village governmental bureaucracy officer, and the existence of bureaucracy behavior which less paying attention for requirement and society aspiration. The mentioned caused the human resources quality’ ofvillage government bureaucracy officer is weak.
The research is done to know die institution of village government bureaucracy with bureaucracy behavior of the village government in new institute as according to Constitution Number 18 Year 2001with its applying implication. Focus this research is theinstitution of village government bureaucracy and bureaucracy behavior of the village government along with its implication. The type of research isdescriptive qualitative which take thelocation in Sub-Regency of Matang Sijuek Tengoh Regency of Aceh Utara.Analyse the data use “A flow” model and also the authentic of data coveringconfidence,transverability, dependence,and certainly.
Result of this research indicate that the institution of village government bureaucracy in village level caused bythe lack of the quality of human resource of organizer of village governance in innovation cause the bureaucracy institute haven’t as the according of the requirement and condition of cultural social of local society. Bureaucracy behaviour of thevillage government in general havebeen able to accomodate the aspirationand society requirement in everyactivity which is concerning policy making, decision making, planning andprogram execution and also the way of and attitude in giving service to society. But there are tendencious of the villagegovernmental bureaucracy appear slowand unattention, more awaiting command from the top of causing observation from society in the form of corectional action. The positive side of the new institute is improvement of responsivitas, productivity and transparency from te:he village government bureaucracy. While the negative side is the overlaping of duty and authority, authority deviation and lack of flexibility in management ofvillage government.
PENDAHULUAN
Latar Betakang Masalah
Seiring dengan pesatnya kemajuan dan tingginya tuntutan masyarakat, maka diperlukan adanya birokrasi sebagai institusi yang mampu menduduki posisi organik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil. Sehingga terhindarkan adanya konotasi negatif mengenai birokrasi seperti yang diuraikan oleh Zauhar (2001 : 88), yakni birokrasi masih sering dikonotasikan sebagai perwujudan dan kesemrawutan dan ketidak beresan administrasi, seperti prosedur yang berbelit-belit dalam menyelesatkan urusan di suatu kantor.
Kemudian untuk negaraberkembang seperti halnya Indonesia,birokrasi digambarkan penuh denganketidak-mampuan, disfungsi dan kegagalan dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang menjadi bidang tugasnya. Uraian diatas seharusnya tidak perlu ada dan memberikan fenomena yang negatif terhadap makna birokrasi. Karena padadasarnya birokrasi diharapkan menjadialat pembaharuan (jokroamidjojo, 1994: 74) hal ini dapat terlaksana jikatujuan-tujuan organisasi memang diarahkan bagi suatu strategi pembaharuan dan pembangunan, elitbirokrasi bersikap mudah menerimapemikiran-pemikiran pembaharuan dan pembangunan. Dengan demikian birokrasi dapat dijadikan alat untuk merealisas
i pembangunan dalam segala bidang.
Selanjutnya dalam menghadapi perubahan besar dan cepat, aparatur birokrasi pemerintah harus dalam kondisi unggul, handal dan terpercaya.Artinya mampu mewujudkanperubahan berskala besar dan bekerjapenuh inovatif dan proaktif terhadap tuntutan lingkungannya (Siagian, 1996 :49). Konsep Otonomi Khusus merupakan langkah yang diambil olehpemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang responsif dan aspiratif untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat Aceh yangdilanda konflik yang berkepanjanganOtonomi Khusus dipandang sebagai bagian dari proses besar demokratisasi, yang lebih menekankanprinsip-prinsip demokrasi, peran sertamasyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Juliantara, 2000 : ix)
Kemudian mengenai penyelenggaraan pemerintahan gampong yang merupakan unit terkecildalam pemerintahan dan ujung tombakdalam public service harus benar-benar menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.Namun dalam perjalanannya, gampongtidak serta merta mendapatkan hak tersebut, akan tetapi melalui perjalanan yang sangat panjang sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa dalam perkembangannya banyak mengalamiperubahan, baik dari struktur organisasi, pola hubungan maupun dalam pelaksanaan tugas oleh aparatnya, perubahan tersebut seiringdengan perkembangan jaman. Padaawal kemerdekaan Indonesia, desa belum diatur tersendiri, sedangkan daerah diatur dengan UU 22/1948, kemudian diganti dengan UU 1/1957,dalam undang-undang ini pun desa belum diatur tersendiri. Baru padatahun 1965 dengan ditetapkannya UU 19/1965 tentang Desa Praja. Desa praja yang dibentuk tersebut merupakan peningkatan desa atau dengan nama lain menjadi DaerahTingkat III, dalam mengurusi rumah tangganya sendiri desa diserahi urusan dari Tingkat II. Desa Praja dipimpin oleh Kepala Desa Praja.
Selanjutnya pada tahun 1979 dikeluarkan UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. UU. 5/1979 merupakan undang-undang yangpertama kali mengatur penyelenggaranpemerintahan desa secara seragam yang berlaku di seluruh Indonesia sebagai pelaksanaan pasal 88 UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Manila, 1996: 130).
Dalam kebijakan otonomi khususdaerah yang termuat dalam UU 18/2001 termuat suatu kebijakan lain,yakni otonomi gampong, yang mememiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, seperti termuat dalam UU 22/1999 pasal 1 ayat (1).
Kelembagaan pemerintah desa yang semula dengan adanya UU 5/1979 bentuk dan fungsinya diseragamkan diseluruh Indonesia, dengan adanya UU 22/1999 yangdisertai dengan kelembagaan pemerintah desa yang dikembalikan sesuai dengan keanekaragaman, partisipasi, otonomi Khusus, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan asal usuldesa, ataupun diserahkan kepada daerah untuk mengaturnya.
Begitu juga dengan gampong – gampong di Kecamatan Baktya Timur Kabupaten Aceh Utara, selanjutnya Sampoinet merupakan Ibukota kecamatan yang berada dikawasan kota, sehingga untuk gampong yanglebih dekat dengan ibukota kecamatandan kabupaten memperoleh arus informasi dari Pemerintah KabupatenAceh Utara lebih cepat terakses daripada gampong – gampong lainnya. Kemudian kompleksitas permasalahan yang lebih tinggi dengan tingkat heterogensi masyarakatnya tinggi, halitu dapat dilihat dengan adanya komplek perumahan di wilayahnya yang dihuni oleh berbagai kalangan, baik penduduk asli, pendatang maupun pegawai-pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Penduduk yang heterogen dan denganadanya unsur aparat pemerintahanyang tinggal di wilayah tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap birokrasi pemerintah gampong.
Kelembagaan permerintahgampong yang mengalami perubahan ini, kemudian dalam pengaplikasiannyadi Kecamatan Baktya Timur terdapat permasalahan-permasalahan yang menyertainya. Dimana susunan organisasi dan tata kerja gampong yang disodorkan oleh pemerintah daerah yang diatur dalam peraturandaerah Kabupaten Aceh Utara bukansaja dijadikan pedoman penyusunan susunan organisasi dan tata kerja gampong, akan tetapi sama persis tanpa memperhatikan kebutuhan dan kondisi sosial-budaya masyarakat atau warga gampong. Kemudian masyarakat banyak yang masih bingung terhadap mekanisme untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan, serta terhadap prosespembuatan policy, pengambilankeputusan, perencanaan, pelaksanaanprogram-program, cara-cara dan sikappelayanan yang diberikan oleh birokrasipemerintahan gampong kepada masyarakat sesuai dengan kelembagaan birokrasi pemerintah gampong yang baru.
Melihat fenomena-fenomena mengenai birokrasi, khususnya kelembagaan pemerintah gampongyang ada dan fenomena yang terjadi diKecamatan Baktya Timur maka penelititertarik untuk melakukan penelitian mengenai kelembagaan birokrasi pemerintah gampong di era otonomi Khusus di Kec. Baktya Timur Kab. Aceh Utara.
Perumusan Permasalahan
l. Bagaimanakah kelembagaan birokrasi. dan perilaku birokrasi dalam kelembagaan birokrasi pemerintahan gampong di era otonomi Khusus di Kec. Baktya Timur Kabupaten Aceh Utara ?
2. Apakah implikasi dari penerapan kelembagaan birokrasi pemerintahgampong di era otonomi Khusus diKec. Aceh Utara Kab. BaktyaTimur?
Tujuan Penelitian
1. Mendiskripsikan kelembagaanbirokrasi pemerintah gampong danperilaku birokrasi dalam kelembagaan birokrasi pemerintahgampong di Kecamatan Baktya Timur Kabupaten Aceh Utara diera otonomi Khusus.
2. Mendiskripsikan implikasi kelembagaan birokrasi pemerintahan gampong di era otonomi Khusus di Kecamatan Baktya Timur Kabupaten Aceh Utara.
Manfaat Penelitian
l. Memberikan kontribusi ilmiah bagipengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya Birokrasi Pemerintahan.
2. Memberikan sumbangan pemikiranbagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam rangka meningkatkan peran serta aparatur dalam birokrasi pemerintahan gampong dalam pelaksanaan otonomi Khusus.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenispenelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dalam hal ini peneliti bermaksud untuk memperolehgambaran yang luas mengenaibirokrasi pemerintahan gampong di eraOtonomi daerah.
Fokus Penelitian
1.Gambaran nyata mengenai kelembagaan birokrasi pemerintah gampong beserta penerapan perilaku birokrasi dalam kelembagaan birokrasi pemerintahgampong di era otonomi khusus di Kec. Baktya Timur Kab. Aceh Utara,yang meliputi :
a.Proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. b.Proses perencanaan agenda dan program-program.
c.Proses pelaksanaan program-program yang .dikembangkan dalampelayanan sesuai dengan kebutuhandan aspirasi masyarakat.
d.Cara-cara dan sikap dalam memberikan pelayanan.
2. Implikasi dari kelembagaan birokrasipemerintah gampong di era otonomi Khusus di Kec. Baktya Timur Kab.Aceh Utara.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja yakni di Kecamatan Baktya Timur Kabupaten Aceh Utaratepatnya di Gampong Matang SijuekTengoh.
Sumber Data
1 Data Primer yaitu data yangdiperoleh langsung dari responden(dalam hal ini informan) melaluiteknik wawancara dan pengamatanlangsung (observasi) dari obyek yang diteliti.
2 Data Sekunder, yaitu data yangdiperoleh dari laporan. tertulis yangberupa data nilai program, datajenis dan bentuk program, data sasaran program, data pelaksana program dan data sistem pelaksanaan program.

Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data, terdapat 3 (tiga) proses kegiatan yangdilakukan peneliti, meliputi Getting In(mendatangi lokasi penelitian), GettingAlong (kondisi ketika berada dilokasipenelitian), hogging The Data (teknik pengumpulan data), yang terdiri dari In Depth Interview (wawancara mendalam), Analisa Dokumentasi, Observasi (Partisipasi Pasif).
Analisa Data
Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa data Model “Alir”, yakni sebagai berikut :
, Masa Pengumpulan Data
REDUKSI DATA
Antisipasi. Selama Pasca
PENYAJIAN DATA Selama Pasca ANALISIS
Penarikan
kesimpulan/verivikasi
Selama Pasca

Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Reduksi Data, dimaksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
2.Penyajian Data, dimaksudkan sebagai sekumpulan infomasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilantindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian kita dapat memahami apayang sedang terjadi dan apa yangharus dilakukan. hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian bagian tertentu dari data penelitian,sehingga dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan.
3.Menarik Kesimpulan/Verifikasi, merupakan satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh selama penelitian berlangsung. Sedangkanverifikasi merupakan kegiatan pemikiran kembali yang melintas dalam pemikiran penganalisisselama peneliti mencatat, atau suatutinjauan ulang pada catatan-catatanlapangan atau peninjauan kembaliserta tukar pikiran di antara temansejawat untuk mengembangkan”kesempatan inter-subyektif dengan kata lain makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya (validitasnya).
Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif harus memiliki kriteria atau standar validitas dan reliabilitas, namun demikian mengingat adanya perbedaanparadigma mendasar antara keduanya,standar validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif memiliki spesifikasitersendiri. Menurut Nasution (1988 : 114-122) dan Moleong (1997 : 179) untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan pada 4 (empat) kriteria, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteraihan (trans ferability), ketergantungan (dependenability) dan kepastian (confirmability).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kelembagaan Birokrasi Pemerintah Desa.
Sebelum berlakunya UU 18/2001tentang Otonomy Khusus di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Desa di Kec. Baktya Timur yang mempunyai tanggung jawabterhadap pelaksanaan pemerintahan dan rumah tangga desa adalah Kepala Desa dengan bantuan orang-orangsebagai anggotanya yang diistilahkandengan pamong desa. Saat sebelumadanya ketentuan ketentuan seperti peraturan perundang undangan tentang Pemerintahan Desa diatur dalam IG.O, yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan desa, adapun mengenai beberapa jumlahanggota pamong serta perincian tugas kewajibannya ditetapkan oleh KepalaDaerah dan sesuai dengan adat kebiasaan setempat berjumlah kuranglebih enam atau tujuh orang. Demikianjuga perihal pengangkatan dan pemberhentiannya.
Dalam perkembangannya lahir UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, maka terjadilah perubahan yangmendasar terhadap struktur organisasipemerintahan desa di Kec. Baktya Timur. Hal ini dimaksudkan agar pemerintahan desa semakin mampu, menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif.
Kemudian dengan adanyaotonomi daerah dan dengan ditetapkannya UU 18/2001 yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan Qanun Kab. Aceh Utara 14/2002tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Gampong, maka terjadi perubahan terhadap struktur kelembagaan pada pemerintahGampong di Kecamatan Baktya Timur.Adapun perubahan struktur kelembagaan adalah terdiri dari Keuchik (Kepala Desa) dan Tuha Peut (Perangkat Desa), Perangkat Gampongterdiri dari Tuha Peut, Keuchik/Imuem Menasah, Unsur Staf, Unsur Pelaksana dan Unsur Wilayah.
Susunan Organisasi Pemerintah Gampong di Kec. Baktya Timur berdasarkan Qanun Kab. Aceh Utara 14/2002, yakni :
1. Tuha Peut, 2. Keuchik/Imuem menasah, 3. Sekretaris Gampong, 4.Kaur-kaur, 5. Unsur Pelaksana, 6. Unsur Wilayah.
Selanjutnya Susunan Organisasi dan Tata Kerja yang disesuaikan dengan sosial, budaya dan kebutuhan Gampong ditetapkan dalam Peraturan Gampong. Sesuai dengan bunyi pasal 5 Kep. Bupati Aceh Utara 52/2001, bahwa : Gampong dapat menetapkan jumlah dan sebutan perangkat Gampong sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya Gampong setempat.
Letak perbedaan dari struktur organisasi berdasarkan UU 5/1979 dengan UU 18/2001 secara prinsip terletak pada adanya unsur pelaksana dalam struktur organisasi yang baru yang diatur dalam Perda Kab. Aceh Utara 14/2002. Dan hal tersebut digambarkan bahwa hirarkinya unsur pelaksana bertanggungjawab langsung kepada Keuchik Gampong, sedangkan pada struktur yang berpedoman pada UU, l8/2002, perangkat Gampong yang menangani bidang pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan sosial merupakan unsur staf yang secara hirarki dibawah Sekretaris Gampong sebagai Kepala Sekretriat Gampong.
Berdasarkan pemikiran Osborne dan Gaebler (dalam Supriama, 1999:103), bahwa bentuk organisasi birokrasi pada masa-masa sekarangsudah seharusnyaya ditinjau kembalidan diarahkan kepada bentuk orgarasasi yang terbuka atau fleksibel, ramping atau efisien dan rasional sertaterdesentralisasi. Kemudian pengembangan organisasi birokrasi pemerintah desa merupakan upaya yang dilakukan dalam era otonomi daerah untuk meningkatkan efisiensiorganisasi birokrasi pemerintah desadalam memecahkan masalah dan pencapaian sasaran dalam penyeleng-garaan pemerintahan di desa, seperti yang diungkapkan oleh Obolensky (1996 : 94), bahwa pengembangan organisasi adalah suatu pendekatanyang sistematik, terpadu dan terencana untuk meningkatkan organisasi, la dirancang untuk memecahkan masalah masalah yang merintangi efisiensi pengoperasian organisasi pada semuatingkatan. Berbagai masalah tersebutmencakup kurangnya kerjasama, desentralisasi yang berlebihan dan kurang cepatnya komunikasi.
Struktur kelembagaan birokrasi pemerintah Gampong tersebut dimaksudkan agar birokrasi pemerintah Gampong lebih mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien kepada masyarakat/warga Gampong. Seperti uraian Suryono (dalam Jurnal Administrasi Negara, 2001 : 53), bahwa birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif. Dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebetuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi pemerintah desa dapat menyediakan pelayanannya sesuai dengan harapan masyarakat sebagai pelangganrya. Meskipun juga yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan kuantitas dari aparat pemerintah desa itu sendiri, yakni aparatur pemerintah desa yang rnempunyai kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat diperoleh verifikasi sebagai berikut : karena kurangnya kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan inovatif maka kelembagaan birokrasi pemerintahdesa benarbenar sama dengan strukturorganisasi yang disodorkan dalam peraturan daerah tanpa adanya pengembangan yang disesuaikan dengan kondisi sosial budayamasyarakat setempat.
Proses Pembuatan Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Untuk mengetahui prosespembuatan kebijakan dan pengambilankeputusan dalam birokrasi pemerintahan Gampong dapat dilihat dalam proses pembuatan peraturanGampong. Pengaturan mengenai haltersebut terdapat dalam Qanun Kab.Aceh Utara tentang Peraturan Gampong yang di dalamnya berisi mengenai pedoman mulai dari prosespenyusunan sampai dengan penetapan Qagun.
Qanun tersebut dibuat bukan untuk membatasi kreatifitas pemerintahan Gampong, bukan pulaadanya ketidakpercayaan pemerintah kabupaten terhadap sumber dayamanusia pada pemerintahan di tingkat Gampong, akan tetapi peraturan ini lebih sebagai pedoman dalam rangka pembuatan peraturan gampong olehaparat birokrasi pemerintah Gampong.Sehingga peraturan-peraturan yangdibuat b
irokrasi pemerintahan gampongprosesnya sesuai dengan prosedur dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih atas. Lagi pulajangan sampai peraturan yang merekabuat sendiri menimbulkan permasalahan di kemudian hari terutama akibat prosesnya yang cacathukum.
Untuk membuat suatu rancangan suatu peraturan Gampong, Keuchik dengan dibantu oleh perangkat Gampong memperoleh masukan hal hal yang perlu dibuat peraturan dari lembaga lembaga kemasyarakatan Gampong, seperti halnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga tersebut memberikan masukan kepada aparatur pemerintah berdasarkan aspirasi yang mereka kumpulkan dari masyarakat.
Setelah draf atau rancangan peraturan Gampong yang dibuat oleh Keuchik tersebut diserahkan kepada Tuha Puet Gampong yang akan melaksanakan rapat guna membahas peraturan Gampong tersebut. TPG yang terbentuk dari proses pemilihan langsung oleh masyarakat Gampong tidak dengan serta merta menerima rancangan yang disodorkan oleh Keuchik akan tetapi dengan musyawarah/mufakat, sehinggga peraturan Gampong yang ditetapkan nanti sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat gampong.
Antusiasme antara Gampong yang mempunyai kualitas SDM sangatlah berbeda, Gampong dengankualitas SDM secara Umum tinggi dibandingkan dengan Gampong yanglebih rendah kualitas SDMnya.
Rancangan peraturan Gampongyang disusun oleh Keuchik bersama perangkat Gampong (pemerintah desa) kemudian disodorkan kepada Tuha Puet Gampong untuk diadakan rapatmembahas rancangan tersebut. Pengambilan keputusan terhadap materi dalam peraturan Gampongtersebut didasarkan pada aspirasi dankebutuhan masyarakat yang telah ditampung oleh anggota Tuha Peut Gampong sebagai wewenang dan tanggung jawabnya. Adanya semangat demokrasi dalam hal ini menunjukkandemokratisasi telah merambah segikehidupan di Gampong sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi . Khusus. Bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas (Ranny dalam Thoha, 2003 : 99).
Birokrasi harus mampu berinteraksi secara internal, birokrasi juga harus mampu berinteraksi denganlingkungan di luar birokrasi demi mewujudkan birokrasi organis adaptif. (Taufik dalam Pikiran Rakyat, 2003 : 1): Hal tersebut ditunjukan birokrasi diGampong Matang Sijuek Tengoh Kecamatan Baktya Timur yangmemiliki tingkat heterogensi yang lebih tinggi dengan tingkat kualitas sumberdaya manusia baik aparatur pemerintahan gampong maupun warganya dibandingkan dengan gampong -gampong lain di Kecamatan Baktya Timur memiliki tingkat antusiasme yang tinggi hal tersebut dibuktikan dengan keikutsertaan warga dalam prosespembuatan kebijakan tersebut.
Peran serta dari masyarakat seharusnya ada demi mewujudkan kepemerintahan yang baik dimana peran citizen yang besar dalam good governance ialah menjaga agar tetapcrocoountable, tanggung gugat, (Tjokroamidjojo, 2001:96). Akan tetapi adalah sebaliknya di gampong MatangSijuek Tengoh, masyarakat/warga gampong lebih memberikan kepercayaan kepada lembaga-lembaga gampong untuk melaksanakannya dan mereka lebih disibukkan dengan kebutuhan merekamasing masing. Sehingga apapun dan bagaimanapun peraturan-peruturan di gampong adalah otoritas sepenuhnyalembaga lembaga gampong tersebut tanpa adanya inisiatif dari koreksi langsung dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan juga karena tingkat sumber daya manusia dari wargagampong yang kurang. Dan peraturan-peraturan yang dibuat juga cenderungsedikit yang dipengaruhi adanya tingkat kompleksitas permasalahan yang rendah. Hal tersebut jugamenunjukkan kurangnya interaksi antara birokrasi dengan lingkungan di luar birokrasi dan kurang mengerakkaninisiatif masyarakat daripada mengelola sendiri, (Djunaedi, 2003:3).
Berdasarkan uraian diatas dapat diperoleh verifikasi sebagai berikut : untuk gampong yang kualitas sumber daya manusia lebih tinggi mulai beranjak kearah prinsip-prinsip demokrasi akan tetapi terjadi sebaliknya untuk gampong yang mempunyai kualitas sumber daya manusia yang Iebih rendah.
Proses perencanaan Agenda dan Program program.
Dalam melaksanakan tugassebagai unsur pemerintah Gampong, Geuchik Gampong yang dibantu olehperangkat gampong dalam merencanakan agenda dan program-program dari pemerintah kabupaten juga dalam melaksanakan agenda dan program-program berdasarkan penjabaran dari peraturan gampong yang telah ditetapkan dengan persetujuan dari Badan Perwakilan gampong setempat kemudian jugadengan keputusan Geuchik gampong.
Selanjutnya dapat dibandingkan dua gampong yang mempunyai perbedaan kompleksitas permasalahan dan heterogensi masyarakatnya. Untuk gampong Matang Sijuek Tengoh yang memiliki tingkat permasalahan dan heterogensi masyarakatnya yang tinggi mempunyai program atau proyek yang akan dilaksanakan yang lebih banyak karena adanya aspirasi dan kebutuhan masyarakat terhadap hal-hal yang di programkan serta adanya keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan gampongnya melalui swadaya masyarakat.
Untuk gampong cot Hasan, program pembangunan fisik yang bertujuan jangka panjang dan memerlukan dana besar masih merupakan program dari pihak Pemerintah Kabupaten, dan keikutsertaan masyarakat dapat dilihat ; atas swadaya yang berhasil dikumpulkan : dalam membantu proses pelaksanaan program dari pemerintah gampong meskipun masih minimal.
Transparansi atau keterbukaan merupakan kata kunci dalam kehidupan yang demokratis, (Affandi dalam Santoso, 2002 :37). Adanya transparansi oleh penyelenggara pemerintahan di gampong Matang Sijuek Tengoh ditunjukkan dengan mengikutsertakan tokoh-tokoh dan pemuka masyarakat dalam proses perencanaan agenda dan program-program, sehingga segala sesuatu yang menyangkut hal tersebut selain menjadi tanggung jawab pemerintahan gampong, masyarakat juga ikut andil dan peran serta guna terakomodirnya kebutuhan dan aspirasi dari warga. Menurut Manila (1995 :25), bahwa perencanaan merupakan aktifitas menyusun hal-hal atau apa saja yang akan dikerjakan atau dilakukan di masa yang akan datang, sekaligus menentukan bagaimana cara melaksanakannya. Perencanaan dapat juga dimaknai sebagai proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai sesuatu, tujuan tertentu.
Sedangkan untuk gampong Cot Hasan, warga gampong lebih mempercayakannya kepada penye-lenggara pemerintahan gampong danmenunjukkan kurang antusiasme dari masyarakat terhadap proses pembangunan di gampongnya, hal menunjukkan kurang dekatnya birokrasi pemerintah gampong dengan masyarakat, Bahwa ciri dari birokrasi yang terdesentralisir adalah birokrasi yang dekat dengan masyarakat selakupelanggan (Suryono, 2001 : 53).
Kemudian program-program yang akan dilaksanakan secara umum masih merupakan tindak lanjut dari program-program pemerintah yang lebih atas yakni pemerintah kabupaten, hal tersebut karena sumber daya manusia dan sumber dana yang terbatas yang dimiliki oleh gampong Cot Hasan.
Kemudian verifikasi yang dapat dikemukakan sebagai berikut : terjadi adanya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat/ warga gampong akan tetapi untuk gampong dengan sumber daya manusia yang lebih rendah lebih mengedepankan pada perintah atasan.
Proses Pelaksanaan Program-program Sebagian besar program dari Pemerintah gampong Matang sijuek Tengoh telah dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2003 sampai dengan bulan Oktober 2004. Selanjutnya untuk gampong Cot Hasan Kecamatan Baktya Timur program-program yang telah dilaksanakan sampai dengan bulan Oktober, 2004 sebagian besar masih merupakan program dari Pemerintah Kabupaten Baktya Timur, hal tersebut di karenakan sumber pendapatan asli gampong yang belum mencukupi untuk melaksanakan suatu program yang memerlukan dana yang cukup besar.
Untuk gampong Matang SijuekTengoh proses pelaksanaan program-program mendapat pengawasan juga dari masyarakat dimana mereka juga dilibatkan dalam proses perencanaan, sehingga timbul transparansi dalam hal ini. Dan mereka merasa ikut handarbeni
terhadap program program yang dilaksanakan di gampong mereka.
Sedangkan untuk gampong Cot Hasan, pelaksana program adalah unsur birokrasi pemerintahan gampong dan masyarakat terkesan hanya menunggu hasil tanpa adanya sumbangan yang berarti terhadap proses ini tanpa adanya kehendak dan keterlibatan masyarakat (partisipalion), sedangkan partisipasi merupakan salah satu unsur penting dan utama dalam konsepsi kepemerintahan yang amanah atau good governance, (Djunaedi, 2003 : 6).
Kurangnya partisipasi masyarakat atau warga gampong dalam proses pelaksanaan program-program di gampongnya mengakibat-kan lemahnya kontrol dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di gampong yangmengakibatkan terlupakannya kepentingan kepentingan masyarakat/warga gampong dan menurut Dwiyanto (2002 : 44), bahwa lemahnya kontrol publik terhadap birokrasi mengakibatkan dalam birokrasi tidak dijumpai pendistribusiankewenangan secara memadai (diskresi) kepada instansi atau aparatdi tingkat bawah, dampak lebih jauhyang terjadi adalah birokrasi menjadilebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada masyarakat selakupengguna jasa. Hal tersebut tentunyabertolak belakang dengan tujuan utamaotonomi asli gampong dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Kemudian dapat diperolehveriifikasi sebagai berikut : adanya partisipasi warga, akan tetapi untukgampong dengan kualitas sumber daya manusia rendah lebih mempercayakankepada birokrasi pemerintahan gampong.
Cara dan Sikap dalam Memberikan Pelayanan.
Pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah gampong Matang Sijuek Tengoh lebih banyak baik secara kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan pelayanan yangdiberikan Pemerintah gampong Cot Hasan. Hal tersebut terkait tingkat kompleksitas permasalahan dan heterogensi yang berbeda, maka pelayanan di gampong Matang Sijuektengoh juga sedikit berbeda dengantingkat kebutuhan dari masyarakat dantingkat kepedulian mengenai tertib administrasi oleh warga gampong. Olehsebab itu dalam memberikan pelayanan, aparatur pemerintah gampong terdapat perbedaan mengenai cara, sikap dan waktu pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian diatas dapatdiperoleh verifikasi sebagai berikut :pelayanan publik yang diberikan mulaiberanjak kepada orientasi pasar dengan adanya peningkatan mutu danproduktifitas dalam pelaksanaan tugas.
Implikasi Kelembagaan Birokrasi Pemerintah gampong sesuai denganUU 22/1999.
a. Dampak Positif
– Meningkatkan responsivitas aparatur pemerintah gampong.
Dengan adanya kelembagaan birokrasi pemerintah gampong berdasarkan UU 22/1999 yangkemudian ditindak lanjuti dengan PerdaKab. Aceh Utara 34/2000, dalam pelaksanaannya di gampong-gampong di wilayah Kecamatan Baktya Timur mampu meningkatkan kemampuanbirokrasi untuk mengenali kebutuhanmasyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-programpelayanan sesuai dengan kebutuhandan aspirasi masyarakat.
Hal tersebut dapat dilihat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program-program. dari pemerintah gampong yang akan dilaksanakan, dimana unsur pemerintah gampong yang dalam susunan organisasinya terdapat unsur pelaksana yang di jabat oleh kepala seksi-kepala seksi, yang secara hirarkhi langsung berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Geuchik gampong, unsur pelaksana ini mcmpunyai fungsi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Sehingga jalur hirarkhinya lebih efektif dan efisien karena dalam struktur kelembagaan yang lama unsur-unsur tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris gampong.
Dengm adanya unsur-unsur pelaksana maka kegiatan teknis di lapangan dapat berjalan dengan lebih baik, lebih efektif dan. efisien karena unsur pelaksana langsung menangani tugas untuk pengumpulan, penelaahan dan analisis data serta penyajian data dan informasi dalam rangka penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan, teknis koordinasi, pembinaan, pengendalian dan pemberian bimbingan teknis bidang pemerintahan, ekonomi pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Dengan adanya unsur-unsur pelaksana maka kegiatan teknis di lapangan dapat berjalan dengan lebihbaik, lebih efektif dan efisien karena unsur pelaksana langsung menanganitugas untuk pengumpulan, penelaahandan analisis data serta penyajian datadan informasi dalam rangka penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan, teknis koordinasi, pembinaan, pengendalian dan pemberianbimbingan teknis bidang pemerintahan,ekonomi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. , Serta dalam proses penyusunan peraturan-peraturan di gampong unsur pelaksanaini memberikan masukan kepadaGeuchik Gampong mengenai segala sesuai tentang wilayah kerjanya untuk peyusunan rancangan peraturan-peraturan gampong.
Kemudian keberadaan Badan Perwakilan gampong yang dalam halini merupakan lembaga perwakilan masyarakat gampong mampu menampung serta menyampaikan segala macam bentuk aspirasi dariwarga sehingga terakomodir ke dalam peraturan yang akan ditetapkanbersama, hal tersebut sesuai dengan semangat demokrasi seperti yangdinyatakan Santoso (2002 : 16), bahwaagenda pengembangan otonomi daerah perlu dimaknai sebagai kesatuan agenda dalam pengembangan sistem pengambilan kebijakan yang demokratis.
Meningkatkan produktifitas aparaturpemerintah gampong.
Dengan adanya unsur teknis pelaksana dalam struktur organisasi pemerintah gampong sesuai dengan Perda Kab. Aceh Utara 34/2000, dimana unsur pelaksana membantu tugas Geuchik Gampong dalam menjalankan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan gampong sesuai dengan bidang tugasnya masing masing yakni pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, dan kemasyarakatan. Hal tersebut mampu meningkatkan hasil kinerjanya berupa program-program atau agenda yang disusun oleh pemerintah gampong dalam memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh gampongnya dalam mengakomodir, semakin tingginya tingkat kebutuhan masyarakat/warganya. Dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas juga meningkat seiring dengan pelaksanaan agenda kegiatan dan program dari pemerintah gampong.
Produktifitas yang meningkat ini juga seiring dengan peningkatan pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah gampong kepada masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas, serta terjadinya efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan, hal tersebut disebabkan bidang-bidang dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong yang meliputi bidang pemerintahan, bidang ekonomi dan pembangunan, dan bidang kemasyarakatan ditangani secara langsung oleh unsur pelaksanan sebagai unsur teknis di lapangan.
Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Dalam rangka akuntabilitas setiap tingkatan pada hirarkhi organisasi, setiap aparatur pemerintahdiwajibkan untuk akuntabel kepada atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya, dan pelaksanaan tugas-tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Dengan adanya unsur pelaksana dalam struktur kelembagaan pemerintah gampong sesuai dengan Perda Kab. Aceh Utara 34/2000, membawa dampak bahwa geuchik gampong selaku pimpinan pemerintahgampong dapat memantau pekerjaan secara langsung terhadap aparatur pemerintah gampong yang duduk sebagai kepala seksi-kepala seksi, karena hirarkinya langsung berada dibawahnya dan bukan lagi sebagai unsur staf dibawah sekretaris gampong.
Akuntabilitas merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik, (LAN, 2000:22). Selanjutnya akuntabilitas secara ekstern seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepadalingkungannya, baik lingkungan formal(atasan-bawahan) maupun lingkunganmasyarakat. Menurut Islamy (dalamSuryono, 2001 : 54) menyatakan salah satu prinsip yang seharusnya dipahami oleh aparat birokrasi adalah prinsip akuntabilitas, yaitu proses, produk dan mutu pelayanan yangtelah diberikan harus bisa dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
Dalam kelembagaan pemerintah gampong yang baru rangka akuntabilitas setiap tingkatan padahirarkhi organisasi, setiap aparatur pemerintah diwajibkan untuk ukuntabel kepada atasannya atau kepada yang mengontrol pekerjaannya, dan pela
ksanan tugas-tugasnya sesuai dengan posisinya masing-masing. Dengan adanya unsur pelaksana dalam struktur kelembagaan pemerintah gampongyang baru tersebut geuchik gampongselaku pimpinan pemerintah gampongdapat memantau pekerjaan secara langsung terhadap aparatur pemerintah gampong yang duduk sebagai kepala seksi-kepala seksi, dan kepala seksi-kepala seksi bertanggung jawab langsung kepadageuchik gampong.
Transparansi penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Dengan adanya struktur kelembagaan baru mempunyaidampak yakni semakin transparannya proses penyelenggaraan pemerintahan gampong. Hal ini terbukti dengan keterlibatan berbagai unsur dalam masyarakat gampong dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan sampai pada pengawasan terhadap agenda kegiatan dan program-program yang disusum dan dijalankan oleh pemerintah gampong, dimana unsur pelaksana dalam struktur pemerintah gampong membantu geuchik gampongdalam proses pengumpulan, penelaahan dan analisis data serta penyajian data dan informasi dalamrangka penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan teknis dalam bidang pemerintahan, bidang ekonomi dan pembangunan, dan bidang kemasyarakatan.
Hal tersebut juga dengan adanya Badan Perwakilan gampong sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat/warga gampong, sehingga mampu mengakomodir kebutuhan dan kepentingan warga gampong untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam program program gampong dalam proses penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Transparansi tersebut dapat terjadi dan berjalan dengan harmonis apabila setiap unsur didalam proses penyelenggaraan pemerintahan gampong memahami betul akan hak dan wewenangnya dengan tidak adanya tumpang-tindihnya kewenangan serta pemahaman terhadap tugas dan fungsi masing-masing, Hal tersebut berbeda dengan sebelumnya, dimana geuchik gampong seolah-olah sebagai penguasa tunggal dan tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuh-an dari warga desanya sehingga segala sesuatu adalah hak dan wewenang dan Geuchik gampong dan juga perintah atau instruksi dari pemerintah yang lebih atas tanpa memperdulikan keanekaragaman kebutuhan gampong dan masyarakatnya.
b. Dampak Negatif
– Tumpang tindihnya tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong. Dalam kelembagaan baru mempunyai dampak yang negatif dalam proses pelaksanaannya di gampong-gampong wilayah Kecamatan Baktya Timur, salah satunya adalah adanya tumpang tindihnya tugas dan wewenang di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan gampong, hal tersebut berdasarkan pengamatan dilapangan lebih dikarenakan unsur aparatur pemerintah gampong kurang memahami betul tentang tugas pokok dan fungsinya masing-masing sesuai dengan peraturan daerah dan telah dijabarkan ke dalam peraturan gampong masing-masing , yangmemuat mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintah gampong.
Akibat adanya kualitas sumber daya manusia yang kurang menyebabkan kurangnya tingkatpemahaman oleh aparatur pemerintahgampong terhadap tugas pokok dan fungsinya serta wewenang yang dimiliki dalam jabatannya, dari hal tersebut dapat mengakibatkan prosespelayanan yang seharusnya diberikankepada masyarakat/warga gampong selaku pelanggan dapat terabaikan,sebenarnya untuk mengatasi hal-hal demikian ini Pemerintah Kabupaten Baktya Timur telah melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat gampong, akan tetapi karena keterbatasan dana, maka kuantitas pendidikan dan pelatihan yang diberikan masih jauh dari cukup.
Tumpang tindihnya pelaksanaantugas dan wewenang ini juga tidak hanya di dalam intern unsur pemerintahgampong saja akan tetapi keberadaanBadan Perwakilan gampong juga mempunyai andil dalam kejadian-kejadian tersebut, yakni ikut campurnyaBadan Perwakilan gampong dalam pelaksanaan tugas aparat pemerintah gampong, hal tersebut dikarenakan Badan Perwakilan gampong merasa bahwa mereka adalah unsur penyelenggaraan pemerintahan gampong yang mempunyai hak untukmengontrol segala bentuk kegiatanoleh pemerintah gampong sehinggaterjadi semacam over laping dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Hal tersebut terjadi karena antara unsur-unsur penyelenggara pemerintahan gampong kurangmemahami tugas pokok dari fungsi serta wewenang dari masing-masingunsur/lembaga, ini terjadi dikarenakanadanya faktor kualitas sumber daya manusia yang kurang, dan adanya kepentingan kepentingan tertentu yangmempengaruhinya.
Dengan dalih bahwa apa yangdilakukan adalah amanat dari masyarakat atau warga gampong menyebabkan lembaga yangseharusnya menjadi wadah ter-bentuknya demokratisasi gampong malah keberadaan dari anggotanya yang kurang memahami tugasnyamengakibatkan terdapat anggota yangmencampuri urusan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya. Kembali lagi hal tersebut karena adanya faktor kualitas sumber daya yang dimiliki, sehingga masing-masing unsur dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong kurang memahami tugas dan wewenang masing masing.
Sebenarnya hal tersebut dapatdiminimalisir dengan mengadakanpembinaan, pendidikan dan pelatihan secara intensif baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga aparatur pemerintahan gampong mampumenyesuaikan dari dengan keadaanyang mengalami perubahan. tersebut, bahwa birokrasi hendaknyamenyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan. (Anonymous, 2003 : 4).
Penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong. Terjadinya penyalah-gunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan gampong dapat dilakukan oleh aparatur pemerintah gampong dan juga oleh anggota anggota yang duduk dalamlembaga perwakilan seperti Badan Perwakilan gampong. Penyalahgunaanwewenang oleh aparatur pemerintah gampong dapat terjadi akibat dari lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan dari lembaga perwakilangampong yang kurang maksimal.
Fungsi aparatur pemerintah gampong adalah menjalankan kewajiban sesuai dengan pembagian tugas yang telah ditetapkan dalam struktur organisasi pemerintah gampong. Akan tetapi tidak semua aparatur pemerintah gampong yang paham akan tugas dan fungsinya, halini disebabkan tingkat kualitas sumberdaya manusia yang kurang memadaijuga terhadap perilaku dan aparatur pemerintah gampong itu sendiri dalampenyelengaraan birokrasi pemerintah gampong.
Kemudian mengenai lemahnya pengawasan dari Badan Perwakilan gampong lebih disebabkan karena orang-orang yang duduk dalam kelembagaan tersebut adalah orang-orang dari Geuchik Gampong dan perangkat gampong setempat sehingga bagaimanapun dan apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah gampong disetujui oleh lembaga perwakilan gampong tersebut tanpa memperhatikan tingkat aspirasidan kepentingan masyarakat/warga gampong.
Adanya komentar bahwa letak kesalahan dalam kasus terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong bukan pada sistem atau aturannya, akan tetapi lebih kepadaperilaku dari aparatur pemerintahangampong itu sendiri, aturan di masalalu yang mempunyai kecenderungan bahwa kepemimpinan tunggal oleh geuchik gampong di tingkat gampongtelah diadakan perubahan denganadanya lembaga penyeimbang yakniBadan Perwakilan gampong sebagaimitra pemerintah gampong yang mempunyai fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan kegiatanpemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah gampong.
Dengan adanya Badan Perwakilan gampong yang mempunyai fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan di gampong secara toeri proses tersebut seharusnya dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku namun penyalah-gunaan wewenang tersebut terjadi akibat perilaku dari orang-orang yang duduk dalam kelembagaan pemerintahan itu sendiri yang belum siap dan tidak mampu dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
Menurut Suryono (2001 : 53), bahwa Birokrasi seharusnya lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Apabilahal tersebut dipahami oleh unsur-unsur dalam birokrasi maka penyalahgunaan wewenang dalam tugas dapat terhindarkan.
Kurang fleksibel dalam penyelenggaraan pemerintahan di gampong.
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kurangnya inisiatif
aparat pemerintah gampong dan lebih banyak menonjolkan sikap berdiam diri dan menunggu perintah atau instruksi dari pemerintah yang lebih atas dalam setiap pekerjaan yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan di gampong. Meskipun dalam kelembagaan pemerintah gampong telah temuat unsur staf, unsur pelaksana dan unsur walayah yang masing masing mempunyai tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan bidang tugasnya. Akan tetapi terdapat kesan kaku dalam menjalankan peraturan daerah mengenai kelembagaan pemerintah gampong tersebut. sehingga seolah-olah terkotak-kotak sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selaku pelanggan kurang maksimal.
Begitupun juga dalam proses penyusunan peraturan gampong mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintah gampong, dalam Perda Kab. Aceh Utara 34/2000, Kep.Bupati Aceh Utara 52/2001, dan lnstruksi Bupati Aceh Utara 03/2001, telah termuat bahwa jumlah dan sebutan perangkat gampong disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat gampong setempat. Hal tersebut dimaksudkan agar aspirasi dan tingkat kebutuhan masyarakat gampong setempat dapat diakomodir yang kemudian pelaksanaanya dengan penetapan peraturan gampong mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintah gampong yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat gampong setempat. Akan tetapi dalam kenyataannya, unsur unsur yang menentukan hal tersebut hanya menggunakan peraturan daerah sebagai dasarnya secara tanpa adanya inisiatif dari gampong, sehingga jumlah dan penyebutannya sesuai dengan bunyi yang terdapat dalam peraturan daerah, padahal sebenarnya jumlah dan penyebutan perangkat gampong di Kecamatan Baktya Timur yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat gampong setempat bukan lagi demikian.
Sikap tersebut menyebabkan kondisi yang kurang fleksibel dalam menjalankan peraturan yang lebih atasdan terkesan kaku dalam penerapannya, padahal sebenarnya tidaklah demikian.
Dalam Undang-Undang :Nomor22 tahun 1999 telah disebutkan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakatnya atau mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi dalam prakteknya pemerintah gampongkurang mempunyai sikap inisiatif dan inovatif sehingga lebih banyak menonjolkan sikap berdiam diri dan menunggu perintah atau instruksi dari pemerintah yang lebih atas dalam setiap pekerjaan yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan di gampong. Meskipun dalam kelembagaan pemerintah gampong telah temuat unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah yang masing-masing mempunyai tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan bidang tugasnya. Akan tetapi terdapatkesan kaku dalam menjalankan peraturan daerah mengenai kelembagaan pemerintah gampong tersebut. sehingga seolah-olah terkotak kotak sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selaku pelanggan kurang maksimal.
Seharusnya birokrasi pemerintah gampong mampumemanfaatkan hal tersebut untuk lebih eksis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana tujuan dibentuknya pemerintahan, seperti uraian Ratih (2000 : 104)bahwa birokrasi harus mampumengarahkan dan memanfaatkan bakat. potensi seperti inovasi, kecepatan merespon, fleksibilitas ketujuan, visi, sasaran strategik dan misi organisasi melalui pemberdayaan organisasi.
Dari uraian diatas dapat diperoleh verifikasi sebagai berikut : adanya dampak positif karena tingkat kualitas penduduk dan penyelenggara pemerintahan gampong yang yang lebih tinggi dan adanya dampak negatif pada kondisi sebaliknya.
Kesimpulan dan saran
Berdasarkan uraian-uraian dalam hasil penelitian dan pembahasan yang disajikan mengenai kelembagaan birokrasi pemerintah gampong di era otonomi daerah di Kecamatan Baktya Timur, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
Dikarenakan kurangnya kualitassumber daya manusia penyelenggara pemerintahan gampong dalam inovasimengakibatkan kelembagaan birokrasidi era otonomi daerah di Kecamatan Baktya Timur yang didasarkan pada UU 22/1999, yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya . masyarakat setempat dalam prakteknya tetap memakai kelembagaan yang disodorkan pemerintah kabupaten melalui peraturan daerah, keputusan bupati dan instruksi bupati, bukan hanya sebagai dasar dan pedoman penyusunan saja akan tetapi tanpaadanya pengembangan untuk penyesuaian dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakatnya.
Secara umum perilaku birokrasi pemerintah gampong dalam kelembagaan birokrasi pemerintah gampong di era otonomi daerah telah mampu mengakomodir aspirasi dan kebutuhan masyarakat, namun untuk gampong dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang rendah dengan kualitas sumber daya manusia baik intern maupun ekstern penyelenggara pemerintahan di gampong menunjukan sikap apatisme dan lebih menunggu perintah atau desakan dari pemerintah yang lebih atas.
Penerapan kelembagaan birokrasi pemerintah gampong berdasarkan UU 22/1999 secara umum membawa dampak positif berupa meningkatnya responsivitas, produktivitas, akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat gampong. Akan tetapi kelembagaan baru tersebut juga membawa dampak negatif terutama bagi gampong yangarus infomasinya lebih lambat dengantingkat kualitas sumber daya yang rendah didukung adanya sikap apatisme dan sinisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong dan sikap birokrasi yang kurang mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya adalah berupa tumpang tindihnya tugas dan wewenang, penyalahgunaanwewenang dan kurangnya fleksibilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Saran
Dengan melihat uraian-uraian dalam hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan, penulis memberikan altenatif pemecahan berupa saran sebagai berikut :
-Penyempurnaan sistem dalam sosialisasi serta diadakan evaluasi mengenai hasil sosialisasi yang telah diberikan sehingga diharapkan tidak terjadi penafsiran yang salah bagiyang menerima materi sosialisasi, juga mengenai obyek sosialisasi bukan hanya unsur aparatur pemerintahan saja akan tetapi melibatkan unsur tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap kepedulian dan kemampuan inovatif baik bagi aparatur pemerintah maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan yang. diberikan oleh pemerintah.
Dalam upaya meningkatkan kualitas perilaku birokrasi pemerintahan gampong untuk lebih responsif, produktif, akuntabel dan transparan dengan sumber daya aparatur yang profesional, kreatif disiplin jujur dan lain-lain dapat dilakukan melalui peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pemberian pendidikan dan pelatihan serta pembinaan oleh pemerintah kabupaten atau melalui pihak kecamatan, langkah tersebut dalam pelaksanaanya didasarkan pada semangat menanamkan rasa tanggung jawab dan kemajuan seiring dengan perkembangan paradigma pemerintahan sekarang ini, dan bukanhanya untuk memenuhi target secara formalitas saja. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta pembinaan yang diberikan perlu dilakukan pengamatan, pengawasan dan evaluasi terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan di gampong terutama aparaturnya. pemberian materi atau narasumber dalam pendidikan dan pelatihan sertadiambilkan dari tenaga-tenaga aparatur birokrasi yang menguasaidan berpengalaman dalam bidangnyadengan harapan materi yang diberikan sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah atau perkembangan situasi dan kondisi. Disamping itu materi yang diberikantidak hanya menyangkut materi saja yang sifatnya berupa wacana akan tetapi juga harus diberikan petunjuk-petunjuk teknis dan contoh-contoh kongkret di lapangan.
Perlu dilakukan pengawasan sekaligus pembinaan langsung ke lapangan yang meliputi mekanisme pemerintahan, kelembagaan birokrasipemerintah gampong, tata kerja, dan administrasi gampong, hal tersebut dimaksudkan apabila dijumpai adanyapemahaman yang kurang, penyimpangan penyimpangan dari ketentuan atas aturan yang berlaku dapat segera diluruskan untuk pembenahan berikumya. Bagipemerintahan yang lebih atas yakni kecamatan dan kabupaten permasalahan -pemasalahan atau segala bentuk
penyimpangan yang ada perlu dilakukan inventarisir sebagai dasar pedoman dalam merumuskan kebijakan selanjutnya dan merupakan tanggung jawab yangharus dilaksanakan. Oleh sebab itu perlu dilakukan pendekatan yangkomprehensif dengan dukungan dari unsur unsur di luar pemerintahan sertapenumbuhan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahaan di gampong demi mewujudkan cita-cita otonomi khusus.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab, Solichin, 1999, Re formasi Pelayanan Publik, Kajian dari perspektif Teori Governance, PT.
Danar Wiajaya, Malang
Abdullah, Syukur, 1991, Budaya Birokrasi di Indonesia, dalam Alfiana dan Nazaruddin Syamsudin, Profil Budaya politik Indonesia, Pustaka Utama, Jakarta
Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta
Anwari,2003, Birokrasi Indonesia, Hegelian atau Marxis, The Amin Rais Center, http://www.google.com
Anonymous, 2003, Perilaku Birokrasi dalam Era Globalisasi,
http://www.google.com
Benveniste, GUY, 1997, Birokrasi, terjemahan oleh Sahat S, Rajawali Press, PT. Gravindo Persada, Jakarta
Blau, Peter M., dan Marshal W. Meyer, 2000, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, terjemahan Slamet Rijanto, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta
Cjokroanudjojo, Bintoro, 2001, Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), Jakarta
Cjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi da/am Polemik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Dwiyanto, Agus dkk, 2002, Reforrrrasi Birokrasi Publik Indonesia, PSKK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Djunaedi, 2003, Birokrasi yang Amanah, http://www.google.com
Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2001, Reinventing Indonesia, Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Faisal, S., 1981, Dasar dan Teknik Penelitian Keilmuan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya
Faisal, S., 1992, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasi, Rajawali Press, Jakarta
Gerth, HH, dan C. Wright Mills, 1958, from Max Weber Essay in Sociology, Oxford University Press, New York
Idris, Moch., 2002, Birokrasi pemerintahan Desa dalam Pembangunan, tesis Universitas Brawijaya, Malang
Juliantara, Dadang, 2000, Aru.s Baivah Demokrasi dan penrberdayaan desa,
Lapera, Yolryakarta
Kaho, Josef Riwu, 2001, prospek Utonomi + Daerah di Negara republik Indonesia, Identifikasi. Beberapa faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, PT. Raja Gravindo, Jakarta
Kjellberg, Francesco, 1995, 1985 The Changing Values of Local Government, ANNALS, AAfSS
Lembaga Administrasi Negara (LAN), 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (AKIp), Jakarta
Liang Gie, The, 1969, pertumbuhan Pemeritahan Daerah di Negara republik Indonesia Jilid II, Gunung Agung, Jakarta
Luthan, Fres, 1981, Organization Behaviour, Third Edition, International Student Edition, Mc. Graw-Hill International Book Company
Manila, LGK., 1996, paktek Manajemen Pemerintahan Dalamr negeri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Mardimin, Johanes, 1996, Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Milles, M.E3. dan Huberman A.M. 1992, Analisis Dalam Kualitatif; terjemahan, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Mufiz, Ali, 1985, Administrasi Negara, Studi tentang Birokrasi, Buku Materi Pokok UT, Jakarta
Moleong, Lexy J., 1997, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Nasution, S., 1988, Metodologi penelitian Kualitatif, ‘Usaha Nasional,Surabaya.
Ndraha, Taliziduhu, 1997, Budaya Organisasi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Obolensky, Nick, 1996, Practical Business Re-Enginering, terjemahan oleh Soesanto Budidarmo, Elex Media Komputindo, Jakarta
Pide, Andi Mustari,. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki A bad XXI, Gaya medya pratama, Jakarta.
Rasyid, M. Ryaas, 2002, Makna Pemerintahan, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Surbakti,Ramlan,1999, Alternatif Masa Depan Pemerintahan Daerah, Artikel Harian Jawa Pos, Surabaya.
Suryaningrat, Bayu. 1981. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu Analisa, Dewaruci Press, Jakarta
Suryono, Agus, 2001, Budaya Birokrasi _Pelayanan Publik, dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol. I Edisi 2, Maret 2001, Malang
Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, 2002, Otonorni Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi, tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi, PT. Gugus Press, Bekasi
Siagian, Sondang P., 1994, Pathologi Birokrasi, Analisis Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia, Jakarta
Simainora, 1986, Administrasi pembangunan, Batas-batas, Strategi, Pembangunan, Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi,
CV. Rajawali, Jakarta
Singarimbun, Masri dan Sofian effendi,
1995, Metode Penelitian Survai,
LP3ES, Jakarta
STPDN, 1999, Profil Desa di Indonesia Wilayah Barat, Kajian terhadap Desa Swadaya, Swakarsa dan Swasembada, Tim Penyusun STPDN, Jatinangor
——-, 1999, Sistem Pemerintahan Desa Adat di Indonesia, Tim Penyusun STPDN, Jatinangor
Taufik, Gunawansyah, 2003. Bangun Format Ideal Birokrasi, Jadikan Rakyat sebagai Klien, dalam Pikiran Rakyat, tanggal 15 Februari 2003, Bandung
Tenue, Henry, 1995, Local Government and Democratic Political Development, ANNALS, Pensylvania University
Thoha, Miftah, 2002, Reformasi Birokrasi pemerintah, Makalah Seminar Good Governance tanggal 24 Oktober 2002 di Bappenas, Jakarta
——-, 2002, Perspektif Perilaku Birokrasi, dimensi-dimensi Prima ilmu Administrasi Negara Jilid II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
——-, 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafndo Persada, Jakarta
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya
Yin, R.K., 1987, The Case Study ay A Seriozcs Research Strategy, Rond Corporation, Santa Monica, CA
Yulianto, 1996, Pengaruh Kepemimpinan Kepada Desa dan Kualitas .Sumber Daya Aparat Desa terhadap Keberhasilan Pembangunana Desa, tesis Unversitas Gajah Mada, Yogyakarta
Zauhar, Susilo, 1994, Desentralisasi, Otonomi Daerah dan pembangunan nasional pelopor, Jakarta
——-, 2001, Administrasi publik, Penerbit Universitas Negeri Malang, Malang
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Kuangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum mengenai Desa.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 115 Tahun 1991 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kelurahan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1993 tentang Pedoman Orgainisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor 31 Tahun 2000 tentang Badan Perwakilan Gampong.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor 32 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentan Geuchik Gampong.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor 33 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pengangkatan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Perangkat gampong.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor 34 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah gampong.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor 42 Tahun 2000 tentang Lembaga Tuha puet gampong.
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor : 002 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi danTata Kerja Sekretariat Daerah, Kecamatan dan Kelurahan dalam Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor : 003 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor : 004 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Aceh Utara.
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Utara Nomor : 005 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Utara
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Sagoe atau Banda dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Pemerintah Sagoe Cut dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam..
Rancangan Qanun Provinsi NAD Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

REORIENTASI PLATFORM KIPRAH PERUM PERUMNAS: Menggeser Arah Kebijakan Strategis

REORIENTASI PLATFORM KIPRAH PERUM PERUMNAS:
Menggeser Arah Kebijakan Strategis dari Sekadar Berorientasi pada Kelayakan dan Keterjangkauanmenuju Basis Good Corporate Governance
Syakrani
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Ia adalah Kandidat Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB dan sedang menulis disertasi tentang Pengembangan SDM Berbasis Komunitas.
endapatkan tempat tinggal (baca: rumah) yang layak huni bukan sekadar kebutuhan penduduk yang harus dipenuhi, terutama oleh pemerintah, tetapi juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Konsep layak huni di sini perlu dipahami dengan lebih cerdas.
Terlepas dari muatan maknanya yang sangat relatif, tetapi ada satu titik acu yang bisa disepakati. Dalam konteks ini, jelas rumah bukan sekadar tempat manusia berlindung dari terik matahari dan guyuran air hujan. Ungkapan Rumahku adalah surgaku (al-Hadits) menggambarkan bahwa rumah, berapa pun tipenya, harus bisa menjadi wadah bagi terwujudnya fungsi fisik-biologik, edukasi atau sosialisasi, sosial-budaya, ekonomi, dan pengembangan kecerdasan emosional-spiritual manusia penghuninya antar atau lintas-generasi. Dengan kata lain, rumah harus bisa memberi tempat kepada penghuninya agar mampu menjalankan fungsi totalitas kemanusiannya. Titik acu ini memang sangat sulit ditransformasi ke dalam kriteria obyektif yang universal. Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bertambah banyaknya jumlah pakar yang menekuni bidang ini lebih memudahkan terformulasikannya kriteria yang lebih mudah diterima sebagai ukuran-ukuran obyektif, sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Menurut data terakhir, di Indonesia masih cukup banyak penduduk atau keluarga belum memiliki rumah. Kalau data ini ditambah dengan jumlah keluarga yang sudah punya rumah, tetapi tidak layak huni, maka jumlah keluarga yang tidak bisa mememuhi hak-hak dasarnya mungkin akan menjadi dua kali lipat. Perkembangan ekonomi yang akhir-akhir ini sulit diprediksi, harga bahan-bahan yang cenderung naik, dan ketahanan ekonomi sebagian besar keluarga yang belum pulih menimbulkan dua hal yang sangat paradoksal. Pertama, harga rumah akan semakin mahal. Rumah RSS tipe 36 misalnya, yang dibangun oleh Perum Perumnas atau pengembang lainnya, yang nota bene sebenarnya “kurang” layak huni, sekarang hanya bisa dijangkau oleh pegawai bergolongan pangkat III ke atas atau penduduk yang setara penghasilannya dengan mereka. Untuk kasus Banjarbaru, Propinsi Kalimantan Selatan misalnya, harga jual rumah tipe RSS 36 per November 2002 sebesar Rp. 40.745.000 dengan uang muka berkisar antara Rp. 13.745.000 sampai Rp. 17.745.000 dengan angsuran berkisar antara Rp. 401.494 (15 tahun) sampai Rp. 744.093 (5 tahun). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, harga jual naik menurut logika pasar; bukan berdasarkan kenaikan penghasilan penduduk. Kedua, penghasilan sebagian besar keluarga dalam waktu dekat atau bahkan lima tahun ke depan tidak akan beranjak baik, sehingga akses mereka ke kredit pemilikan rumah semakin terbatas. Dua kondisi paradoksal ini memudahkan kita untuk memprediksi bahwa setidak-tidaknya untuk lima tahun ke depan, jumlah keluarga tak berumah layak huni akan semakin banyak. Dengan demikian, statistik pelanggaran hak asasi manusia bidang pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang layak ini di Indonesia akan semakin menanjak. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana mengendalikannya?
A. Rumah dan Fungsi Kemanusiaan.
Cerita tentang perkembangan sosiologis sebuah komunitas, katakanlah dari masyarakat berburu ke masyarakat peramu, menunjukkan betapa pentingnya peran tempat tinggal bagi mereka (lihat Sanderson, 1993). Selintas, rumah bagi warga komunitas berburu (hunting society) yang mengembangkan pola pemukiman tak menetap hanyalah dijadikan sarana untuk melindungi bubuhannya dari serangan binatang, musuh, atau serangan alam secara fisik. Walaupun kesimpulan ini tidak terlalu benar, karena relasi promiskuitas antar-pasangan juga dilakukan di rumah-rumah itu, tetapi fungsi rumah dari dulu hingga sekarang mengalami perkembangan yang dramatis.
Berger (1991) mengemukakan, manusia berbeda dari hewan; manusia adalah makhluk yang belum selesai saat dilahirkan. Karena itu, ia lahir dengan sangat sedikit pengetahuan, tetapi punya banyak potensi untuk belajar. Sedangkan hewan lahir dengan banyak pengetahuan, tetapi sangat sedikit potensi untuk belajar. Potensi belajar yang dimiliki oleh manusia memungkinkannya untuk menunaikan tugas atau fungsi finishing kemanusiannya. Perkembangan peradaban atau setidak-tidaknya kebudayaan dan masyarakat mengikuti dan merupakan fungsi dari perkembangan potensi belajarnya. Fungsi-fungsi kebudayaan, di mana rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu bentuk ekspresi potensi berbudaya manusia, yang merupakan hasil dan sekaligus sarana serta pembentuk pengembangan potensi dan fungsi kemanusiannya juga berkembang secara adaptif. Begitulah, kalau rumah dijadikan contoh kasus, maka fungsi rumah mengalami perubahan dramatis. Tapi sampai di sini kita baru melihat hubungan manusia dan rumah, yang merupakan salah satu bentuk ekspresi karya, karsa, dan rasa (kebudayaan) manusia secara nondialektik.
Berger (1991) mengingatkan, manusia pada satu momen adalah pembentuk atau pencipta kebudayaan. Tetapi pada momen yang lain atau bahkan yang bersamaan, kebudayaan justeru dapat mempengaruhi manusia secara individu dan kolektif (masyarakat). Hubungan manusia (masyarakat) dan kebudayaan secara dialektik ini digambarkan oleh Berger berlangsung melalui proses eksternalisasi, obyektivikasi, dan internalisasi. Eksternalisasi menandai sebuah proses pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia baik dalam aktivitas fisik yang menghasilkan kebudayaan maupun aktivitas mental yang menghasilkan peradaban. Obyektivikasi merupakan proses penyandangan produk-produk budaya yang dibuatnya sendiri dalam bentuk suatu faktasitas yang eksternal dan berbeda dari penciptanya sendiri. Sedangkan internalisasi merupakan proses penyerapan kembali atau transformasi faktasitas itu ke dalam kesadaran subyektifnya; sebuah proses tak terhindarkan yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan watak, karakter, atau aktualisasi kapabilitas utama manusia (central human functional capabilities).
Diskusi di atas memberikan justifikasi filosofis atau setidak-tidaknya pembenar teoretik pernyataan bahwa memiliki tempat tinggal yang layak huni memang merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat signifikan. Konsekuensinya, rumah harus dipandang sebagai sebuah produk budaya; bukan sekadar komoditas ekonomi. Sebagai sebuah produk budaya, maka sejatinya rumah juga dipahami sebagai sarana dan/atau wadah produktif dan kondusif bagi pengembangan central human functional capabilities penghuni atau keluarga yang menempati. Konsep layak huni idealnya dan seharusnya dirujukkan pada strategisnya aktualisasi dan pengembangan central human functional capabilities penghuninya secara lintas-generasi.
Nussbaum (1997) mengemukakan setidak-tidaknya 10 central human functional capabilities manusia yang harus dikembangkan agar manusia bisa melakukan totalitas fungsi kemanusiannya, yakni (1) life: kemampuan untuk bisa hidup panjang (longevity) secara normal tanpa gangguan apa pun yang menyebabkan manusia mati sebelum waktunya (dying premature); (2) bodily health: kemampuan untuk bisa hidup sehat, yang mencakup kesehatan reproduksi, cukup gizi, dan aman atau terlindung dari gangguan manusia, alam, dan hewan (good shelter); (3) bodily integrity: kemampuan untuk secara bebas bergerak dan beraktivitas serta dihargai kedaulatan atas raganya, yang memungkinan ia bebas dari gangguan atau ancaman pelecehan seksual dan diskriminasi, atau ancaman lain; (4) sense, imagination, and thought: kemampuan untuk memaksimalkan potensi rasa, imajinasi, dan akal; kemampuan untuk menggunakan potensi rasa, imajinasi, dan akal sebagai manusia yang utuh; (5) emotion and spiritual: kemampuan mengoloh potensi emosi dan spiritual dengan sehat: rasa cinta, empati, peduli, kecewa
, marah, takut, trust, peduli, percaya diri, motivasi, jujur, toleran, beriman, taat, patuh, pemaaf, dsb. (baca: kecerdasan emosional-spiritual); (6) practical reason: kemampuan membentuk pengertian tentang yang baik dan menentukan pilihan masa depan; (7) affiliation: kemampuan untuk hidup bersama dan dengan orang lain atas dasar rasa cinta dan toleransi; (8) other species: kemampuan mencintai makhluk-makhluk lain; (9) play: kemampuan hidup santai, tertawa, bercanda dan rasa humor; dan (10) control over one’s environment: kemampuan mengelola dan menguasai sumberdaya alam, serta berpartisipasi dalam ambil keputusan pengelolaan lingkungan. Penghuni atau keluarga yang bisa hidup dalam rumah yang kondusif untuk fungsi-fungsi ini akan menjadi keluarga seperti yang dibayangkan oleh Suzanne Gordon (1991), yakni a heaven in a heartless world, sebuah surga di dunia yang makin tak bernurani. Keluarga atau rumah tangga yang mendiami rumah semacam ini akan menjadi Departemen Pendidikan, Kesehatan, dan Departemen Kesejahteraan paling orisinil bagi penghuninya (Barnett dalam Fremann, 1999) yang menjadi wadah untuk pengembangan keterampilan-keterampilan unggul (Rich, 1997), kebajikan-kebajikan moral (Popov dkk., 1997), atau kapabilitas-kapabilitas utama (Nussbaum, 1997). Kegagalan keluarga mengembangkan potensi-potensi dasar ini pada anggotanya, terutama pada anak-anak, tidak dapat diganti oleh lembaga apa pun, termasuk sekolah.
Memang banyak faktor yang menyebabkan optimasi pengembangan kapabilitas utama ini. Tetapi rumah, yang tidak dipahami atau dipahami sebagai produk budaya dan wadah produktif-kondusif bagi pengembangan kapabilitas utama manusia memegang peran yang sangat strategis dalam pembentukan kapabilitas utama tersebut.
Rapoport (1976) dalam laporan penelitiannya yang berjudul The Mutual Interaction of People and Their Built Environment: A Cross-cultural Perspective mengemukakan, di kebudayaan mana pun, rumah sangat mempengaruhi perkembangan (fisik dan mental) penghuninya. Cardwell dan Bradley (1984) mengemukakan, rumah yang ditata berdasarkan selera teknis atau keinginan orangtua semata potensial untuk menghambat perkembangan anak-anaknya. Bronfenbrenner (1977) dan Berns (1997) menjelaskan bahwa proses sosialisasi paling awal dan paling utama dilakukan tidak dalam situasi hampa spasial, tetapi dilakukan dalam konteks spasial oleh significant others, khususnya orangtua dalam sebuah wahana yang kita kenal dengan konsep rumah. Begitu strategisnya rumah sehingga Schmallenbach (2001) harus mengakui bahwa banyak gagasan yang bisa menyelamatkan dunia dimulai dari rumah: 101 ideas to save our world start at home. Sekali lagi, ini hanya mungkin tercapai bila rumah oleh siapa pun, termasuk oleh Perum Perumnas, dipahami tidak hanya sebagai sebuah komoditas ekonomi yang diproduksi menurut kaidah pasar dan prinsip-prinsip kapitalisme, tetapi sebagai sebuah produk budaya, yakni hasil karya, rasa, dan karsa sebagai resultanta dari totalitas pencurahan kedirian manusia baik melalui aktivitas fisik maupun mental, yang melalui proses obyektivikasi dan internalisasi hasil totalitas pencurahan itu ditransformasi sendiri oleh sang penciptanya ke dalam kesadaran subyektifnya, yang kemudian secara signifikan mempengaruhi pembentukan sikap, karakter, atau aktualisasi central human functional capabilitiesnya. Alangkah mulyanya bila Perum Perumnas berkomitmen dan berpartisipasi dalam pengembangan kapabilitas-kapabilitas utama ini melalui Reorientasi kelembagaan dengan cara menggeser secara revolusioner arah kebijakan dari sekadar berbasis keterjangkauan dan kelayakan menuju pada basis pengembangan potensi manusia.
Peluang atau bahkan keniscayaan Perum Perumnas untuk berpartisipasi dalam pengembangan potensi atau kapabilitas ini bukan tanpa titik rujuk yang kuat. Titik rujuk ini dapat diamati dari upaya serius dari banyak kalangan dalam mengarus-utamakan paradigma the children on the universe (Etzioni, 1993). Munculnya paradigma ini bertepatan dengan kuatnya desakan diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumberdaya penduduk, yang menghendaki agar urusan publik tidak didominasi pengelolaannya oleh sektor negara, tetapi ada keterlibatan dan komitmen kuat dari sektor swasta dan civil society organizations (CSOs).
Salah satu preskripsi dari paraigma the children on the universe adalah bahwa tumbuhkembang anak (baca: pengembangan SDM sejak usia dini) bukan hanya tanggung jawab orangtua, tetapi juga tanggung jawab pemerintah dan pihak-pihak lain. Orangtua, keluarga, dan masyarakat luas akan sama-sama mendapat keuntungan dari tumbuhkembang anak yang sehat sejak dini ini. Sebaliknya, orangtua, keluarga, dan masyarakat luas akan sama-sama mendapat kerugian dari tumbuhkembang anak yang tidak sehat sejak dini ini. Dalam konteks ini, kira-kira pada aspek mana saja Perum Perumnas bisa memberi kontribusi yang signifikan pada pengembangan kapabilitas-kapabilitas fungsional manusia, dengan keyakinan kuat bahwa kontribusinya itu akan memberi keuntungan finansial dan nonfinasial kepada dirinya secara kelembagaan?
B. Wacana Good Governance.
Bagi Perum Perumnas atau pengembang lainnya tidak mudah memang merancang sebuah paduan kreatif antara logika pasar dan basis budaya dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan, terutama kebijakan penyediaan tempat tinggal bagi penduduk. Sebagai sebuah institusi ekonomi atau semi-bisnis, Perum Perumnas memang dituntut untuk bukan hanya servive, tetapi juga harus berkembang. Masalahnya adalah, bagaimana institusi ini harus dikelola agar bisa survive atau bahkan berkembang?
Ilmu pengetahuan, khususnya management science, dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang cukup pesat. Pandangannya tentang manusia dan prinsip-prinsip yang mendasari pencapaian tujuan bersama mengalami pergeseran cukup signifikan. Dari dulu hingga sekarang, setiap kali konsep manajemen didefinisikan, sekurang-kurangnya ada tiga pilar yang ditekankan, yakni (1) value-creation: goals and objectives statement; (2) how to get things done through and with other people to achieve the goals or objectives, (3) principles statement underpinning the achievement of the goals or objectives. Pilar ketiga mengalami perubahan lebih revolusioner daripada pilar pertama dan kedua. Morgan (1986) dalam bukunya Images of Organization mengemukakan, model organisasi paling awal yang secara ilmiah diciptakan oleh manusia adalah organization as machines. Menurut dia, ini sekadar metafora tentang sebuah organisasi yang dirancang dan digerakkan oleh prinsip presisi. Menurut Gouillart dan Kelly (1995), organisasi semacam ini “… has been economic agents in an efficient market system ….” Selain itu, ibarat sebuah mesin, ia hanyalah instrumen untuk mencapai efisiensi, efektivitas, atau produktivitas. Tetapi value-creation yang paling utama, khususnya di institusi bisnis, adalah profit making. Menurut Drucker (1997), sekarang organisasi bisnis sekali pun tidak boleh dikelola hanya berdasarkan metafora dan menetapkan value-creation seperti itu. Organisasi masa depan harus menganggap dirinya sebuah social entity, yakni sebuah unit pranata sosial yang tidak terisolasi dari komunitasnya, serta harus peka, peduli, dan bertanggungjawab pada pembangunan komunitas (community development).
Preskripsi wacana atau konsep good governance lebih moderat daripada tuntutan Drucker. Menurut United Nations Development Programme (1997), governance merupakan “… the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs.” Pengelolaan urusan-urusan negara atau urusan publik seperti penyediaan barang dan jasa publik dalam konteks good governance tidak harus dimonopoli oleh sebuah institusi, tetapi bisa merupakan hasil kolaborasi (sinergi atau kemitraan) antara dua atau tiga bentang kelembagaan, yakni sektor negara, swasta, dan organisasi masyarakat madani (CSOs). Jadi, dalam semangat wacana good governance, semua pengelolaan urusan publik, termasuk penyediaan rumah untuk penduduk, harus diselenggarakan berdasarkan mekanisme sinergi atau kemitraan. Di sini ada tuntutan lain kepada setiap sektor at
au pelaku, yakni untuk menentukan fungsinya masing-masing: kapan dan untuk aspek apa saja dalam pengelolaan urusan publik itu sebuah sektor harus berfungsi sebatas rowing (menyelenggarakan semua aspek penyelenggaraan dari awal sampai akhir), steering (mengarahkan saja), dan enabling atau facilitating (memudahkan terselenggara dan tercapainya tujuan kesejahteraan rakyat).
Selain soal kolaborasi, wacana good governance menyediakan sejumlah prinsip yang mendasari penyelenggaraan urusan publik sampai mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Selain prinsip dasar yang menjadi ciri pembeda dari setiap sektor, profit making misalnya untuk sektor swasta atau semi-swasta, kiprah setiap sektor harus dilandasi oleh prinsip-prinsip lain, seperti akuntabilitas publik, keadilan, kemitraan, partisipasi, pluralisme, keberpihakan kepada kebutuhan penduduk (voice of the customers), subsidiaritas, taat hukum, transparansi, tanggung jawab, efisiensi, efektivitas, dan sustainabilitas. Prinsip-prinsip ini merupakan bagian integral dari seluruh mekanisme pengelolaan (baca: manajemen publik) urusan publik oleh lembaga apa pun.1 Sekarang
1Tjokroamidjojo (2002) mengemukakan, penerapan prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta (private sector governance) disebut good corporate governance.
pertanyaannya adalah, bagaimana semangat wacana good governance ini diterapkan pada pengelolaan urusan penyediaan (kredit) rumah bagi penduduk oleh Perum Perumnas?
Good governance sebagai paradigma terbaru bagi pengelolaan urusan publik, tidak mengharamkan realisasi nilai utama dari sebuah institusi bisnis atau semi-bisnis seperti Perum Perumnas, yakni profit making melalui maksimalisasi efektivitas dan efisiensi internalnya. Tetapi, realisasi nilai utama akan menjadi persoalan atau dipersoalkan manakala ia mengabaikan kaidah-kaidah lain. Kaidah atau prinsip akuntabilitas publik setidak-tidaknya mempertanyakan dua hal, yakni (1) atas dasar apa sebuah tindakan atau kebijakan (publik dan bisnis) diambil, (2) untuk apa sebuah tindakan atau kebijakan diambil. Yang pertama berkaitan dengan prinsip taat hukum (rule of the law): apakah dasar hukum yang melandasi sebuah tindakan atau kebijakan sudah sah? Dalam konteks kiprah Perum Perumnas misalnya harus dipertanyakan, apakah dasar implementasi kebijakan pembangunan RSS atau penaikan harga jual sah secara hukum?
Yang kedua mungkin lebih rumit lagi. Ini berkaitan dengan soal asas manfaat: apakah sebuah tindakan atau kebijakan bisa memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal kebijakan penyediaan rumah bagi rakyat, terutama bagi rakyat marjinal, apakah kebijakan ini hanya mempertimbangkan perlindungan fisik dengan mengabaikan manfaat fungsi pengembangan central human functional capabilities penghuninya?
Asas manfaat juga berkaitan dengan persoalan siapa yang punya hak sah untuk menentukan dan mendefinisikan nilai manfaat, misalnya kelayakan huni, sebuah tempat tinggal? Diakuinya good government sebagai paradigma terbaru dari manajemen urusan publik berkaitan dengan mainstreaming kearifan-kearifan modial yang harus dijadikan landasan dalam setiap urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Antara lain adalah demokratisasi.
Paham demokrasi mengajarkan kepada kita bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat baik secara individu maupun kolektif. Menurut Seligman (1992), kedaulatan yang secara operasional mencakup sumberdaya ekonomi, politik, dan sumberdaya sosial-budaya awalnya diamanatkan kepada sektor negara pengelolaannya. Tetapi menurut dia, kinerja sektor negara dalam menyelenggarakan amanat ini sangat mengecewakan. Rakyat sebagai pemilik sah semua sumberdaya tersebut mencari sektor atau institusi alternatif, yakni sektor swasta untuk mengelola sebagian sumberdaya, yakni sumberdaya ekonomi. Tetapi kinerja sektor ini juga sangat mengecewakan. Jadi, baik sektor negara maupun swasta kurang mampu menyelenggarakan amanat itu, dalam pengertian kurang mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Munculnya sektor ketiga, CSOs, merupakan pencarian rakyat untuk mendapatkan sektor alternatif lain yang bisa mendampingi dua sektor sebelumnya dalam menyelenggarakan amanat tadi.
Wacana di atas sebenarnya akan mengemukakan, bahwa penentuan asas manfaat dari produksi dan penyediaan barang dan jasa publik bukan masanya lagi ditentukan secara sepihak oleh pihak penyedia barang dan jasa publik, atau bahkan penyedia komoditas ekonomi. Kriteria layak huni dari sebuah rumah, tipe berapa pun, oleh Perum Perumnas tidak boleh didasarkan pada penilaian lembaga penyedia atau producer semata, baik atas dasar kriteria teknik maupun non-teknis. Suara atau kebutuhan konsumen atau pelanggan harus menjadi tolok ukur atau landasan bagaimana sebuah produk barang dan jasa harus diproduksi dan/atau dipasarkan. Dalam manajemen pemasaran modern (lihat misalnya Kotler dan Armstrong, 1996) dan Total Quality Service (lihat misalnya Stamatis, 1996), suara konsumen, yang dipresentasikan dengan konsep quality, menjadi titik fokus dari semua aktivitas bauran pemasaran atau proses pemasaran dan penyediaan pelayanan. Kualitas, yang didefinisikan sebagai paduan atribut dan keistimewaan langsung maupun tak langsung dari sebuah produk barang dan/atau jasa yang bisa memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan konsumen (lihat Gaspersz, 1997), menjadi fisolosofi atau kultur kerja (baca: paradigma kerja) semua unsur organisasi; bukan hanya tanggung jawab salah satu divisi tertentu, misalnya divisi produksi atau pemasaran. Stephen Burnett (Kotler dan Armstrong, 1996) mengemukakan bahwa, “In a truly great marketing organization, you can’t tell who’s in the marketing department. Everyone in the organization has to make decisions based on the impact on the customers.” Jadi, tujuan to create customer satisfaction merupakan urusan semua orang dan divisi dalam sebuah organisasi. Dalam konteks ini berlaku kaidah, barang atau jasa yang bermutu adalah barang atau jasa yang bisa memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen; bukan harapan yang memproduksi. Kebutuhan atau manfaat dari sebuah barang dan jasa di sini tidak didefinisikan oleh penyedia barang dan jasa, tetapi oleh pengguna. Berkaitan dengan ini, prinsip keragaman, baik budaya maupun selera, mestinya menjadi perhatian serius dari penyedia, yang dalam hal ini adalah Perum Perumnas (kaidah ini sangat relevan dengan himbauan untuk menilai kembali kebijakan penyeragaman bentuk rumah kredit). Dalam kaitannya dengan mutu produk barang dan jasa, yang didefinisikan seperti di atas, sekarang berkembang dawai konseptual baru, yakni the six sigma way. Dawai ini oleh banyak ahli, misalnya Pyzdek (2002), Pande, Neuman, Cavanagh (2002), dan Gaspersz (2002), dianggap lebih progresif daripada TQM atau TQS.2 Tetapi dawai konseptual baru ini tetap memposisikan kebutuhan dan harapan pelanggan sebagai titik fokus produksi barang dan jasa, serta peningkatan mutu. Perusahaan dan birokrasi publik di Indonesia tampaknya belum sempat mempertimbangan penerapan inovasi ini. Beberapa perusahaan tahun-tahun terakhir ini baru menerapkan sebagian dari prinsip-prinsip TQS atau TQM seperti penerapan tiga perilaku tidak: no delay, no special payment, dan no error. Tetapi perusahaan ini, mungkin juga Perum Perumnas, belum pernah menghitung berapa DPMO yang pernah dicapai dalam setiap sejuta kesempatan memberi pelayanan atau membangun rumah untuk rakyat, atau belum pernah mempertimbangkan penerapan kaidah-kaidah budaya manajemen baru untuk peningkatan mutu. Menurut Drucker (1997), dalam menghadapi globalisasi, lembaga apa pun harus mulai memikirkan untuk menggeser atau bahkan mengganti kaidah-kaidah lama dengan kaidah-kaidah manajemen baru – Drucker menggunakan istilah culture of management, agar bisa disebut sebagai organisasi masa depan dan mampu berkompetisi dengan lembaga lain.
C. Strategi Reorientasi Kelembagaan: Business Transformation.
Bagaimana Perum Perumnas harus dikelola sehingga bukan hanya bisa servive, tetapi juga bisa berkembang dalam bingkai kultur manajemen baru, yakni good corporate governance? Ada dua kasus menarik untuk dikemukakan berkaitan dengan persoala
n ini.3 Kasus pertama menceritakan tentang upaya keras sebuah perusahaan kosmetika di Amerika Serikat melakukan revitalisasi, setelah beberapa tahun terakhir mengalami
2Pyzdek, Pande, Neuman, Cavanagh dan Gaspersz mengemukakan, the six sigma way merupakan perkembangan terbaru. Sebelumnya hanya mampu dicapai sampai level tiga (the three sigma). Perusahaan yang berhasil mencapai the six sigma bisa memastikan bahwa setiap sejuta kesempatan penyediaan barang dan jasa kepada konsumen hanya terjadi cacat sebesar 3.4 (3.4 defect per million opportunities/3.4 DPMO). Satu contoh bisa dikemukakan. Perusahaan A adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Sekarang ia mendapat pekerjaan untuk mencuci karpet seluas 1500 m2. Karena perusahaan ini sudah mencapai the six sigma, maka karpet yang tidak tercuci dengan bersih (defect) hanya sekitar 0.005 m2.
3Dua kasus ini diceritakan dalam dua buku menarik, yakni The Organization of The Future (Hesselbein, 1997) dan Principles of Marketing (Kotler dan Armstrong, 1996).
penurunan omset dan keuntungan. Hasil penelitian menunjukkan, penurunan ini disebabkan oleh penolakan penduduk secara diam-diam dan missal terhadap produk perusahaan lantaran perusahaan ini tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan hidup, yang juga menjadi sumber dari sebagian bahan mentah produknya. Manajemen perusahaan memutuskan untuk menyisihkan sebagian keuntungannya guna membantu penduduk mengatasi masalah lingkungan hidup. Tahun-tahun pertama langkah ini memang memberatkan. Tetapi setelah itu, lambat laun kehidupan perusahaan berjalan normal seperti sebelum terjadi penurunan omset dan keuntungan.
Kasus kedua adalah cerita sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finansial. Sama dengan kasus pertama, dalam beberapa tahun terakhir profit yang diperoleh mengalami penurunan drastis bahkan sebagian besar angsuran kredit macet. Dalam sebuah rapat untuk membahas masalah tersebut, setiap divisi saling menyalahkan divisi lain sebagai penyebabnya. Tapi pimpinan perusahaan meminta bagian pemasaran untuk meneliti penyebab utamanya. Hasilnya adalah bahwa penyebab utama semua itu adalah menurunnya pendapatan sebagian besar penduduk di wilayah operasinya. Persis sama dengan langkah yang diambil oleh perusahaan kosmetika, perusahaan ini juga memutuskan untuk meluncurkan sebuah program sosial yang bertujuan meningkatkan penerimaan penduduk. Awalnya memang menjadi beban, tetapi lambat tetapi pasti, masalah yang dihadapi oleh perusahaan dapat diatasi bersamaan dengan makin membaiknya pandapatan keluarga di wilayah operasinya.
Program sosial yang ditempuh dua perusahaan ini adalah sebuah contoh yang menggambarkan dua hal sekaligus: (1) digesernya pemahaman lama tentang eksistensi sebuah lembaga dari sekadar institusi bisnis menjadi sebuah social entity yang bertanggungjawab dan peduli terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi penduduk, meskipun kepedulian itu jauh di luar visi dan misi utamanya; (2) kesadaran bahwa program sosial merupakan salah satu strategi ampuh untuk revitalisasi perusahaan.
Wacana good corporate governance menyediakan strategi alternatif lain bagi Perum Perumnas untuk melakukan reorientasi kelembagaan, yakni partisipasi dan kemitraan untuk menuju sustainabilitas. Sekurang-kurangnya ada dua sasaran yang bisa ditetapkan dari reorientasi ini, yakni kepedulian terhadap masalah sosial dan memadukan secara kreatif rumah sebagai komoditas ekonomi dan produk budaya. Reorientasi kelembagaan ini dilakukan melalui proses tertentu. Misalnya, pertama, yang paling strategis adalah sosialisasi dan internalisasi kepada semua divisi dan karyawannya di semua level bahwa Perum Perumnas bukan hanya sebuah institusi bisnis atau semi-bisnis, tetapi juga sebuah social entity yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap masalah-masalah sosial penduduk, terutama masalah pengembangan kapabilitas utama manusia. Perubahan atau penggeseran secara sistematik eksistensi dirinya sangat strategis, karena ini menyangkut evaluasi dan reorientasi platform kiprah, visi, misi, dan manajemen strategisnya. Dengan kata lain, hasil sosialisasi dan internalisasi ini tentu akan mengakibatkan perubahan visi dan misi Perum Perumnas: bergeser jauh dari sekadar economic-driven institution tetapi juga social profit-driven institution. Pergeseran ini juga akan sangat mempengaruhi panduan-panduan nilai yang memandu perusahaan ini dalam mewujudkan visi dan misinya: bergeser jauh dari sekadar technical professionalism, transparency and responsibility, internal efficiency and effectiveness, tetapi juga social accountability, quality and equity.
Kedua, harus ada kesadaran dan sekaligus pengakuan tulus bahwa platform, visi, misi dan manajemen strategis baru ini cukup atau sangat sulit diwujudkan tanpa kemitraan dan partisipasi institusi lain baik pengembang dan kekuatan-kekuataan lain yang tumbuh pada level akar rumput (civil society organizations). Perusahaan ini harus mampu meningkatkan kemampuan seluruh divisi dan karyawannya dalam mengembangkan kemitraan atau linkage (enabling linkages, functional linkage, normative linkages) dengan berbagai pihak atau stakeholder untuk mewujudkan misinya: menyediakan rumah layak huni dalam pengertian bukan sekadar tempat berlindung, tetapi juga wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia) bagi penduduk, terutama penduduk marjinal.
Ada beberapa keuntungan potensial bila kemitraan ini bisa diwujudkan. Antara lain adalah: (1) Perum Perumnas bisa memproduksi rumah layak huni (baca: rumah mewah yang bisa langsung menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia) bagi segmen pasar tertentu menurut logika pasar dengan motif utama economic profit seeking; (2) Perum Perumnas terus bisa melanjutkan program pembangunan rumah tumbuh (RS atau RSS) untuk segmen pasar tertentu berdasarkan kaidah social entity, sehingga citra kelembagaan dari perusahaan ini bertambah baik: berubah dari organization as machine menjadi organization as culture and transformation (Morgan (1986); atau dari mechanistic description menjadi biological corporation (Gouillart dan Kelly, 1995); bukan sekadar penghasil komoditas ekonomi dan pencari keuntungan ekonomi, tetapi juga sebagai pendukung perkembangan budaya dan transformasi fungsi-fungsi kemanusiaan. Agar penduduk bisa mengakses kebijakan ini, atau penghuni (keluarga) yang sudah mendiami rumah tumbuh ini bisa mengembangkan rumahnya sampai menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia, Perum Perumnas dengan kemampuan mengembangkan kemitraan bisa melakukan program sosial dan/atau community-based partnership (sifatnya bisa berupa program karitas, tetapi yang ideal harus bersifat pengembangan) untuk tujuan setidak-tidaknya: (1) meningkatkan akses penduduk, terutama penduduk tak mampu sehingga bisa memanfaatkan kredit rumah, dan sekaligus (2) meningkatkan ketahanan ekonomi penghuninya sehingga mereka dengan kemampuannya sendiri secara bertahap bisa mengembangkan rumah tumbuhnya menjadi wadah kondusif bagi pengembangan kapabilitas fungsional utama manusia. Dengan cara demikian, Perum Perumnas bisa memberi kontribusi terhadap pencegahan pelanggaran salah satu hak asasi fundamental manusia dan sekaligus dapat berperan dalam pengembangan SDM sejak dini dalam koridor atau bingkai nilai wacana good corporate governance dan paradigma the children of the universe.
D. Dawai Konseptual Reorientasi.
Bingkai good corporate governance dan paradigma the children of the universe merupakan landasan utama untuk melakukan reorientasi kelembagaan. Ibarat sebuah bangunan, konsep good corporate governance dan paradigma the children of the universe merupakan fondasi reorientasi kelembagaan Perum Perumnas menuju a organization as culture and transformation, social entity atau organisasi masa depan. Di atas fondasi ini harus didirikan pilar-pilar konseptual yang juga kokoh, agar dihasilkan bangunan yang kokoh pula.
Ada sejumlah pilar konseptual pilihan bisa digunakan oleh Perum Perumnas beserta mitra kerja yang berhasil dikembangkan untuk melakukan reorientasi, misalnya the fifth di
scipline (Senge, 1990), the four Rs of transforming organization (Gouillart dan Kelly, 1995), the five Cs strategy (Osborne and Plastrik, 1996), atau capacity-building (Deborah, 1997). Dawai konseptual the four Rs of transforming organization atau yang lebih dikenal pendekatan biological corporation dari Gouillart dan Kelly
diterapkan dalam kajian ini. Gambar 1. Model Teoretik Biological Corporation Bila dipadukan dengan prinsip voice of the customer, maka model dawai ini akan menjadi instrument atau landasan yang dasyat untuk proses revitalisasi (lihat Gambar 1). Menurut Gouillart

BODY & dan Kelly, organisasi ENVIRONMENT BODY WITHIN sebagai sebuah social entity mirip seperti manusia. Ia
punya spirit, body, mind, dan hidup dalam sebuah lingkungan tertentu (body and environment). Rahasia sukses sebuah organisasi menjadi a bio-corporation terletak pada kemampuan seluruh komponen organisasi, terutama unsur manajemen “… to orchestrate the simultaneous transformation of all its systems in a unified pursuit of common goal” (Gouillart dan Kelly, 1995). Sistem ini memiliki 12 kromosom, yang terbagi ke dalam empat kelompok besar seperti disajikan pada Tabel 1.
Preskripsi model ini sangat cocok untuk diterapkan oleh Perum Perumnas untuk melakukan kapasitasi, revitalisasi, atau reorientasi kelembagaan agar tetap bisa eksis sebagai sebuah badan usaha dan berkiprah tangguh sekarang dan di masa depan dalam persaingan global dan dalam mememuhi harapan seluruh stakeholder-nya. Tidak cukup banyak pilihan bagi badan usaha atau lembaga publik dan swasta apa pun untuk menghadapi masa depan kecuali menjadikan kearifan-kearifan mondial seperti akuntabilitas publik, social responsibility, suara pelanggan (stakeholder), quality-oriented, atau prinsip good corporate governance sebagai budaya manajemen Perum
Perumnas. Pendek kata, untuk bisa berkiprah tangguh di masa depan Perum Perumnas harus berusaha keras mereorientasikan dirinya sebagai sebuah a bio-corporation. Bagaimana caranya? Model ini mengajarkan satu pendekatan yang paling mungkin, yakni business transformation, yakni “the orchestrated redesign of the genetic architecture of the corporation, achieved by working simultaneously – although at different speed – along the four dimensions of reframing, restructuring, revitalization, and renewal (the four Rs).”
Reframing adalah proses atau tindakan mengubah konsepsi tentang diri, dan keberadaan, apa yang dapat dicapai dan dilakukan: bukan sekadar agen ekonomi yang memproduksi komoditas ekonomi untuk dijual agar mendapatkan untung, tetapi juga sebagai a social entity yang berkomitmen terhadap masalah sosial, termasuk terhadap pengembangan SDM sejak diri. Menurut Gouillart dan Kelly (1995), organisasi sebagai a bio-corporate sama dengan manusia; ia mengalami masa-masa kemandegan dalam berfikir dan kehilangan kemampuan untuk mengembangkan fresh mental model dalam menghadapi persaingan atau masalah internal organisasi. Untuk mengatasi hal ini, Gouillart dan Kelly menyarankan untuk melakukan tiga hal, yakni (1) achieving mobilization: proses pengerahan energi mental yang dibutuhkan untuk memberi daya terhadap proses transformasi. Ini menyangkut pengembangan motivasi dan komitmen seluruh komponen organisasi (shared motivation and commitment) untuk menghadapi masa depan yang ditandai dengan perubahan; (2) create the vision: formulasi dan internalisasi visi organisasi baru yang menantang (inspiring vision) sesuai dengan gambaran masa depan yang akan dihadapi dan bentuk kiprah yang akan dimainkan; dan (3) build a measurement system: menerjemahkan secara bersama-sama visi itu menjadi misi, tujuan, sasaran, kebijakan-kebijakan, prinsip-prinsip, dan tindakan-tindakan nyata yang terukur. Create the new and inspiring vision sangat penting dalam hal ini, karena reorientasi visi ini akan memayungi pergeseran platform kiprah kelembagaan, manajemen strategis, dan kebijakan yang akan diambil.
Restructuring menyangkut peningkatan stamina fisik sebuah organisasi yang mempengaruhi kesehatan organisasi secara keseluruhan: alokasi sumberdaya, strategi operasi, pembagian dan arus kerja dalam organisasi. Pendek kata, proses ini berkaitan dengan pembenahan stuktur organisasi (body within) agar bisa lincah, tangguh, adaptif, memiliki vitalitas dan kemampuan self-renewal dalam menghadapi globalisasi,

Kromosom
Sistem Terkait
Fokus Terapi
Aspek

4. Construct an Cardiovascular economic model
System
Restructuring Body Within
6. Redesign work architecture

Sense of Gratification
Renewal Spirit
Sense of Community
10. Create reward structure
12. Develop the organization
persaingan, atau tuntutan social responsibility, setelah melakukan reframing, atau setidak-tidaknya usai creating the new and inspiring vision.
Revitalization merupakan proses igniting perubahan, perkembangan, dan vitalitas organisasi dengan cara mengaitkan semua ini dengan lingkungan. Reframing dan restructuring sangat penting. Tetapi ia baru menyangkut soal-soal internal organisasi (mind and body within) dan pernyataan serta komitmen formal lembaga terhadap social responsibility-nya. Motivasi dan komitmen bersama, terciptanya visi baru, dan vitalitas organisasi (lincah dan tangguh) baru ada arti strategisnya bila ia dipersiapkan untuk menghadapi lingkungan, baik itu lingkungan bisnis, sosial-budaya, politik, dan globalisasi. Lingkungan bisnis antara lain berkaitan dengan kompetisi dan kaidah-kaidah etika bisnis baru. Lingkungan sosial mungkin berkaitan dengan tuntutan akan tanggung jawab sosial sebuah lembaga. Lingkungan politik barangkali akan memperhadapkan sebuah perusahaan atau badan usaha seperti Perum Perumnas dengan dinamika politik nasional dan lokal seperti otinomi daerah dan dinamika organisasi masyarakat madani, kebijakan-kebijakan, perubahan landasan hukum, dan tuntutan untuk terlibat atau memberi kontribusi pada demokratisasi dan kapasitasi atau pemberdayaan penduduk. Sedangkan globalisasi mungkin akan menyangkut tuntutan akan kepatutan-kepatutan berbisnis secara global, seperti transparansi, eco-labeling, ISO, mutu, prinsip-prinsip perdagangan bebas, dan hak-hak asasi manusia. Semua ini akan menjadi faktor-faktor konteks yang harus dihadapi baik sebagai peluang atau tantangan bagi sebuah badan usaha seperti Perum Perumnas. Dengan kata lain, proses revitalisasi atau reorientasi memungkinkan Perum Perumnas bukan hanya harus memperhatikan tuntutan, kebutuhan, tanggung jawab, norma, dan kepatutan domestik, tetapi juga internasional dan global.
Terakhir adalah renewal, yakni proses perbaikan vitalitas organisasi melalui peningkatan secara terus menerus kemampuan, profesionalisme, responsibility, kompetensi, dan keterampilan individu – personal mastery menurut Senge (1990) –dalam organisasi. Investing in human capital menjadi kata kunci dalam proses ini. Setidak-tidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni menciptakan dan mendukung terbentuknya lingkungan organisasi sebagai wadah pembelajaran (learning organization), dan mengembangkan struktur atau sistem penghargaan yang mendorong proses pembelajaran.
Empat roda ini harus diputar secara terus-menerus, bertahap, dan terpadu. Pada tahap awal, idealnya proses transformasi atau reorientasi Perum Perumnas harus dimulai dari reframing. Tapi setelah itu, Perum Perumnas bisa memulainya dari mana saja sesuai dengan masalah atau hambatan yang terjadi.
Proses ini menuntut kesabaran, keuletan, keterlibatan semua komponen, dan tekad yang kuat. Kesabaran dibutuhkan, karena output dan outcome proses ini baru bisa dinilai dalam jangka panjang. Pada tahap memulai akan banyak tantangan dan penolakan, karena ia menuntut pengorbanan semua komponen; all the beginning is difficult. Oleh karena itu dibutuhkan keuletan, terutama dari unsur manajemen untuk tetap mempertahankan proses ini, mengatasi konflik dan shock, mengatasi penolakan, dan godaan untuk tidak meneruskan perubahan. Kerap perusahaan harus meminta jasa konsultan untuk merancang atau menda
mpingi orang yang diberi tanggung jawab untuk memprakarsai dan menyelenggarakan proses ini.
Perjuangan berat akan terasa lebih ringan bila perusahaan bisa melibatkan semua orang sejak dari proses inisiasi, perancangan, implementasi, dan evaluasi program transformasi. Tanpa keterlibatan semua komponen, hari-hari akan dihadapi semakin berat. Senge dkk. (1999) mengingatkan, proses transformasi atau perubahan mendasar (profound change) dalam organisasi akan menghadapi berbagai tantangan (challenges), yakni (1) tantangan saat memulai (the challenges of initiating) seperti dari mana dan bagaimana harus memulai, siapa yang harus memulai, bagaimana menumbuhkan kebutuhan untuk berubah, pihak-pihak mana yang harus dimintai bantuannya, kekhawatiran terhadap penolakan, limit waktu dan biaya, dsb. (2) saat mempertahankan perubahan (the challenges of sustaining transformation) misalnya keletihan, kejenuhan, hasil sementara yang belum sesuai dengan harapan, dan rasa takut akan dampak negatif dari perubahan terhadap kepentingan individu, dan (3) tantangan pada tahap perancangan dan pemikiran ulang (the challenges of redesigning and rethinking) antara lain seperti tuntutan otonomi dan gairah untuk melakukan learning process yang dikondisikan oleh keberhasilan mengatasi tantangan pertama dan kedua.
Senge dkk. (1999) juga mengemukakan, sekali roda perubahan dikayuh, maka bersamaan dengan itu banyak alternatif yang tersedia bagi pembaru atau konsultan untuk mengatasi itu. Yang paling penting adalah tetap fokus, mempertahankan networking dan dukungan pimpinan, meningkatkan komunikasi dengan semua komponen dalam organisasi, dan tetap meminta bantuan konsultan (terbuka). Menurut Lippit dkk. (1958) dan Caiden (1969), tantangan-tantangan ini akan dapat diatasi bila konsultan atau orang yang diberi tanggung jawab program transformasi (1) bisa mempertahankan hubungannya dengan client system, (2) bisa tetap dipercaya secara kemampuan dan kepribadian, (2) bisa terus meyakinkan client system bahwa perubahan dan gagasan yang ada di dalamnya akan menguntungkan, dan (3) mempertahan semangat kerja secara teamwork. Kondisi ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa proses transformasi bukan hanya perlu komitmen dari semua komponen, terutama unsur manajemen dalam perusahaan atau organisasi, tetapi juga harus diserahkan kepada orang yang memiliki kepemimpinan yang tangguh, yakni kemampuan untuk memanfaatkan semua tantangan dalam proses transformasi menjadi peluang untuk sukses. Meminjam istilah Paul G. Stoltz (2000), proyek atau proses transformasi tidak boleh diserahkan kepada sembarang orang, tetapi harus diserahkan kepada orang atau orang-orang yang memiliki adversity quotient (AQ) yang tinggi, yakni climbers: tipe orang atau orang-orang yang tidak mudah menyerah, kreatif, dan memiliki keyakinan kuat bahwa segala sesuatu bisa terlaksana, meskipun orang lain memandang negatif. Karena itu Paul G. Stoltz (2000) mengemukakan, di tangan climbers atau pendakilah, perubahan bisa diwujudkan. Masalahnya sekarang adalah, seberapa banyak Perum Perumnas sekarang memiliki orang dengan tipe pendaki, atau menemukan orang-orang tipe pendaki untuk melakukan proses transformasi menuju a biological corporation, yakni sebuah proses menjadikan PerumPerumnas sebagai sebuah lembaga atau badan usaha yang tangguh dalam persaingan global dan mampu memenuhi harapan seluruh stakeholder; sebuah badan usaha yang tidak hanya peduli terhadap dirinya sediri, tetapi juga terhadap tanggung jawab sosial; sebuah lembaga yang tidak hanya mampu membangun rumah sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya?
Daftar Pustaka
Berger, P.L. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. LP3ES, Jakarta.
Berns, R.M. 1997. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. 4th Edition. Harcourt Brace College Publishers, Philadelphia.
Bigner, J.J. 1979. Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Bronfenbrenner, U. 1979. The Ecology of Human Development. Harvard University Press Cambridge.
Caldwell, B.M. and R.H. Bradley. 1984. Home Observation for Measurement of the Environment. University of Arkansas, Little Rock.
Caiden, G.E. 1969. Administrative Reform. Aldine Publishing Company, Chicago.
CIVICUS. 1999. Civil Society at the Millennium. Kumarian Press, Connecticut.
Deborah, E. 2000. Capacity-Building: An Approach to People-Centered Development. Oxfam, UK.
Drucker, P.F. 1985. Innovation and Entrepreneurship. Harper and Row, New York.
Etzioni, A. 1993. Children of the Universe: Who Care about Kids. Dalam Utne Reader Mei/Juni 1993: 52 – 61.
Frame, R.M., R. K. Hess and W.R. Nielsen. 1982. The Organizational Development Sourcebook: A Practitioner’s Guide. Jossey-Bass, San Francisco.
Fremann, W.B. 1999. Apa Kata Tuhan tentang Orangtua. Terjemahan. Harvest Publication House, Jakarta.
Gaspersz, V. 1997. Manajemen Kualitas: Penerapan Konsep-Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Gramedia, Jakarta.
———————. 2002. Pedoman Implementasi Program Six Sigma. Gramadia, Jakarta.
Gordon, S. 1991. Prisoners of Men’s Dreams: Striking Out for a New Feminine Future. Little, Brown and Company, Boston.
Gouillart, F.J. and J.N. Kelly. 1995. Transforming the Organization. McGraw-Hill, Inc., New York.
Hatch, M.J. 1997. Organization Theory. Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford University Press, New York.
Hesselbien, F. et. al. 1997. The Future of the Organization. Terjemahan. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Hauser, P. M. et al. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
http://magnet.undp.org/cdrb/GENGUID.htm. General Guidelines for Capacity Assessment and Development.
Jablonski, J.R. 1996. Implementing TQM: Competing in the Nineties Through Total Quality Management. Policy. 2nd Edition. Pfeiffer, San Diego.
Kotler, P. and G. Armstrong. 1996. Principles of Marketing. 7th Edition. Prentice Hall, Inc., New York.
Lippit, R. et. al. 1958. The Dynamics of Planned Change. Harcourt Brace
McAuslan, P. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Terjemahan. Gramedia, Jakarta.
Morgan, G. 1986. Images of Organizations. Sage Publications, Beverly Hill.
Murison, H.S. and J.P. Lea (eds.). 1978. Housing in Third World Countries: Perspectives on Policy and Practice. The Macmillan Press Ltd., London.
Nussbaum, M.C. 1997. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge University Press, Cambridge.
Osborne, D. and P. Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Addison Wesley Publishing Company, New York.
Pande, P.S. et. al. 2002. The Six Sigma Way. Terjemahan. Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Popov, L.K. et. al. 1997. The Family Virtues Guide: Simple Ways to Bring Out the Best in Our Children and Ourselves. A Plume Book, New York.
Pyzdek, T. 2002. The Six Sigma Handbook. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta.
Rapoport, A. (ed.). 1976. The Mutual Interaction of People and Their Built Environment: A Cross-cultural Perspective. The Hague, Mouton.
Rich, D. 1997. MegaSkills: Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, New York.
Sanderson, K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Terjemahan. Rajawali Press, Jakarta.
Schmallenbach, M. 2001. 101 Gagasan Menyelamatkan Dunia: Diawali di Rumah. Terjemahan. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Seligman, A.B. 1992. The Idea of Civil Society. Free Press, New York.
Senge, P. 199o. The Fifth Disciplines: The Art and Practices of the Learning Organization. Doubleday, New York.
Senge, P. et. al. 1999. The Dance of Change: The Challenges to Sustaining Momentum in Learning Organizations. Currency Doubleday, New York.
Stamatis, D.H. 1996. Total Quality Service: Principles, Practices, and Implementation. SSMB Publishing Division, Singapore.
Stoker, G. 1988. Governance as Theory: Five P
ropositions. UNESCO.
Stoltz, P.G. 2000. Adversity Quotient: mengubah Hambatan menjadi Peluang. Terjemahan. Gramedia, Jakarta.
Stretton, H. et. al. 1994. Public Goods, Public Enterprise, Public Choice: Theoretical Foundations of Contemporary Attack on Government. St. Martin’s Press, London.
Tjokroamidjojo, B. 2001. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. LAN RI, Jakarta.
Wahab, S.A. 2001. Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Good Governance. Dalam Jurnal Administrasi Negara. Vol. II. No. 1. September 2001: 43 – 58.
Widodo, J. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi. Insan Cedekia, Surabaya.

KOMPETENSI DI TINGKAT OPERASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI PERKOTAAN

KOMPETENSI DI TINGKAT OPERASIONAL DALAM PELAYANAN PUBLIK DI PERKOTAAN
Oleh : Bambang Supriyono
A. Pendahuluan Berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 menunjukkan luasnya peranan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan publik, sebagai bentuk perwujudan penerapan prinsip otonomi yang luas. Luasnya peranan tersebut tercermin dalam pasal yang menyebutkan adanya kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yaitu meliputi bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Khusus untuk daerah kota yang bercorak urban terdapat pula kewenangan tambahan yang harus dilaksanakan sesuai kebutuhan yaitu menyangkut bidang : pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota. Berdasarkan kewenangan tersebut, setiap Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Kota sesuai dengan keinginan dan pilihan masyarakatnya (local choice dan local voice) dapat membentuk institusi Dinas, Badan, Kantor, maupun lembaga teknis lainnya agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakatnya. Pemerintah Daerah dapat berperan besar (strong public sector) dalam bidang pelayanan publik. Di samping itu sesuai dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Pemerintah Kota juga dapat mengatur berperannya kelompok masyarakat maupun pihak swasta dalam pelayanan publik. Pengalaman di negara-negara maju hal ini memang dimungkinkan dengan adanya dukungan sistem pemerintahan daerah yang telah bergeser dari berperannya brirokrasi tradisional (traditional bureaucratic) ke arah
birokrasi modern (modern bureaucratic). Steve Leach, dkk (1994 : 238-244); mengemukakan adanya beberapa alternatif; apabila memungkinkan pelayanan publik dapat dikelola oleh masyarakat (community oriented enabler), dapat pula dikelola oleh sektor swasta (market oriented enabling authority), atau pemerintah mengelola pelayanan publik yang tidak memungkinkan ditangani oleh pemerintah maupun swasta (residual enabling authority).
Kapan pelayanan publik dikelola oleh masyarakat, swasta, atau pemerintah sangat dipengaruhi oleh beberapa dimensi; yaitu dimensi politik, ekonomi, sosial, maupun dimensi pemerintahan. Dalam hal ini dimensi pemerintahan memegang peranan penting sebagai regulator kapan pelayanan publik dapat dikelola oleh masyarakat sendiri, swasta, atau bahkan secara monopoli dikelola oleh pemerintah. Fenomena di Indonesia, dari hasil penelitian Moch Ichsan dkk (2003) diantaranya menunjukkan bahwa dengan birokrasi tradisional Pemerintah Daerah masih berperan besar dalam bidang pelayanan publik. Apabila dikaitkan dengan pendapat Steve Leach, maka pelayanan publik di Indonesia cenderung menggambarkan besarnya peranan Pemerintah Daerah dengan model birokrasi tradisional.
Menurut kajian beberapa pakar; Osborn & Gabler (1992), Oakeshott (1994), Osborn & Plastrik (1997), mengemukakan bahwa dalam pelayanan publik sebenarnya tidak mempersoalkan tentang besar-kecilnya peranan pemerintah asalkan memuaskan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan McKevitt (199) menunjukkan beberapa variasi peranan pemerintah dalam pelayanan publik. Pelayanan publik di bidang pendidikan tingkat menengah sebagai contoh; di Inggris peranan pemerintah cenderung dominan, di Jerman peran kelompok masyarakat yang cenderung dominan, dan di Selandia Baru peranan sektor swasta cenderung dominan. Di semua negara tersebut pendidikan tingkat menengah dapat memuaskan keinginan masyarakat. Demikian pula pelayanan street level public organization (SLPO) yang lain, bidang kesehatan, transportasi, kepolisian, dan pelayanan sosial.
Lain halnya yang terjadi di Indonesia. Survei Governance dan Desentralisasi yang dilakukan PSKK UGM diantaranya membuktikan bahwa praktik penyelenggaraan pelayanan publik di Kabupaten dan Kota di Indonesia masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan (Dwiyanto, 2003) yaitu ditandai dengan :
1 Tidak adanya kepastian biaya, waktu, dan cara pelayanan. Prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak warga sebagai pengguna.
2 Banyaknya biro jasa hampir di setiap instansi pelayanan publik yang menunjukkan besarnya oportunity cost bagi masyarakat untuk mengurus pelayanan publik.
3 Adanya diskriminasi pelayanan oleh para pejabat birokrasi baik menyangkut faktor pertemanan, afiliasi politik, etnis dan agama. Diskriminasi menurut etnis dan agama cenderung lebih buruk di luar Jawa-Bali daripada di Jawa-Bali.
4 Rendahnya peranan masyarakat dan stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah memonopoli pengaturan, penyelenggaraan, distribusi dan pemantauan dan masyarakat ditempatkan sebagai pengguna yang pasif.
5 Birokrasi dan para pejabatnya sering gagal menempatkan dirinya sebagai abdi masyarakat dan justru menjadikan dirinya sebagai penguasa yang lebih menuntut pelayanan daripada melayani masyarakat.

Hasil penelitian tersebut menggambarkan masih belum berkualitasnya pelayanan publik di tingkat operasional, yang akan menjadi pokok bahasan dalam kajian ini.
Kajian ini lebih khusus akan mengulas tentang pelayanan publik di perkotaan karena beberapa pertimbangan. Pertama, masyarakat perkotaan memiliki struktur sosial yang heterogen baik menyangkut struktur horisontal maupun struktur vertikalnya. Ciri struktur horisontalnya ditandai dengan beragamnya suku bangsa (ethnic), agama, bahasa, mata pencarian, adat istiadat, maupun ciri sosial lainnya. Secara vertikal masyarakat perkotaan juga ditandai dengan adanya stratifikasi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Kondisi yang demikian menuntut adanya pelayanan publik di tingkat operasional yang lebih bervariasi.
Kedua, peranan Pemerintah Kota dalam pelayanan publik memiliki cakupan yang lebih luas. Di samping tercermin dari kewenangan wajib yang harus diselenggarakan sesuai dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 juga melaksanakan kewenangan tambahan di bidang pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota. Dapat dipahami bahwa fenomena kurang berkualitasnya pelayanan publik jauh lebih tampak di lingkungan masyarakat perkotaan, khususnya menyangkut operasionalisasi pelayanan di tingkat street level public organization, seperti halnya pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun pelayanan di bidang sosial.
Mencermati fenomena tersebut, menurut pendapat penulis bukan berarti bahwa kualitas pelayanan publik melalui peran birokrasi Pemerintah Daerah tidak dapat ditingkatkan. Kasus-kasus di negara maju seperti yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (1992), Chris Painter (1994), diantaranya menunjukkan bahwa terdapat hasil yang positif dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat baik melalui restrukturisasi peran pemerintah ke arah privatisasi, maupun tetap melalui peningkatan/optimalisasi peran pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara efektiv dan efisien. Bahkan upaya tersebut dapat dilakukan oleh perangkat birokrasi dengan belajar dari kegagalan-kegagalan yang selama ini berlangsung pada sistem pemerintahannya (Robert D Behn, 1998). Atas dasar pertimbangan tersebut, tulisan ini akan menempatkan pentingnya kompetensi dan kemampuan Pemerintah Kota termasuk aparat birokrasinya di tingkat operasional dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di perkotaan.

B. TANTANGAN PEMERINTAH KOTA DALAM PELAYANAN PUBLIK DI TINGKAT OPERASIONAL
Saat ini telah terjadi perubahan perhatian dalam penelitian pelayanan publik (public services research) di perkotaan, terutama sejak diadakannya Anglo American conference pada tahun 1982 dengan thema Public Provision and Urban Development. Fokus pembahasan pada konferensi tersebut adalah : local public goods, urban service or collective consumption, dengan harapan dapat memberi penjelasan secara memuasakan mengenai pola public sector provision dan pengaruhnya terhadap pembangunan perkotaan baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang.
Secara
umum dikemukakan adanya tiga pendekatan public services provision yang berperan dalam pembangunan perkotaan (Kirby, Knox and Pinch, 1984) yaitu : the public choice approach, the neo-Weberian approach, dan neo-Marxist approach. Di samping itu dalam pembangunan perkotaan juga tidak dapat mengabaikan peranan tata ruang (the role of space). Ketiga peran tersebut dapat saling dimanfaatkan dengan dukungan penataan ruang untuk penyediaan layanan publik.
Peranan teori public choice menyangkut kuatnya etos bisnis dan mementingkan masalah efisiensi dalam masalah perkotaan. Dalam kondisi masyarakat perkotaan hal tersebut ditandai dengan tingginya fragmentasi masalah perkotaan, luasnya devolusi kekuasaan, pemisahan eksekutif dan legislatif, tingginya isu politik lokal secara alamiah, dan tinngginya tingkat permainan politisi lokal dan tekanan kelompok. Kondisi yang demikian menuntut adanya keseimbangan antara peran Pemerintah Kota dalam menyediakan barang dan jasa, dengan alternatif pilihan publik sebagai pengguna dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.
Neo-Weberian atau pendekatan menejerialis adalah menekankan pada besarnya kekuasaan birokrasi Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan besarnya kebebasan mengalokasikan sumberdaya yang terbatas, mementingkan peranan tingkatan institusi, organisasi dan profesionalisasi. Besarnya peranan birokrasi berusaha ditempatkan dalam konteks yang luas menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik dalam lingkungan masyarakat perkotaan. Peran birokrasi di tingkat manajerial dan tingkat operasional dalam hal ini menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan.
Peranan teori Neo-Marxist adalah menekankan pada pentingnya perkembangan hubungan klas dan direpresentasikan dalam berbagai bentuk local state. Dalam sistem negara federal terdapat peranan yang penting antara pemerintah federal dan terutama pemerintah negara bagian dalam penyediaan pelayanan publik di perkotaan. Demikian pula dalam negara kesatuan, terdapat peranan yang penting antara pemerintah pusat dan pemerintah kota. Demikian pula kategori kota besar memerlukan penyediaan layanan publik yang berbeda dengan kategori kota sedang maupun kota kecil, yang kesemuanya perlu disediakan secara memuaskan.
Penataan ruang (role of space) juga merupakan aspek penting yang harus diperhatikan karena menyangkut letak dan efektivitas jangkauan pelayanan. Secara ekologis pengembangan kawasan perkotaan dalam suatu wilayah tertentu perlu mempertimbangkan faktor lokasi, jarak dan ukuran permukiman perkotaan (the location, spacing and size of urban settlements). Hal tersebut adalah menyangkut adanya kawasan terpusat sebagai central places yang diperlukan oleh kawasan sekitarnya untuk memperoleh pelayanan (Johnson, 1977 : 170).
Norton (1994:47) mengemukakan bahwa karena masalah efisiensi ekonomi, batasan administratif kewenangan lokal perlu mempertimbangkan stabilitas yaitu seberapa jauh sistem akan berjalan baik dengan menghindari pertambahan biaya secara organisatoris; fleksibilitas dan dayatanggap yaitu seberapa jauh sistem memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian secara inkremental. Karena itu atas pertimbangan stabilitas, fleksibilitas dan responsivitas, batasan wilayah dalam kawasan perkotaan memungkinkan untuk dilakukan perubahan. Tentunya perubahan tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan yang cermat.
Fenomena yang terjadi di Kota Malang sebagai contoh; ruang kota tertentu yang dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dijadikan paru-paru kota dan hal ini telah disepakati masyarakat. Dalam perkembangannya terdapat keinginan dari Pemerintah Kota untuk merubah RUTRK tersebut menjadi kawasan pemukiman elit yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan. Pemerintah Kota dengan legitimasi kekuasaan berhadapan dengan masyarakat yang tidak menyetujui rencana perubahan RUTRK. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila Pemerintah Kota berpihak pada kepentingan masyarakat dalam pengelolaan tata ruang sebagai bentuk pelayanan publik.
Ketiga pendekatan tersebut (pengutamaan pilihan publik, kemampuan manajerial, mengurangi adanya kesenjangan sosial) dan penataan ruang kota perlu dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Kota dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan, bahwa dalam era reformasi pengaruh diskriminasi politik dan etnis justru menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya kontrol terhadap birokrasi oleh masyarakat dan stakeholder, manajemen pelayanan yang jauh dari prinsip efektivitas dan efisiensi. Khususnya di negara berkembang, menurut Leonard Wrigly (1994 : 71) pelayanan publik di bidang health, education, welfare, and security (HEWS) perlu mendapatkan perhatian penting. Beberapa bidang tersebut dapat dijadikan contoh untuk menggambarkan penyelenggaraan pelayanan publik di perkotaan.
Tantangan yang dihadapi Pemerintah Kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesui dengan kerangka pendekatan di atas menghadapi banyak tantangan di tingkat operasional. Tantangan utamanya adalah menyangkut tiga hal penting (McKevitt, 1998) yaitu : perlunya konsep sebagai upaya terus menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik (concept of progress or redress), menyamakan persepsi yang seringkali berbeda antara pemerintah sebagai penyedia layanan dan masyarakat sebagai pengguna layanan (differential information) dan adanya agenda pemerintah yang jelas untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik secara menyeluruh.
Konsep peningkatan kualitas pelayanan secara terus menerus diperlukan karena adanya tiga asumsi :
1. Masyarakat adalah personalitas historis yang menyatu dengan negara bangsa (nation state) , bekerja dan dilayani melalui rancangan-rancangan, memiliki tradisi dan adat istiadat yang beraneka ragam,
sehingga dalam masyarakat yang demikian selalu terjadi dinamika dan perubahan.
2 Masyarakat dalam jangka panjang akan membutuhkan pengorganisasian dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa secara optimal. Terjadi pergeseran dari keadaan yang kurang/belum optimal ke keadaan optimal.
3 Keadaan yang optimal akan terpenuhi apabila terjadi aktivitas pengelolaan sumberdaya yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan keadaan yang lebih sejahtera.

Dengan asumsi tersebut, upaya perbaikan mutu layanan dalam masyarakat perkotaan yang heterogen perlu dilakukan secara terus menerus ke arah peningkatan partisipasi masyarakat. Dikatakan oleh Potter (1994 : 254) bahwa untuk menjamin kepuasan pelanggan maka upaya perbaikan (redress) perlu dilakukan secara terus menerus. Perbaikan tersebut adalah menyangkut beberapa dimensi; dimensi politik, dimensi pemerintahan; dimensi ekonomi dan dimensi sosial budaya.
Dimensi politik adalah menyangkut perwujudan demokratisasi dalam pengelolaan pengaturan pelayanan publik di perkotaan. Pemerintah Kota secara demokratis dan aspiratif perlu memperhatikan keinginan obyektif dari masyarakat tentang penyediaan barang dan jasa yang diperlukan. Banyaknya anggota dewan yang diberhentikan (recalled) oleh partainya karena secara kritis membela kepentingan masyarakat, gerakan yang akhir-akhir ini muncul untuk menolak politisi busuk dan korup sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah, diantaranya membuktikan bahwa selama ini anggota dewan sebagai elected member belum benar-benar dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik dari Pemerintah Kota.
Dimensi pemerintahan adalah menyangkut luas tidaknya kewenangan Pemerintah Kota untuk mengatur dan mengurus pelayanan publik. Pemerintah Kota memiliki kewenangan yang luas (general purpose) untuk mengatur dan mengurus penyediaan pelayanan publik, terbukti dengan adanya kewenangan wajib, kewenangan tambahan, dan kewenangan lainnya yang dikelola institusi Pemerintah Kota setingkat Dinas, Badan, Kantor, maupun BUMD. Pemerintah Kota lebih berperan dominan dalam inisiatif membentuk institusi pelayanan perkotaan (positive mode of operation). Masalahnya, selama ini banyak persoalan yang menunjukkan ketidakpuasan masy
arakat tentang pelayanan publik yang dikelola Pemerintah Kota, seperti halnya kelambanan dalam penataan pedagang pasar pasca kebakaran, penataan dan penggunaan ruang kota yang tidak konsisten, rendahnya subsidi dana pendidikan, dan masih banyak lagi keluhan-keluhan lainnya.
Dimensi ekonomi, adalah menyangkut besarnya peran Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik yang bersifat monopoli atau semi monopoli, maupun pengaturan terhadap besarnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam dimensi ini, Pemerintah Kota menunjukkan peran yang besar (strong public sector) baik diwujudkan dalam bentuk berperannya institusi pemerintah maupun badan-badan usaha milik daerah. Masalahnya adalah banyaknya institusi dan badan usaha yang belum dikelola secara efektif dan efisien. Pengelolaan pariwisata, pasar, unit-unit pelayanan sosial, dan lain-lain cenderung tidak berkualitas.
Dimensi sosial budaya, adalah menyangkut budaya masyarakat maupun budaya Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik. Masyarakat perkotaan memiliki struktur sosial yang heterogen di bidang lapangan kerja, perilaku sosial, stratifikasi sosial ekonomi dan lain-lain. Sementara dalam kondisi masyarakat yang demikian, pengelolaan pelayanan publik cenderung bersifat tradisional (traditional bureaucratic). Hal ini tentunya merupakan tantangan yang menuntut peran Pemerintah Kota untuk terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan sesuai kebutuhan masyarakat.
Menyamakan persepsi yang berbeda antara kemauan pemerintah dalam memenuhi pelayanan (termasuk perilaku aparat birokrasi) dengan keinginan masyarakat yang dilayani juga sangat diperlukan. Dalam bidang pelayanan kesehatan, masyarakat membutuhkan pelayanan dengan cepat waktu, biaya rendah, dan kualitas memadahi. Sementara, dokter sebagai tenaga profesional menginginkan efektivitas, efisiensi, dan keuntungan pribadi; sehingga terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan antara dokter sebagai provider dan masyarakat sebagai consumer. Menurut McKevitt (1988) dalam hal ini diperlukan asosiasi profesional (professional associations) yang dapat menjembatani perbedaan persepsi melalui penerapan kode etik profesional.
Kejelasan tentang agenda pemerintah juga merupakan tantangan yang harus diwujudkan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Agenda yang memadahi adalah mencakup berbagai bidang, utamanya bidang politik (political), ekonomi (economic), dan kesejahteraan sosial (social welfare). Sebagaimana dikemukakan McKevitt (1998 : 20) bahwa aktivitas pemerintah termasuk aparat birokrasinya dalam menyususn agenda untuk kepentingan publik adalah menyangkut :
1 Pertimbangan untuk sektor publik di bidang politik, isunya adalah menyangkut identitas dan kedaulatan. Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut pertahanan (defence), penegakan hukum dan peraturan (law and order), hubungan luar negeri (foreign affairs), perpajakan (taxation), perdagangan dan industri (trade and industry), dan lain-lain.
2. Pertimbangan untuk sektor publik di bidang ekonomi, isunya adalah
menyangkut monopoli alamiah (natural monopolies). Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut bidang telekomunikasi (telephone), listrik (electricity), penyediaan air bersih (walter suply), gas, dan lain-lain.
2 Pertimbangan untuk sektor publik di bidang kesejahteraan sosial, isunya adalah menyangkut informasi yang selektif dan distribusi barang dan jasa secara adil dan merata. Aktivitas pemerintah disini adalah menyangkut bidang kesehatan (health), pendidikan (education), dan bidang-bidang sosial lainnya.

Kinerja pemerintah dan perangkat birokrasinya di berbagai bidang tersebut dalam memberikan pelayanan publik memerlukan persyaratan utama yaitu adanya kemampuan untuk berkompetisi (competitive ability) maupun kemampuan untuk bersaing (competitive advantage). Kemampuan berkompetisi dan berdaya saing adalah baik dalam lingkungan internal organisasi Pemerintah Daerah Kota; antar institusi dalam lingkup pemerintahan daerah di tingkat Dinas, Badan, Kantor maupun antar lembaga teknis lainnya. Di samping itu, kompetisi dan daya saing juga diperlukan dengan lingkungan eksternalnya; yaitu antar Pemerintah Kota dalam suatu negara maupun antar Pemerintah Kota antar negara.
C. PENTINGNYA KETRAMPILAN INTI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Sejak tahun 1970, terdapat konsep yang umum digunakan menyangkut inti pelayanan dalam sektor privat dengan pengertian yang hampir sama, seperti halnya kompetensi inti (core competence) atau kemampuan inti (core capability). Dalam kenyataannya dengan konsep tersebut perusahaan adalah sebagai entitas kehidupan, sebagai komunitas pekerjaan yang memiliki struktur dari dalam (inner structure), sebuah kekuatan dinamis dari dalam (inner dynamic force), ketrampilan inti (core skill) yang memungkinkan perusahaan tersebut berfungsi. Peusahaan tersebut memiliki rancangan organis yang mencerminkan kekuatan dalam lingkungan eksternal dan pasar yang kompetitif.
Apabila dicermati, hal yang paling penting adalah menyangkut core skill sebagai suatu konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan kinerja organisasi dalam pelayanan publik di tingkat operasional. Menurut Wrigley dalam McKevitt (1998 : 23), core skill adalah :
The colective knowledge, skills, habit of working together, as well as the collective experience of what the market and technology will bear, that is required in dhe cadre of managerial and technical personnel if the firm is to survive and grow in a competitive market … It is a collective knowledge not just of a market or of a technology, but of one in relation to the other.
Berdasarkan pengertian di atas, core skills dapat dipahami sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan kolektif menyangkut kekuatan pasar dan teknologi yang saling terkait, yang diperlukan oleh kader manajerial dan teknik apabila perusahaan ingin bertahan dalam sebuah pasar yang kompetitif.
Konsepsi pentingnya core skill ini dapat dianalogikan dan digunakan untuk menjelaskan pentingnya peranan Pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan publik. Penggunaan konsep tersebut secara teoritis dapat dilakukan sebagaimana pendapat McCallum (1983) bahwa pelayanan publik yang berkualitas perlu mengadopsi nilai-nilai privat (privat value) kedalam sektor publik demikian pula sebaliknya perlu pula mengadopsi nilai-nilai publik (public value) ke sektor privat. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa pelayanan publik dapat dikelola oleh organisasi publik, organisasi privat, dan organisasi publik quasi privat.
Karena itu Pemerintah Kota sebagai suatu organisasi pelayan publik perlu memiliki core skills pada institusi-institusi pelayanannya di tingkat Dinas, Badan, Kantor, maupun unit-unit pelayanan teknis lainnya. Apabila dikaitkan dengan pendapat McKevitt, terutama pelayanan yang terkait dengan bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, maupun kesejahteraan sosial. Bidang-bidang pelayanan ini melibatkan peran manajerial maupun para profesional yang seharusnya bekerja memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam mengembangkan core skill adalah diawali dengan adanya fungsi dasar yang harus dimiliki organisasi (perusahaan) yaitu pemasaran, operasional, dan finansial. Atas fungsi dasar tersebut dapat dikembangkan core skills yang saling terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh McKevitt (1998 : 22) bahwa membangun dan menciptakan core skills adalah menyangkut berbagai substansi yang secara sinergis harus dapat dilakukan oleh individu atau kelompok. Beberapa substansi tersebut apabila digunakan untuk menjelaskan perlunya ketrampilan iti pada Pemerintah Kota adalah meliputi :
1 Core skills, pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki perangkat birokrasi baik menyangkut profesionalisme individual maupun profesionalisme kolektif untuk mengantisipasi perubahan teknologi dan pasar secara kompetitif.
2 Technicians, adalah kemampuan birokrat untuk menguasai aspek teknis secara profesional di bidang pekerjaan sehingga menunjukkan kinerja yang penuh rasa tanggung jawab (responsibility).
3 Management :
kemampuan birokrat untuk dapat mengelola pekerjaan secara professional baik menyangkut kinerja individual, kinerja tim, maupun aspek managerial dan leadership.
4. Business knowledge, tuntutan terhadap pemahaman tentang pengetahuan bisnis khususnya menyangkut nilai-nilai keuntungan (provit
making) yang perlu diadopsi ke sektor publik dengan tidak mengabaikan aspek pemerataan dan keadilan.
4 Skills, ketrampilan khusus yang harus dimiliki oleh setiap aparatur khususnya menyangkut bidang pekerjaannya, termasuk penyesuaian terhadap proses perubahan.
5 Habits, membiasakan untuk bekerja secara profesional dengan tidak mengabaikan aspek etika dan moral sehingga akan tercipta kultur kinerja yang kondusif.
6 Cohesion, membiasakan bekerja secara sistemik atau keterpaduan antara berbagai komponen yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
7 Collective Experience; menjadikan pengalaman individu atau kelompok tentang keberhasilan atau kegagalan dalam bekerja sebagai pengalaman bersama.
8 Knowledge of environment, menyadari terjadinya perubahan setiap saat dalam suatu lingkungan sehingga pengetahuan tentang lingkungan untuk mengantisipasi perubahan sangat diperlukan.

10.Technology, diperlukan penguasaan teknologi sebagai persyaratan penting karena menguasai teknologi dapat diibaratkan menguasai dunia dan perubahan.
Dengan bekal ketrampilan inti yang dimiliki Pemerintah Kota beserta perangkat birokrasinya secara sinergis sebagaimana dikemukakan di atas, akan tercipta kompetensi inti atau kapabilitas inti (core competence or core capability) yang memiliki daya saing dalam pelayanan publik di perkotaan.
Berkembangnya ketrampilan inti yang saling berkaitan dengan unsur lain dalam organisasi tidak terjadi tiba-tiba melainkan melalui prose pembelajaran (learning process for all), suatu perubahan yang bersifat gradual dan evolusi (a gradual evolution). Karena itu diperlukan adaptasi bagi manajer publik maupun tenaga profesional menghadapi ketrampilan baru, kooperasi baru, konsensus-konsensus baru menyangkut kinerja, termasuk relasi baru menyangkut hubungan antara pemerintah sebagai provider dengan masyarakat sebagai client.

Berkembangnya ketrampilan inti juga berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Jika lingkungan stabil, hubungan internal cenderung menjadi mekanis, tenang, dan tidak bergolak. Tetapi dalam lingkungan yang tidak stabil, hubungan internal cenderung organis, dinamis, tidak pasti, dan dikelola penuh dengan ketrampilan. Fenomena yang terjadi dalam pelayanan publik di perkotaan saat ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota berada dalam kondisi yang tidak stabil. Sebagaimana digambarkan; Pemerintah Kota mengahadapi banyak persoalan mengenai pelayanan publik yang belum berkualitas.
Menurut Flyn dan Mellon (1993 : 122-123) dalam lingkungan internal organisasi yang stabil bukan berarti tidak terjadi perubahan sama sekali. Perubahan tetap diperlukan dengan persyaratan sebagai berikut :
1 Menyediakan program dan kegiatan khusus yang dikategorikan sebagai perubahan kecil.
2 Terjadi komunikasi yang harmonis dengan stakeholder
3 Terdapat alasan-alasan yang mendasar tentang perlu dan tidaknya dilakukan perubahan dalam organisasi.
4 Pengaturan pelayanan secara terarah dengan komunikasi yang jelas
5 Meningkatkan aktivitas rutin secara berkualitas dan terus menerus

Sedangkan dalam lingkungan yang tidak stabil dimana hubungan internal organisasi cenderung dinamis dan penuh ketidakpastian maka perubahan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan :
1 Mengetahui kebutuhan, harapan, dan pilihan masyarakat mengenai barang dan jasa yang yang harus disediakan.
2 Strategi dan kemampuan yang dimiliki untuk memenuhi keinginan dan harapan masyarakat.
3 Apabila organisasi berada dalam kompetisi, harus diketahui posisi dan strategi pesaing, dan terjadinya perilaku persaingan
4 Apabila organisasi tidak berada dalam kompetisi, menentukan pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat
5 Melakukan perubahan dengan mempertimbangkan kemampuan internal dan pengaruh aspek eksternal; dan mengukur efektivitas dan efisiensi perubahan yang telah dilakukan.

Demikian pula yang terjadi pada Pemerintah Kota dalam mengelola pelayanan publik, mereka dihadapkan banyak persoalan menyangkut konsistensi kebijakan dan kualitas pelayanan. Belum teratasinya saluran dan resapan air diperkotaan pencegah banjir yang diakibatkan inkonsistensi kebijakan tata ruang kota, tidak terealisasinya kebijakan bebas SPP untuk pendidikan dasar dan menengah, semakin beratnya beban Kantor Sosial dalam mengurus masyarakat tuna susila, gelandangan, dan lain-lain. Contoh-contoh tersebut menggambarkan betapa pentingnya Pemerintah Kota untuk melakukan perubahan visi, misi, dan strategi pelayanan dengan memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan di atas.
Di samping mempertimbangkan faktor lingkungan, berkembangnya core skill dalam organisasi pelayanan publik juga saling terkait dengan hubungan klien dengan warga negara dalam penyediaan pelayanan, berhubungan dengan kaum profesional, dan berhubungan dengan pemerintah menyangkut keuangan dan kontrol. Sebagaimana dapat dikemukakan dalam Gambar 1.

Gambar 1
CORE SKILLS AND THE ENVIRONMENT OF CORE PUBLIC SERVICES
(Source : McKevitt, 1996)

Dalam Gambar 1 terlihat bahwa pengembangan core skill saling dipengaruhi oleh hubungan antara klien dengan warga negara dalam penyediaan layanan; berhubungan dengan kaum profesional; dan berhubungan dengan pemerintah menyangkut keuangan dan kontrol. Berkembangnya core skill juga dipengaruhi faktor lingkungan yang dapat menentuka apakah organisasi berada pada kondisi stabil atau berada dalam kondisi yang cepat berubah dan penuh persaingan.
Khususnya berkaitan dengan pengaruh lingkungan (McKevitt, 1998 : 26) mengidentifikasi dan mengkategorikan adanya 5 (lima) aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap organisasi pelayanan publik pada street level public organization (bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan), sebagaimana terdapat dalam Gambar 2.
Gambar 2
THE STREET LEVEL PUBLIC ORGANIZATION IN ITS ENVIRONMENT
(Source : McKevitt, 1998)

Dalam Gambar 2 terlihat bahwa pengembangan core skills dalam SLPO memiliki hubungan timbal balik dengan beberapa aspek yang sekaligus merupakan lingkungan yang berpengaruh terhadap SLPO. Aspek-aspek tersebut adalah pemerintah pusat, hubungan warga negara dengan klien, asosiasi-asosiasi profesional, SLPO terkait, dan pemasok-pemasok peralatan.
Hubungan timbal balik antara SLPO dengan Pemerintah Pusat sebagai lingkungan adalah terkait dengan politisi, departemen-departemen pusat, bendahara, pengadilan, dan auditor-auditor pusat. Hal yang berbeda dengan fenomena di Indonesia adalah adanya pengaruh Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan wajib beberapa bidang SLPO seperti halnya bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Konsep yang dapat dipertimbangkan dalam hal ini adalah diperlukannya keterlibatan yang lebih besar dari Pemerintah Pusat terhadap SLPO menyangkut standarisasi kualitas pelayanan publik. Sebagai contoh; standar kualitas pendidikan dasar dan menengah yang berbeda antara Wilayah Kabupaten dengan Wilayah Kota, standar kualitas pelayanan kesehatan, maupun standar penanganan masalah sosial.
Hubungan warganegara-klien dan para komunitas keluarga juga mempengaruhi kinerja SLPO. Berdasarkan hubungan ini, kualitas pelayanan yang diberikan SLPO di lingkungan Pemerintah Kota harus dapat menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa bagi kelompok masyarakatnya sehingga masyarakat mendapatkan kesan (experience) yang positif terhadap pelayanan tersebut. Pengalaman postif dari masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan Pemerintah Kota akan menjadi dasar penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan berikutnya.
Keberadaan asosiasi-asosiasi profesional yang didalamnya terdiri dari para ahli di bidangnya ju
ga sangat mempengaruhi kinerja SLPO. Dalam hal ini sering terjadi perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan kaum profesional. Sebagai contoh; para dokter menginginkan penghasilan yang tinggi dalam pelayanan kesehatan, sementara masyarakat menginginkan biaya yang murah dengan kualitas pelayanan yang memuaskan; analogi yang sama juga terjadi di bidang pendidikan maupun unit pelayanan sosial lainnya. Asosiasi profesional dalam hal ini bisa menjembatani antar kepentingan yang berbeda tersebut, dengan seperangkat peraturan yang disepakati dan tidak mengabaikan aspek etika profesionalitas.
Street Level Public Organization (SLPO) yang terkait; misalnya klinik-klinik kesehatan, perpustakaan untuk menunjang pendidikan, balaibalai latihan kerja untuk membekali para tuna sosial; adalah merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kinerja SLPO. Demikian pula pemasok-pemasok peralatan seperti halnya perusahaan obat dibidang pelayanan kesehatan, penyedia buku ajar bagi sekolah-sekolah, pemasok peralatan mekanis untuk kepentingan pelatihan dibidang ketenagakerjaan. Semua itu adalah merupakan aspek-aspek penting yang saling mempengaruhi kinerja SLPO yang telah dikembangkan Pemerintah Kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
D. PENUTUP
Peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya di perkotaan tidak hanya ditentukan oleh perangkat birokrasi di tingkat eksekutif maupun di tingkat manajerial. Lebih dari itu, kualitas nyata pelayanan publik adalah sangat ditentukan oleh perangkat birokrasi di tingkat operasional. Pada tingkatan ini sangat diperlukan institusi Pemerintah Kota dengan dukungan perangkat birokrasinya yang memiliki kompetensi inti (core competence) dan ketrampilan inti (core skills) terutama menyangkut pelayanan dibidang pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban, maupun pelayanan sosial (street level public organization). Selama ini Pemerintah Kota melalui institusi Dinas, Badan, Kantor, maupun unit-unit pelayanan teknis lainnya memiiliki peran yang dominan dalam penyediaan barang dan jasa untuk kepentingan publik. Dominannya peran tersebut ternyata belum diikuti dengan kualitas pelayanan yang memadahi. Hal ini menuntut perhatian Pemerintah Kota untuk mengembangkan institusi dan perangkat birokrasinya yang memiliki core skill. Hanya pemimpin yang memiliki komitmen besar yang mampu mewujudkannya karena mengembangkan core skill adalah terkait dengan beberapa aspek yang bersifat sinergis.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto; 2003; Peran Masyarakat Dalam Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia; Forum Inovasi Vol 8; PPS-PSIA FISIP; Universitas Indonesia.
Behn, Robert D; 1988; What Right Do Public Managers Have to Lead ? dalam Public Administration Review. Nomor 3 Vol. 58 Mei-Juni 1998
Flyn, Norman & Mellon, Elizabeth; 1990; Public Sector Management; Harvester Wheatsheaf; London.
Kirby, Andrew; Knox, Paul; and Pinch, Steven (edited); 1984; Public Service Provision and Urban Development; Croom Helm; London and Canberra.
McKevitt, David; 1998; Managing Core Public Service; Blackwell Publishers; USA.
——————-; 1996; Strategic Managementin the Irish Civil Service : Prometheus unbound or Pkoenix redux?, Administration, Vol 43, No 4.
Moch Ichsan, dkk; 2003; Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi (Studi tentang Variasi Cakupan dan Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik Pada Beberapa Daerah di Indonesia); Hasil Penelitian.
Johnson, James H; 1977; Urban Geography, An Introductory Analysis; Pergamon Press; Oxford.
Leach, Steve; John Stewart, and Kieron Walsh; The Changing Organization and Management of Local Government; London; McMillan Press Ltd; 1994.
Norton, Alan; 1994; International Handbook of Local and Regional Government, A Comparative Analysis of Advanced Democratices; Edward Elgar; Cheltenham, UK.
Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing government : how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Reading, Massachussetts : A William Patrick Book.
Osborn, David & Plastrik, Peter; 1997; Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government; Perseus Books Publishing; US>
Oakeshott, Michael; 1998; Rationalism in Politics; Dalam David McKevitt and Alan Lawton (ed); Public Sector Management, Theory, Criticue, and Practice; Sage Publication; London.
Potter, Jeny; 1988; Consumerism and the Public Sector : how well does the coat fit? Dalam David McKevitt and Alan Lawton (ed); Public Sector Management, Theory, Criticue, and Practice; Sage Publication; London.

RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya

RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya
Oleh Dr. Agus Suradika
Dosen PNS dpk FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakekat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).1
Ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Orde Baru.
Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini dialami sekarang, di zaman pasca Orde Baru.2 Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikutinya: juga terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu.
Desentralisasi justru menimbulkan banyak masalah yang bisa membahayakan program itu sendiri. Selain mengurangi efisiensi, desentralisasi ternyata juga menyuburkan korupsi. Sehingga seakan antara pusat dan daerah berlomba untuk melakukan korupsi. Sedemikian kencang perlombaan terjadi sehingga sekarang tidak jelas lagi, manakah yang lebih hebat dan “berprestasi” dalam melakukan korupsi. Otonomi dan desentralisasi telah menyebabkan korupsi menyebar ke daerah-daerah. Bahkan, jika di era sebelumnya yang umumnya melakukan korupsi adalah jajaran eksekutif, sekarang sudah melanda jajaran legislatif. Keduanya adu cepat melalap uang negara dan mengisap uang rakyat. Korupsi sebagai virus ganas rupanya mendapatkan medium penyebaran yang efektif melalui otonomi dan desentralisasi.
Reformasi memang menghasilkan DPR yang lebih berkuasa dibanding presiden, sedangkan otonomi menghasilkan DPRD yang tidak kalah berkuasanya dibandingkan kepala daerah. Bahkan, even laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah dan pemilihan kepala daerah dijadikan ajang korupsi secara gotong royong.
1Lihat dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995).
2Dalam tulisan ini sengaja tidak menggunakan istilah era reformasi. Reformasi sejatinya terkait dengan segala upaya ke arah perubahan yang lebih baik dari era sebelumnya. Sejalan dengan pemaknaan pengertian ini semestinya era reformasi harus lebih baik dari era Orde Baru. Kenyataannya, dalam hal menyangkut perilaku politik, ekonomi, hukum dan sebagainya, era sekarang tidak lebih baik dari era Orde Baru. Sehingga terlalu riskan bila penamaan era pasca Orde Baru disebutnya dengan istilah era reformasi.
Hal itu jelas mengancam masa depan negeri ini. Kajian Political and Economic Risk Consultancy (Oktober 2001) mengisyaratkan akan adanya faktor yang paling membahayakan bagi masa depan pembangunan bangsa Indonesia yang melebihi gerakan militer atau transisi politik yang kacau. Faktor itu adalah korupsi!
Makna dan Jenis Korupsi
Banyak ragam definisi tentang korupsi. Dari beragam definisi tersebut korupsi didefinisikan sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.3
Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Artinya dalam pengambilan kebijakan di bidang ekonomi, apakah itu dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip “mempertahankan jarak” ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga maka korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi apa pun untuk mencapai efisiensi.4
Sementara dari ragamnya, korupsi sebagaimana dinyatakan oleh Yves Meny,5 ada empat macam. Pertama, korupsi jalan pintas. Banyak dipraktekkan dalam kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Bila masuk dalam kategori ini kasus para pengusaha menginginkan agar UU Perburuhan tertentu diberlakukan; atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi. Lalu partai-partai politik mayoritas memperoleh uang sebagai balas jasa.
Kedua, korupsi-upeti. Bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari bawahan, kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara, termasuk di dalamnya adalah upaya mark up. Jenis korupsi yang pertama dibedakan dari yang kedua karena sifat institusional politiknya lebih menonjol. Money politics masuk dalam kategori yang pertama meski pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi.
Ketiga, korupsi-kontrak. Korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar; masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi-pemerasan. Korupsi ini sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau polisi menjadi manajer human recources departement atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. Penggunaan jasa keamanan seperti di Exxon Mobil di Aceh
3Nye, J.S., “Corruption and political development: a cost-benefit analysis”, dalam American Political Science Review, Vol LXI, No. 2, 1967.
4Vito Tanzi, “Corruption, Governmental Activities and Markets”, dalam IMF Working Paper, Agustus 1994.
5Sebagaimana dikutip dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125.
atau Freeport di Papua adalah contoh yang mencolok. Termasuk dalam kategori ini juga adalah membuka kesempatan pemilikan saham kepada “orang kuat” tertentu.
Dengan penyebutan ragam yang hampir sama, Amien Rais,6 membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalela di Indonesia ke dalam empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption). Korupsi ini merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah.
Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption). Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan para koruptor tersebut. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption). Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk untung yang sebany
ak-banyaknya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan main yang sudah ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum. Keempat, korupsi subversif. Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif atau destruktif terhadap negara karena negara telah dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara.
Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), korupsi di Indonesia dapat dilihat dari empat aspek yaitu korupsi di lingkungan pejabat, korupsi di lingkungan departemen, korupsi di lingkungan BUMN dan korupsi bantuan luar negeri.7
Tahapan Korupsi di Indonesia
Sebagaimana disebutkan dalam novel Korupsi karya Pramudya Ananta Toer,8 soal pelanggaran hukum dalam kaitan dengan pejabat negara, sudah mulai bersemai
6Amien Rais, “Suksesi sebagai suatu Keharusan,” Makalah, disampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993.
7Realitas ini juga pernah ungkapkan oleh Kwik Kian Gie selaku Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Kwik menduga –namun tidak mengada-ada– akan terjadinya kebocoran dalam pemanfaatan dana pinjaman dari Consultative Group on Indonesia (CGI). Pemerintah bahkan secara resmi mengakui dana miliaran dolar AS, yang diwujudkan dalam berbagai proyek infrastruktur, setiap tahun bocor sampai 20%. Kwik menambahkan bahwa selama ini dana CGI yang disalurkan puluhan miliar dolar. Namun dana itu bocor, karena proyek tak dikerjakan sesuai dengan rencana atau malah diselewengkan sehingga tak ada proyek sama sekali. Lihat dalam Kompas, 24 Januari 2003.
dengan baik sejak awal kehadiran republik ini. Bahkan Hamid Basyaib menyatakan bahwa jika mau diruntut ke belakang, VOC yang runtuh di akhir tahun 1799 itu tidak disebabkan oleh gempa bumi atau badai angin, tetapi oleh salah urus atau korupsi.9 Akibatnya, negara kolonial yang diwarisi republik tak lain selalu mengidap penyakit yang sama. Pada akhirnya rakyat itu jatuh dalam kehinaan, miskin, dan bodoh serta perlu ditolong di awal abad XX dengan etische politiek.
Kenyataan ini sama artinya bahwa soal penyalahgunaan kekuasan yang melanggar aturan yang dibuat oleh penyelenggara kekuasaan adalah hal yang harus diterima dalam sistem negara modern. Soal pagar makan tanaman bukan tabiat sekarang ini saja, tetapi sudah melekat pada watak negara modern yang selalu menggantikan kekuasaan absolut di satu tangan dialihkan pada sebuah badan, kelompok atau gerombolan yang disebut birokrasi. Sebab jika kekuasaan ada di satu tangan, korupsi disebut upeti yang dibelandakan dengan hernsdienst. Ketika yang menjadi birokrat itu juga aristokrat, soal korupsi tidak terlalu merisaukan, karena hal semacam itu dalam rasa keadilan masyarakat tidak terlalu mengganggu. Korupsi seperti terjadi di awal republik hanya menjadi masalah elite politik sendiri, dalam arti bagaimana mungkin terjadi sama-sama berkecimpung dalam kekuasaan, kok pendapatan bisa berlainan? Artinya korupsi adalah soal hukum, melanggar hukum, dan fatsoen politik. Kenyataan ini oleh Emanuel Subangun,10 disebutnya sebagai tahapan awal korupsi di Indonesia.
Tahapan berikutnya adalah ketika penguasa negara melakukan pemberantasan korupsi dengan “salah urus”. Selepas berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Lama, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto awalnya juga berusaha melakukan pemberantasan korupsi dengan membentuk KAK (Komite anti-Korupsi) dan semua pernik-perniknya, termasuk undang-undang dan imbauan-imbauan. Pendek kata soal upeti dan herndienst itu diributkan lagi, dan karena di masa itu kelompok penguasa gemar berkongkalikong dengan sekitar 200 konglomerat Cina, maka korupsi diganti nama dengan “pungli” yang tak lain adalah akronim biasa dari “pungutan liar”. Dalam bahasa hukum, dengan sendirinya disebut sebagai menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan manfaat finansial secara tak wajar, seperti disebut dalam sumpah jabatan para pemimpin politik, termasuk kepala negara kita.
Dalam imbauan, karena hukum tidak cukup efisien memberantas korupsi, tetapi malah memungkinkan korupsi berjalan secara aman dan damai di tempat basah seperti kantor bendahara negara atau tempat lain, maka diimbau agar para pejabat tidak melakukan komersialisasi jabatan. Jadi pungli adalah ihwalnya, dan komersialisasi jabatan adalah prosesnya.
Seperti dalam setiap imbauan yang bersifat politik, sekarang maupun sepanjang Orde Baru, korupsi tumbuh dalam irama alamiahnya. Tidak susut tetapi tumbuh subur setara dengan rate of growth kita yang hebat itu. Karena imbauan tak lain adalah afirmasi dari sebuah keberadaan, korupsi tidak lagi semata dan utamanya adalah masalah legal dan politik, tetapi masalah jual beli jabatan dalam birokrasi. Jabatan itu artinya dekat dengan sumber daya yang langka dan utamanya finansial. Maka komersialisasi jabatan
8Lihat lebih jauh Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002).
9Lihat Hamid Basyaib, “Penyebaran Korupsi Luar Biasa”, dalam Jurnal Resonansi, Edisi Khusus Akhir Tahun 2003 dan Awal Tahun 2004, hlm. 67-72.
10Emanuel Subangun, “Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 8 Juli 2002.
tak lain adalah meletakkan jabatan itu rangkaian prosedur komersial yang sedang berlaku. Bentuk paling khas di zaman itu adalah hadirnya semua ragam pejabat sebagai komisaris pada perusahaan konglomerat!
Di sinilah letak perbedaan korupsi masa Orde Baru dengan masa Orde Lama. Pada masa Orde Lama, korupsi adalah masalah perbedaan penghasilan dalam jenjang kepangkatan, artinya masalah keadilan di antara para pelakunya yang notabene adalah elite penguasa. Memasuki masa Orde Baru, masalah yang muncul tidak lagi terkait dengan masalah keadilan, hukum, dan politik, tetapi adalah suatu hal yang wajar karena dalam perluasan pasar yang terjadi, jabatan negeri adalah salah satu mata rantai yang penting untuk kelancaran usaha yang namanya adalah jaminan keamanan dalam berbisnis!
Tahapan ketiga, ketika zaman reformasi tiba dan rezim datang silih berganti, wajah korupsi kian kaleidoskopik. BJ Habibie yang genius sibuk dengan urusan teknologi canggih, dan urusan uang diserahkan pada anak buahnya seperti sekarang muncul di pengadilan, Rahardi Ramelan atau Akbar Tandjung. Hal yang sama dilakukan Abdurrahman Wahid yang justru harus jatuh dengan dalih korupsi juga, semata karena Abdurrahman Wahid juga tak terlalu peduli dengan arus kas dirinya sendiri.
Zaman BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah masa peralihan dalam sejarah penyalahgunaan wewenang resmi untuk ditukar dengan uang. Zaman baru mulai merebak saat Megawati dilantik menjadi presiden dan serentak mengumpulkan semua anggota keluarganya untuk tidak mempraktikkan KKN. Tindak simbolik itu seakan tindakan nyata, sehingga praktis banyak pihak terkesima.
Akan tetapi, tidak berapa lama menjadi presiden, segera budaya korupsi itu menemukan bentuknya yang bisa dicapai secara peradaban. Tidak lagi sekarang ini soal pemasukan tidak sah dalam kantung (Orde Lama), bukan juga sekadar komersialisasi jabatan (Orde Baru), tetapi lebih cantik dan indah lagi yang terjadi. Seluk-beluk masalah yang disebut korupsi itu dibingkai dalam istilah KKN (mirip kuliah kerja nyata), tetapi dalam kenyataan riil adalah para pegawai politik di semua lapis, jajaran, dan jabatan kian mengerti dan paham nilai finansial dari kedudukan itu. Kini, jabatan bukan lagi sebuah mata rantai dari sistem komersial yang sedang tumbuh, tetapi sedang menjadi salah satu mata dagangan yang strategis karena komoditas yang lain tidak layak jual, sistem produksi tidak jalan, dan bangunan moneter/finansial terus goyah. Dalam keadaan semua tidak menentu itu, satu-satunya komoditas yang layak jual adalah jabatan dalam politik! Entah itu di perwakilan rakyat, di pemerintahan, di dinas militer, jaksa, hakim, dan sebaga
inya.11
Negeri Sarat Korupsi
Praktik korupsi, tampaknya sudah membudaya dan bukan semata milik strata atas dalam jajaran pemerintahan. Berkaitan dengan persoalan ini, secara hierarki, korupsi dianggap sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten/kotamadya hingga tingkat provinsi. Institusi pendidikan, kesehatan dan bahkan keagamaan pun tak luput dari tudingan melakukan praktik korupsi.
Beberapa penelitian menunjukkan betapa terpuruknya citra bangsa ini. Peringkat citra “negara (ter)korup” nyaris selalu melekat sepanjang tahun. Hasil pengkajian
11Ibid.
Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) tahun 1996 lalu, misalnya, menempatkan negeri ini pada urutan ketiga terkorup di antara negara-negara Asia lainnya, setelah China dan Vietnam.
Pada tahun yang sama, Transparency International –sebuah koalisi global antikorupsi–mengeluarkan indeks tahunan mengenai persepsi masyarakat bisnis dan akademisi tentang korupsi pada lebih dari 50 negara. Dari indeks tersebut, Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara dengan derajat korupsi tertinggi.
Malah, kondisi yang lebih buruk kembali ditunjukkan oleh lembaga Transparency International (TI) pada tahun 1999. Indonesia ditempatkan sebagai negara ketiga terkorup di dunia, dan posisi itu belum berubah ketika pada tahun berikutnya lembaga ini mengumumkan corruption perceptions index (CPI) terhadap 99 negara. Baru pada tahun 2001, peringkat berubah meskipun tidak banyak berarti mengingat cap sebagai negara paling korup keempat di dunia dinyatakan kembali oleh TI. Padahal, Cina dan Vietnam yang beberapa tahun terakhir bersaing dalam soal korupsi dengan Indonesia, kini sudah jauh meninggalkan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik setelah mengampanyekan gerakan antikorupsi dengan menghukum mati para pejabat teras mereka yang terlibat korupsi.
Sementara dalam hal penerapan good corporate governance selama tiga tahun terakhir dari sepuluh negara Asia (Singapura, Hongkong, Taiwan, India, Korea, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Indonesia) yang diteliti oleh Bank Pembangunan Asia, Indonesia berada pada posisi paling buncit.12 Sebelumnya di awal 1990-an, begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo berulang kali menyatakan telah terjadinya kebocoran anggaran negara sebesar 30 persen setiap tahun.
Ada banyak sebab yang mengakibatkan “prestasi” Indonesia dalam soal korupsi begitu hebat. Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, korporatisme (tepatnya state corporatisme)13 juga menjadi faktor yang cukup determinan. Dalam khasanah literatur ekonomi-politik, korporatisme sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah (regimes) berinteraksi secara tertutup dengan sektor swasta besar. Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut.14
Berlakunya korporatisme bukan hanya menjadi gejala tidak bekerjanya mekanisme politik dan ekonomi yang partisipatif, tapi juga merupakan bukti distorsi dari sistem ekonomi dan politik yang demokratis. Di mana pun sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan yang akhirnya akan ambruk dengan sendirinya karena kekuatan rakyat (yang selama ini dirugikan) terpaksa dan harus menyingkirkan sistem seperti ini.
12Faisal Basri, “Analisis Ekonomi: Mewaspadai Politik Uang”, Kompas, 16 Februari 2004.
13Meminjam istilah Ramlan Surbakti. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 198.
14Didik J. Rahbini, Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta: CIDES, 1996), hlm. 92.
Dalam prakteknya, korporatisme biasanya “berselingkuh” dengan praktek “haram” lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”.
Praktek korporatisme dan rent seeking ini tampak begitu selama berkuasanya rezim Orde Baru. Akumulasi dan distribusi modal hanya dinikmati oleh segelintir orang (sekitar 10%) dengan cakupan modal cukup berlimpah (sekitar 90%). Sementara kebanyakan orang (90% lainnya) sangat kesulitan untuk mengakses mendapatkan modal yang hanya sedikit (hanya sekitar 90%).
Kenyataan pahit ini ditambah dengan perubahan paradigma pembangunan nasional dari yang sebelumnya lebih berorientasi pada politik menjadi lebih berorientasi pada ekonomi. Kebanyakan negara yang mengedepankan aspek ekonomi, maka konsekwensinya, arah pembangunan lebih dititikberatkan pada aspek pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Negara yang berorientasi pada pertumbuhan biasanya akan menjadikan makro ekonomi sebagai alat ukur. Parameter pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, nilai tukar rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG) selalu akan menjadi alat ukur. Padahal parameter tersebut tidak selalu menggambarkan realitas sesungguhnya di lapangan.
Pendapatan per kapita misalnya, selama Orde Baru berkuasa pendapatan per kapita negara kita tergolong cukup baik –meskipun masih kalah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya. Namun apakah pendapatan per kapita tersebut menggambarkan realitas yang sesungguhnya? Jawabnya tentu tidak! Sebagian besar masyarakat kita (sekitar 30 juta saat itu) hidupnya di bawah garis kemiskinan. Lantas berapa masyarakat kita yang hidup di garis kemiskinan?
Pemerintah saat itu selalu berdalih bahwa model pertumbuhannya adalah menganut konsep resapan ke bawah (tricle down efect). Artinya pertumbuhan yang kelak diharapkan, modalnya tidak saja berputar di lingkup pengusaha besar, namun resapannya juga akan dinikmati oleh masyarakat banyak.
Pembangunan dengan model seperti ini semua sudah menyaksikan hasilnya. Bangunan ekonomi makronya cukup bagus, namun tidak dibarengi dengan fundamental ekonomi –dan tentu saja fundamental politik– yang kuat. Negara mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Sementara “pertumbuhan” yang ditawarkan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kesengsaraan ekonomi sebagian besar masyarakat.
Gaya Normatif Pemberantasan Korupsi
Setiap pemerintahan baru selalu berjanji akan memberantas korupsi. Akan tetapi, setelah kekuasaan itu berjalan, korupsi tidak juga berkurang, bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan. Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa di era pemerintahan Orde Baru, korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. Pernyataan tersebut meski memperoleh tanggapan beragam dalam masyarakat, tetapi kebenarannya tidak terbantahkan. Berikut perkembangan upaya pemberantasan korupsi “gaya normatif” dari waktu ke waktu.
Era Orde Lama
Pada era ini, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Mohammad Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan –istilah sekarang mungkin disebut daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan tetapi langsung kepada presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Ka
binet Juanda). Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi” di mana sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu tiga bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang cukup banyak untuk ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pj Presiden, di depan anggota MPRS menjelang Hari Kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap sebagai sarang korupsi dan ”pat gulipat”.
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan “tokoh-tokoh tua” yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lainnya.
Namun komite ini hanya ”macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas. Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa menimbulkan bekas sama sekali.
Era Pasca Orde Baru
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Kita mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur, padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi tukar guling Goro dan penembakan Hakim Agung Syafiudin. Kemudian konglomerat Sofyan Wanandi melalui Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai Menneg BUMN yang dalam pola pikirnya hanya bagaimana cara menjual aset negara untuk meraih uang. Di masa pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elite pemerintah sebenarnya tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemberantasan Korupsi Model Shleifer dan Vishny15
Model yang ditawarkan Shleifer dan Vishny ini tergolong “aneh”, karena ia menawarkan pemberantarasan korupsi justru melalui “transaksi korup”. Pemberantasan korupsi model Shleifer dan Vishny ini mengasumsikan birokrat pemerintah menyajikan penawaran terbatas pada suatu rentang hak yang berguna (seperti bermacam lisensi yang dipersyaratkan untuk membangun suatu usaha). Shleifer dan Vishny membedakan tiga kasus seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Pertama, ketika pemerintah terpusat dan satu agen (single agency) tunggal menjadi penyedia seluruh hak yang relevan. Birokrat pemerintah memaksimalkan pendapatannya dari suap dengan membatasi penawaran bersama berbagai hak sampai tingkat keuntungan maksimal. Kasus kedua, ketika beberapa agen pemerintah bersaing dalam pemberian hak yang saling melengkapi. Karena itu, satu agen dapat memberikan hak impor atas bahan baku, yang lainnya memberikan hak untuk membangun pabrik, dan yang ketiga menyajikan akses ke kredit. Jika agen-agen yang berbeda tidak terpusat dan bebas untuk mencoba memaksimalkan keuntungan untuk mereka, masing-masing akan menghadapi dilema narapidana (prisoner’s dilemma). Ketika mencoba memaksimalkan sewa untuk mereka, masing-masing bisa meningkatkan harga sewa tertentu yang ditawarkan begitu tinggi sehingga kegiatan secara keseluruhan menyusut, dan total sewa yang dikumpulkan oleh para agen akan jatuh. Kasus ketiga, ketika ada beberapa agen, tetapi mereka masing-masing dapat melayani seluruh hak yang relevan. Ini mirip dengan beberapa negara kecil dalam suatu negara, yang bersaing untuk membagikan usaha. Hasilnya secara radikal berbeda. Masing-masing negara kecil ini berusaha melayani suatu paket tawaran ke pembeli dengan hak pelengkap yang diperlukan untuk membangun usaha. Kompetisi di antara negara-negara kecil sekarang memiliki hasil teoretik yang diharapkan, dengan menekan harga paket sewa ke nol, dan karena itu total sewa yang dikumpulkan juga nol.
15 Shleifer, A. and Vishny, R.W., Corruption, Quarterly Journal of Economics Vol 108 No 3, 1993.
Tabel 1 Klasifikasi Shleifer-Vishny tentang
Korupsi Struktur Agen yang Menyediakan Hak
Satu Agen Menyediakan Seluruh Hak Agen-agen Berkompetisi Menyediakan Hak yang Melengkapi Agen-agen Berkompetisi Masing-Masing Menyediakan Seluruh Sewa
Pengumpulan Suap Keseluruhan Tertinggi Menengah Terendah
Tingkat Masingmasing Suap Menengah Tertinggi Terendah

Kesimpulan kebijakan Shleifer dan Vishny adalah sederhana. Penyelesaian korupsi paling baik dengan meningkatkan kompetesi di antara birokrat dan memungkinkan lebih banyak agen menyediakan hak yang sejenis. Tujuannya adalah mencapai kolom ketiga. Kasus terburuknya, agen yang berkompetisi menyediakan masukan yang saling melengkapi (kolom 2 dalam Tabel 1). Di sini, hambatan koordinasi di antara agen-agen mengakibatkan rendahnya total sewa yang dikumpulkan karena tingkat aktivitas ekonomi telah menyusut. Kasus monopoli absolut (kolom 1) secara marginal lebih baik. Suap untuk masing-masing hak yang dijual lebih rendah di sini, tetapi total suap yang dikumpulkan lebih besar karena ekonomi beroperasi pada tingkat aktivitas yang lebih tinggi.
Klasifikasi Shleifer-Vishny berguna untuk membedakan kasus ekstrim kelemahan birokrat. Ketika sejumlah besar masing-masing agen pemerintah memonopoli beberapa bagian, tetapi tidak keseluruhannya hak yang penting untuk aktivitas ekonomi, kita memiliki suatu transisi ke kolom 2, dengan kenaikan tingkat suap dan kejatuhan total suap yang diambil. Akan tetapi, apakah perbedaan antara struktur agen ini dapat memperkirakan pengamatan berbeda kinerja negara berkembang yang korup?
Fragmentasi pemerintah yang diuraikan dalam kolom 2 relevan untuk negara-negara yang baik dalam jalan anarkhi. Ini mempersyaratkan agen pemerintah bawahan menyatakan kebebasan dan mampu menekannya. Hal ini penting untuk mengerti apa yang dibutuhkan. Artinya, suatu agen seperti halnya yang menyediakan lisensi industri, dapat menekan suatu tingkat suap terhadap haknya secara bebas dari agen lainnya, dan tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi pada tingkat agregat aktivitas ekonomi. Ini bukan kasus dengan hak yang penting, bahkan dalam pemerintah yang biasanya lemah seperti Pakistan atau Banglades.
Hak yang berhubungan dengan proyek penting, yang mensyaratkan ijin dari beberapa agen, biasanya ditransaksikan pada tingkat pemerintah yang cukup tinggi sampai ke agen-agen, yang saling melengkapi. Tentunya, beberapa bentuk kasus paling buruk seperti Haiti di bawah Duvalieer, Bangladesh di bawah Ershad atau Filipina di bawah Marcos, mendekati kasus monopoli kolom 1 daripada kolom 2. Pemimpin besar mempunyai jalur di setiap tempat, dan secara jelas memiliki kepentingan dalam memaksimalkan total sewa yang dikumpulkan.
Di sisi lain, beberapa negara yang kebanyakan berhasil, tidak berhubungan dengan kasus penyediaan kompetisi seperti kolom 3, tetapi juga lebih mendekati kolom 1. Shleifer dan Vishny mengakui bahwa pemerintah Korea Selatan diperkirakan dalam model monopolistik dan menemukan hal membingungkan bahwa itu tidak mengalami nasib sama seperti penyedia monopoli lainnya. Secara jelas, ada beberapa perbedaan dalam struktur organisasi birokrasi pemerintah yang menyediakan hak di antara berbagai negara, dan gambaran sisi penawaran ini dapat menjelaskan perbedaan pengaruh korupsi di antara mereka. Akan tetapi, kebanyakan struktur organisasi yang relevan untuk menyediaan hak melalui korupsi terletak di antara kasus monopolistik dan oligopolistik, seperti tertera dalam kolom 1 dan 2 pada Tabel 1. Perbedaan di antara mereka (walaupun tetap cukup penting) tidak muncul cukup besar untuk menjelaskan perbedaan dramatis antara Haiti dan Taiwan atau Korea Selatan dan Banglades.
Model yang ditawarkan oleh Shleifer dan Vishny ini memang tidak serta merta dapat mengurangi angka korupsi secara drastis, namun setidaknya akan mampu membuat jera pelaku-pelaku korupsi dan pada akhirnya diharapkan akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi.
Kekuasaan yang Amanah sebagai Jalan Keluar Terakhir
Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium “kekuasaan itu cenderung korup” sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang clean government dan good governance. Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan. Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hukum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskriminatif. Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan dalam konstelasi checks and balances antar unit-unit suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.
Di sinilah urgensinya kita menghasilkan kepemimpinan baru yang memenuhi kriteria itu. Tanpa kepemimpinan baru yang kredibel, kapabel dan akseptabel, korupsi akan sulit untuk dibasmi. Bagaimana mungkin kita menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Perubahan kepemimpinan itu, kini telah menemukan kembali momentumnya melalui pemilihan presiden secara langsung tahap kedua pada 20 September 2004 mendatang. Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki dua fungsi pokok. Pertama, sebagai sarana memperbarui dan memperkokoh legitimasi politik penguasa yang sedang berjalan. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa aspiratif bagi kepentingan rakyat, melaksanakan agenda reformasi, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka fungsi pemilu adalah memperbarui legitimasi politik. Para pemilih datang ke bilik suara untuk mengamanahkan kembali kedaulatan politik yang berada di tangannya. Pemerintahan dan partai itu layak mendapat kepercayaan kembali untuk mengelola negara dan mewakili kepentingan rakyat banyak. Keberadaan partai-partai lain dalam pemilu dimaksudkan untuk melahirkan kekuatan checks and balances sehingga pemerintah tidak melakukan abuse of power yang menyimpang dari agenda reformasi.
Kedua, sebagai sarana mendelegilitimasi pemerintahan lama dan membentuk pemerintahan baru. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa tidak aspiratif, mengabaikan amanah reformasi, dikendalikan oleh politisi busuk dan tidak kapabel menjalankan roda pemerintahan, maka pemilu menjadi momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional, baik pada level eksekutif maupun legislatif, dari pusat hingga ke daerah. Pemilihan umum seharusnya menjadi mimpi buruk bagi rezim yang korup, politisi busuk, partai yang gemar obral janji pembela wong cilik dan siapa saja yang mendukung mereka. Para pemilih akan “mengeksekusi” mereka di bilik-bilik suara dan mengalihkan legitimasinya pada pemimpin baru dan partai alternatif yang aspiratif dengan kepentingan mereka.
Persoalannya adalah apakah para pemilih memiliki tingkat budaya politik yang tinggi sehingga memahami makna pemilu itu dan mampu mengevaluasi secara kritis rezim yang berkuasa? Ataukah mereka justru tidak memiliki memori kolektif yang agak panjang dan mampu mengingat perilaku penguasa yang tidak amanah, tidak adil dan korup selama mereka berkuasa? Jika kesadaran politik rakyat rendah dan memori politiknya pendek, maka mereka dengan mudah dihibur dan diberi “gula-gula politik” oleh penguasa sehingga pemilu hanya akan berfungsi sebagai momentum memperbarui kontrak politik dan peneguh kekuasaan, meskipun kinerja mereka mengecewakan.
Akhirnya, tulisan ini akan diakhiri dengan mengutip pernyataan seorang filsuf Yunani Socrates di muka pengadilan: “Tuan-tuan, kekuasaan tuan-tuan dapat membuat hukum semau-maunya. Tetapi kekuasaan tuan-tuan pada akhirnya akan dapat dikalahkan perasaan keadilan dari rakyat yang tidak dapat dimatikan atau ditindas. Lama setelah saya mati nanti, tuan-tuan sebagai hakim akan dikenal sebagai contoh-contoh, di mana hukum tidak sama dengan keadilan. Hukum datang dari otak manusia, sedangkan keadilan datang dari hati sanubar
i rakyat….” Wallahu a’lam bi Al-Shawaab.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal, “Analisis Ekonomi: Mewaspadai Politik Uang”, Kompas, 16 Februari 2004. Basyaib, Hamid, “Penyebaran Korupsi Luar Biasa”, dalam Jurnal Resonansi, Edisi
Khusus Akhir Tahun 2003 dan Awal Tahun 2004. Budhiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1978). Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125. Kompas, 24 Januari 2003 Nye, J.S., “Corruption and political development: a cost-benefit analysis”, dalam
American Political Science Review, Vol LXI, No. 2, 1967. Rahbini, Didik J., Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta:
CIDES, 1996). Rais, Amien, “Suksesi sebagai suatu Keharusan,” Makalah, disampaikan dalam Sidang
Tanwir Muhammadiyah, Yogyakarta, 1993. Shleifer, A. and Vishny, R.W., Corruption, Quarterly Journal of Economics Vol 108 No
3, 1993.
Subangun, Emanuel, “Tiga Tahap Sejarah Korupsi di Indonesia”, dalam Kompas, 8 Juli 2002.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992)
Tanzi, Vito, “Corruption, Governmental Activities and Markets”, dalam IMF Working Paper, Agustus 1994.
Toer, Pramoedya Ananta, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002).

PEMANFAATAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BERDASARKAN UU NO. 34/2000 OLEH PEMDA UNTUK MENARIK PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

PEMANFAATAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BERDASARKAN UU NO. 34/2000 OLEH PEMDA UNTUK MENARIK PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH : Suatu Studi di Kota Bogor
Oleh :
Achmad Lutfi*
Abstrak
Diimplementasikannya UU No. 34/2000 telah memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan ini direspon positif oleh daerah. Seluruh daerah di Indonesia seakan-akan berlomba untuk menerbitkan perda untuk menggali potensi pajak daerah dan retribusi daerah yang dimilikinya. Dalam payung desentralisasi fiskal, respon yang diberikan daerah ini sangatlah tepat. Namun, respon yang berlebihan dapat menjadi bumerangt bagi daerah. Tulisan ini mengulas respon yang diberikan oleh Kota Bogor dalam rangka diimplementasikannya UU Bno. 34/2000 berikut peraturan pelaksanaannya.
Key word : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Desentralisasi Fiskal.
Pendahuluan
Perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang cukup signifikan, antara lain dalam pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh daerah otonom akibat dijalankannya desentralisasi fiskal. Salah satu aspek penting yang terjadi akibat dilaksanakannya desentralisasi fiskal adalah kemampuan yang diberikan kepada daerah untuk menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru sejalan dengan diamendemennya peraturan perundangan yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah sebelumnya menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
*
Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, untuk Mata Kuliah Keuangan Daerah serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selain mengajar, penulis juga memiliki perhatian yang besar pada kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah.
(untuk selanjutnya disebut UU No. 34/2000). Dalam peraturan perundang-undangan yang baru ini secara jelas tercantum bahwa dengan peraturan daerah (untuk selanjutnya disebut perda), daerah diperkenankan untuk menetapkan pajak daerah dan retribusi daerah baru selain yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut sepanjang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya.
Diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal, sejalan dengan diberikannya otonomi yang lebih luas kepada daerah kabupaten dan daerah kota melalui pemberlakukan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, telah membuka peluang bagi para pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah. Salah satu upaya yang ditempuhnya adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan pajak daerah dan retribusi daerah.
Kedua komponen ini merupakan komponen yang sangat menjanjikan dan selama ini pendapatan yang berasal dari perolehan hasil pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang besar dalam struktur pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru. Untuk menempuh kedua cara itu, pemerintah daerah dapat menyempurnakan perda yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta membuat perda baru untuk menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.
Tabel 1.
Jumlah Perda Pungutan Setelah Otonomi Daerah di Beberapa Daerah

Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang Simalungun Karo Jumlah Perda Pungutan pada Tahun 2001 51 26 21 Perda Pungutan Baru Setelah Otonomi Daerah 21 0 0 Perda Pungutan Baru dalam Proses -32 4
Sulawesi Utara Minahasa Bolmong Gorontalo 18 21 32 103 10 89 23 75
Jawa Barat Cirebon Garut Ciamis 22 38 34 2 1713 18 10 0

Sumber: Harian Umum Kompas, 14 Agustus 2003, Hlm. 15. Dikutip dan diolah dari hasil penelitian Tim SMERU.
Dilihat dari data tabel diatas, maka jelas terlihat sejumlah daerah melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang yang terdapat dalam kebijakan desentralisasi fiskal untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru. Jika dikaji lebih jauh, sebenarnya hampir semua daerah, baik daerah propinsi, daerah kabupaten, maupun daerah kota memiliki kecenderungan yang sama. Mereka semua seakan berlomba-lomba untuk membentuk perda yang pada akhirnya bertujuan untuk menambah pundi-pundi pendapatannya dengan menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa mereka memerlukan penerimaan asli daerah yang cukup untuk membiayai kewenangan yang didesentralisasikan kepadanya. Membuat suatu perda memang merupakan kewenangan yang dimiliki oleh daerah. Kepala daerah dapat menetapkan perda dengan persetujuan dewan perwakilan daerah. Keduanya dapat mengajukan raperda untuk selanjutnya dibahas sebelum pada akhirnya disetujui dan ditetapkan.
Permasalahan
Terjadinya desentralisasi fiskal, sejalan dengan implementasi kedua undang-undang tersebut, memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan yang ada di daerahnya guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang diterima oleh daerah otonom. Salah satu potensi keuangan yang menarik untuk diperhatikan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kemampuan pemerintah daerah untuk menggali penerimaan melalui pajak daerah dan retribusi daerah. Adapun pokok permasalahan yang akan diajukan dalam tulusan ini adalah bagaimana pemanfaatan kebijakan desentralisasi fiskal berdasarkan UU No. 34/2000 oleh pemerintah daerah untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah ? Dalam rangka penelitian dalam penyusunan ini, penelitian akan difokuskan pada studi di Daerah Kota Bogor.
Kerangka Teori
Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh suatu negara. Desentralisasi fiskal ini dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya, sub-national levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik, dan kota.1 Namun demikian, sebenarnya definisi ini tidaklah cukup komprehensif. Pada kenyataannya, isu yang berkembang dan menarik dalam kajian desentralisasi fiskal atau federalisme fiskal adalah pemberian tanggung jawab fiskal yang lebih jelas pada tingkatan pemerintahan yang tepat. Tanggung jawab ini, mencakup mulai dari merancang hingga menerapkan beragam aspek yang terkait dalam hubungan keuangan intrapemerintahan, menimbulkan sejumlah pertanyaan menarik, seperti:
1 Jenis pengeluaran apa yang harus dilakukan oleh suatu tingkatan pemerintahan tertentu ? (expenditure assignment)
2 Jenis penerimaan apa yang harus dipungut dan berapa tarif pajak yang harus dibuat oleh tingkatan pemerintahan tertentu ? (revenue assignment)
3 Bagaimana seharusnya bantuan intrapemerintahan dan bagi hasil harus digunakan untuk mengatasi kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan di tingkat pemerintahan daerah dan dapat memberikan insentif yang tepat bagi daerah ?
4 Tingkatan pemerintahan yang mana yang tepat untuk membiayai pengeluarannya melalui pinjaman yang berasal dari dalam atau luar negeri, swasta, atau publik ?
5 Tingkatan pemerintahan yang mana yang bertanggung jawab terhadap sistem administrasi perpajakan dan manajemen pengeluaran publik ?
6 Tingkatan pemerintahan yang mana yang harus mendesain dan menjalankan seluruh peraturan ?
7 Bagaimana seharusnya peraturan-peraturan seharusnya dapat diharmonisasikan dengan baik dan secara menyeluruh, komprehensif, didalam tingkatan pemerintahan yang berbeda ?

1 Hamid R. Davaodi, Http;//.www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/ indeks.htm #sum2.
Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki
oleh suatu daerah adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri (local source). Yang termasuk ke dalam kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan usaha (local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis pendapatan ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah yurisdiksinya. Seorang pakar dari World Bank2 berpendapat bahwa batas 20 % perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 %, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri.
Tanzi berpendapat bahwa desentralisasi fiskal harus diimbangi dengan kemampuan daerah untuk untuk membiayai sejumlah pengeluaran yang dialihkan kepadanya dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dengan jalan memberikan kewenangan untuk menarik pajak yang telah dialihkan kepadanya, menarik pajak yang telah di-assign kepadanya.
Sejalan dengan Tanzi, Mc Lure3, sebagai mana dikutip oleh Bird, mengemukakan bahwa ada sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan tax assignment kepada daerah.
2 Glynn Cochrane. “Policies For Strengthening Local Government In Developing Countries”. World Bank Staff Working Paper No. 582. Management and Developing Series No. 9. Washington D.C.: The World Bank, 1983.
3 Charles E. McLure, Jr. “The Tax Assignment Problem: Conceptual and Administrative Considerations in Achieving Subnational Fiscal Autonomy”. Paper presented at the Seminar on Intergovernmental Fiscal Relations and
Indeed, the simple rule he posess is, it may be argued, the key to unraveling the whole tangled mess of “what be taxed and by whom”. That rule is simply that (1) subnational government need to control their own revenues in order to facilitate effective decentralized control of spending, but that (2) control in this sense simply requires that they can affect the volume of own revenues significantly at the margin through their own policy choice, in particular, by choosing tax rates. That is, if subnational government are expected to act responsibly, such government must be able to increase or decrease their revenues by means that make them publicly responsible for the consequences of their actions.
Pajak daerah yang diterapkan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
diharapkan mampu memberikan penerimaan yang signifikan dan berdampak pada
kemampuan daerah dalam membiayai tanggung jawab fiskalnya. Untuk memperoleh
penerimaan pajak daerah yang cukup signifikan dalam rangka desentralisasi fiskal, maka
daerah harus memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah yang tepat.
Subnational taxes should thus in principle satisfy two main criteria. First, they should provide sufficient revenue for the richest subnational units to be essentially fiscally autonomous. Second, they should clearly impose fiscal responsibility at the margin on subnational governments. As noted earlier, the simplest and probably best way to achieve this goal is by allowing this governments to establish their own tax rates.4
Selain pemberian kewenangan untuk menarik pajak daerah baru, elemen kedua
yang sangat direkomendasikan dalam rangka implementasi kebijakan desentralisasi fiskal
dalam rangka meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah adalah
penerapan retribusi daerah. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa dimanapun
pemerintah dapat mengenakan retribusi kepada masyarakatnya sejalan dengan usaha
yang dilakukan oleh pemerintah untuk lebih mengintrodusir mekanisme pasar dalam
pembiayaan pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya.
Perhaps the most obvious recommendation with respect to revenue structures at any level of governments that appropriate user charges should be employed whenever possible. Not only does this accord with the conventional view of tax assignment, but it also has all virtues usually
Local Financial Management organized by the National Economic and Social Development Board of the Royal Thai Government and World Bank, Chiang Mai (Thailand), February 24 – March 5, 1999. 4 Richard M. Bird. “Rethinking Subnational Taxes: A New Look at Tax Assignment”. IMF Working Paper No. 165/1999. Washington D.C.: International Monetary Fund, 1999. Hlm. 10.
associated with introducing market elements into public sector decision
process.5
Penerapan retribusi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup berati bagi penerimaan daerah, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah (own resources). Namun demikian, perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah daerah harus mempu mendisain retribusi daerah yang baik sehingga ia dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah serta memberikan arahan apa yang harus diperbuat daerah. Dalam kenyataannya, seperti yang dipraktekkan di negara-negara berkembang, penerapan retribusi daerah dapat berdampak bagi masyarakat lokal sehingga penerapannya harus dilakukan secara bijaksana.
Retribusi daerah merupakan komponen pendapatan daerah yang sangat potensial, dan merupakan ide yang tepat untuk diimplementasikan oleh pemerintah daerah mengingat sumbangannya yang diharapkan cukup signifikan dalam memenuhi pembiayan pemerintah daerah. Namun demikian, pemerintah daerah juga harus harus diperhatikan juga aktifitas-aktivitas yang dilakukannya.
Keterkaitan antara implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dengan kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retrinbusi daerah akan berdampak pada peningkatan perolehan pendapatan daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan dua komponennya. Implementasi kebijakan fiskal ini akan berwujud pada pemberian keleluasaan kepada daerah dari pemerintah atasnya untuk memperoleh penerimaan (earning), serta kewenangan untuk membelanjakannya (spending), sebesar kewenangan fiskal yang didesentralisasikan kepadanya yang berwujud pada otonomi fiskal. Derajat otonomi ini tentunya ditentukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang ada.
Aturan hukum yang mengatur derajat otonomi fiskal tidaklah terlepas dari dasar hukum yang mengatur mengenai hubungan antar tingkatan pemerintahan yang ada. Aturan yang mengatur hubungan antar tingkatan pemerintahan ini mengatur segala aspek pemerintahan termasuk fungsi-fungsi pemerintahan, baik fungsi rutin maupun
5 Richard M. Bird. Ibid.. Hlm. 11 – 12.
pembangunan, yang didesentralisasikan kepada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Salah satu aspek yang harus diatur didalamnya adalah fungsi-fungsi pembiayaan dan pembelanjaan (aspek keuangan). Aturan-aturan ini haruslah memberikan kerangka hukum transparan dan memberikan kejelasan atas fungsi-fungsi serta peranan masing-masing tingkatan pemerintahan yang ada.
Dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah akibat diimplementasikannya kebijakan daerah, tentunya harus disusun kerangka hukum (legal framework) yang jelas. Kerangka hukum ini merupakan seperangkat aturan yang saling kait mengkait, melibatkan seluruh tingkatan pemerintahan yang ada, dan tentunya tidak boleh saling bertentangan satu dengan lainnya. Di tingkat pusat, seperangkat peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk mengatur atau memberikan kerangka acuan yang jelas bagi daerah dalam upayanya untuk meningkatan penerimaan dari sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Operasionalisasi dari aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang lebih tinggi harus dapat dijabarkan dalam peraturan yang lebih rendah, dan tentunya lebih operasional, oleh tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh penerimaan dan derajat otonomi fiskal yang dimilikiny
a dapat mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan Perda, pemerintah daerah dapat menetapkan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya.
Temuan dan Pembahasan Hasil Studi
Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, Pemda Kota Bogor merespon kebijakan ini dengan melakukan penyempurnaan pada sejumlah perda maupun menebitkan beberapa perda baru untuk menarik jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang baru. Sejumlah perda telah ditetapkan sebagai bentuk pemanfaatan ketentuan di dalam UU No. 34/2000 yang telah membuka peluang bagi daerah untuk menarik sejumlah jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang baru.
Sejumlah keuntungan dapat diperoleh Pemda Kota Bogor akibat diimplementasikannya UU No. 34/2000. Dengan diimplementasikannya peraturan perundang-undangan ini, pemerintah daerah memiliki ruang gerak yang lebih leluasa untuk menarik pajak daerah dan retribusi yang baru. Mekanisme pengawasan atas perda-perda baru yang mengatur penarikan pajak daerah dan retribusi daerah juga mengalami penyederhanaan yang sangat menguntungkan pemerintahan daerah. Kedua hal ini dapat disebut sebagai anugrah yang diberikan oleh pemerintah untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari perolehan pendapatan daerah, khususnya dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.
Sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 34/2000, pemerintah daerah memiliki keleluasaan ruang gerak yang lebih baik dalam menyusun dan menetapkan pungutan berbentuk pajak daerah dan retribusi daerah. Keleluasaan ini ditandai dengan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk memungut jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah selain yang telah secara tegas dicantumkan dalam UU No. 34/2000. Pemerintah Daerah Kota Bogor merespon hal ini dengan menetapkan sejumlah perda baru. Perda-perda yang terkait dengan pemanfaatan keleluasaan ini dicerminkan dengan ditetapkannya Perda No. 3/2001 tentang Retribusi Pengelolaan Limbah Cair, Perda No. 4/2001 tentang Retribusi Pemasukan dan Penampungan serta Pengeluaran Hewan/Ternak, Perda No. 5/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Susu Murni, Perda No. 6/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Pemotongan dan Pemasaran Daging Ayam, Perda No. 7/2001 tentang Retribusi Pemakaian Jalan untuk Angkutan Barang, Perda No. 11/2002 tentang Retribusi Pengujuan Kendaraan Bermotor, dan Perda No. 13/2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi. Seluruh perda ini merupakan perda baru yang mengatur pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah di Kota Bogor. Namun demikian, walaupun sebenarnya baru, beberapa perda tersebut merupakan perda yang melahirkan kembali sejumlah retribusi yang telah dipungut pada pada era pemberlakuan UU Drt. No. 11/1957 dan UU Drt. No. 12/1957 dan sempat dicabut pemberlakuannya pada masa penerapan UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Reinkarnasi pemungutan perda yang sempat dicabut pada masa pemberlakuan UU No. 18/1997 bukanlah suatu hal yang tidak diperkenankan. Hal ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan keleluasaan yang dibenarkan dalam undang-undang serta dilakukan oleh Pemda Kota Bogor. Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh pemahaman bahwa hal ini tidak bisa dipungkiri dan terhindarkan. Alasan ini terkait dengan sulitnya mencari potensi penerimaan retribusi daerah yang dapat dikenakan. Peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah reinkarnasi retribusi daerah ini adalah Perda No. 4/2001 tentang Retribusi Pemasukan dan Penampungan serta Pengeluaran Hewan/Ternak, Perda No. 5/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Susu Murni, Perda No. 6/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Pemotongan dan Pemasaran Daging Ayam, dan Perda No. 7/2001 tentang Retribusi Pemakaian Jalan untuk Angkutan Barang. Seluruh perda ini sebenarnya pernah diberlakukan dalam periode pemberlakukan undang-undang pajak daerah dan retribusi sebelumnya (masa pemberlakuan UU Drt. No. 11/1957 dan UU Drt. No. 12/1957). Pengenaan retribusi daerah yang diatur dalam perda-perda tersebut terkait dengan pelayanan yang sejak dahulu sebenarnya telah diberikan oleh jajaran Pemda Kota Bogor bagi warga masyarakat, sehingga adalah tepat untuk selanjutnya pemda memungut retribusi atas jasa layanan yang diberikannya. Dalam pengenaan retribusi daerah, Pemda kota Bogor sangat memperhatikan apakah pungutan retribusi itu terkait dengan layanan yang diberikan dan kewenangan yang dimilikinya, kalau tidak mereka tidak akan mengada-adakan pungutan retribusi daerah yang tidak terkait dengan layanan yang mereka berikan serta kewenangan yang sebenarnya bukan dimiliki oleh tingkatan pemerintahan kota.
Sejumlah perda memang baru disusun oleh Pemda Kota Bogor untuk memanfaatkan potensi pendapatan yang dimilikinya. Peraturan-peraturan daerah ini adalah Perda No. 3/2001 tentang Retribusi Pengelolaan Limbah Cair, Perda No. 6/2001 Retribusi Pengujuan Kendaraan Bermotor, dan Perda No. 13/2002 tentang Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi. Pengenaan retribusi daerah ini oleh Pemda Kota Bogor terkait dengan adanya pelimpahan wewenang yang diterimanya (Perda No. 13/2002), adanya pemanfaatan asset milik daerah (Perda No. 3/2001), serta melakukan formalisasi pungutan yang telah dipungut sebelumnya namun belum diatur dalam suatu perda (6/2001).
Selain memanfaatkan keleluasaan dengan bentuk-bentuk tersebut, Pemda Kota Bogor juga melakukan sejumlah penyempurnaan terhadap sejumlah perda yang telah diberlakukan sebelumnya. Alasan utama yang dikemukakan dalam kaitan dilakukannya penyempurnaan ini adalah perlunya secara terus menerus perda-perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah ini disesuaikan substansinya, terutama tarif, agar perolehan yang diterima dari pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah ini dapat tetap memberikan penerimaan yang baik bagi perolehan pendapatan asli daerah yang diterima oleh Kota Bogor. Mengenai penyesuaian tarif bagi pajak daerah dan retribusi daerah, alasan penyesuaian tarif lebih ditujukan agar perolehan hasil yang diterima dapat mengikuti laju inflasi dan sesuai dengan perkembangan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan layanan.
Hal lain yang terkait dengan penarikan retribusi daerah, Pemda Kota Bogor juga melakukan pemisahan pengaturan antara aturan tentang obyek yang dikenakan pungutan retribusi dengan peraturan yang mengatur tentang mekanisme pengenaan retribusi yang dikenakan terhadap obyek retribusi tertentu. Sepanjang periode 2000-2003, Pemda Kota Bogor telah mengeluarkan sejumlah peraturan “payung” yang menjadi landasan atas pengenaan sejumlah retribusi. Sejumlah aturan tersebut antara lain adalah :
Tabel 2. Ilustrasi Keterkaitan Perda yang Memayungi Penarikan Retribusi Daerah dengan Perda yang Mengatur tentang Penarikannya
No. Jenis Retribusi Daerah Peraturan Daerah
Dasar Penarikan Retribusi Daerah Mekanisme Penarikan Retribusi daerah
1. Izin Mendirikan Bangunan Perda Kota Bogor No. 2 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 10 Tahun 2002
2. Biaya Cetak Pelayanan Kependudukan Perda Kota Bogor No. 4 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 12 Tahun 2002
3. Izin Usaha Jasa Konstruksi Perda Kota Bogor No. 5 Tahun 2002 Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2002

Sumber : Data primer, diolah kembali
Langkah pemisahan ini dilatarbelakangi keinginan Pemda Kota Bogor untuk melakukan pengaturan yang lebih komprehensif atas sejumlah urusan/kewenangan atau pelayanan yang diberikan oleh Pemda kepada warganya. Khusus tentang perda yang mengatur mengenai dasar penarikan retribusi daerah, sebagaimana dicontohkan dalam tiga perda diatas, Pemda Kota Bogor berupaya untuk lebih komprehensif mengeluarkan peraturan yang memuat aturan mengenai :
1 Pembangunan pemukiman/perumahan, jasa perdagangan, dan pusat keramaian umum yang kesemuanya memerlukan pengendalian terkait dengan perkembangan pembangunan di Kota Bogor yang demikian pesat (Perda No. 2/2002).
2 Pengaturan yang dibuat oleh Pemda kota Bogor dalam rangka penyelenggaran kewenangan di bidang kependudukan agar ter
capai tertib administrasi pendaftaran penduduk serta memperlancar pelayanan kepada masyarakat (Perda No. 4/2002).
3 Pengaturan yang dibuat dalam rangka mewujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi serta untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi dengan cara peningkatan kualifikasi dan kinerja bagi para pengusaha jasa konstruksi.

Sedangkan ketiga peraturan berikutnya, Perda No. 10/2002, Perda No. 12/2002, dan Perda No. 13/2002, lebih banyak mengatur tentang hal-hal yang teknis menyangkut mekanisme penarikan retribusi daerah yang terkait dengan ketiga perda yang mengatur dasar penarikan retribusi daerah tersebut diatas.
Sebenarnya, kedua jenis perda tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penarikan retribusi daerah di Kota Bogor. Pengaruh hanya terjadi akibat pemisahan pengaturan suatu penarikan retribusi tertentu yang tadinya hanya satu perda menjadi dua perda. Namun demikian, jajaran Pemda Kota Bogor menganggap bahwa pemisahan perda ini dapat bermanfaat karena dasar pengenaan dapat diatur lebih komprehensif pada satu perda yang “memayungi” penarikan retribusi daerah. Sementara mekanisme penarikan retribusi daerah, seperti penarikan retribusi-retribusi daerah lainnya, dapat diatur dalam perda lainnya yang terpisah.
Khusus mengenai pajak daerah, pemanfaatan keleluasaan dalam menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru ini tidaklah optimal dilakukan oleh Pemda Kota Bogor. Hal yang dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam periode 2001-2004 hanya memisahkan pengaturan tentang pajak hotel dan pajak restoran serta mengantisipasi dengan menyampaikan raperda tentang pajak parkir kepada pihak legislatif. Untuk pajak parkir, Pemda Kota Bogor yanya memanfaatkan peluang yang diberikan untuk menarik jenis pajak tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Tidak ada inovasi yang dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam menarik jenis-jensi pajak daerah yang baru. Mereka hanya menarik pajak-pajak daerah yang telah secara tegas dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memang merupakan pajak daerah yang diperuntukkan bagi pemerintah daerah kota. Ketiadaan inovasi ini terkait dengan sulitnya mengidentifikasi objek-objek pajak daerah yang baru. Hasil temuan dilapangan mengindikasikan bahwa Pemda Kota Bogor merasakan sangat sulit untuk memperoleh objek yang dapat dikenakan pajak daerah di wilayah Daerah Kota. Selain itu, hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan Pemda Kota Bogor adalah mereka tidak ingin membebankan warga masyarakat dengan beragam pajak daerah baru yang dapat mengganggu aktivitas warga masyarakat, terutama pajak daerah yang dapat mendistorsi kegiatan ekonomi di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor beranggapan bahwa penerapan beragam pajak daerah baru belum tentu tepat untuk dikenakan, karena potensi masing-masing daerah berbeda serta masing-masing daerah berhak dan memang diperkenankan untuk menarik beragam pajak daerah sepanjang sesuai, tidak bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam memanfaatkan peluang yang tersedia dengan diimplementasikannya UU No. 34/2000, Pemda Kota Bogor dapat saja melakukan hal serupa dengan menetapkan dan menarik beragam jenis pajak daerah dan retribusi baru. Namun demikian pemanfaatan ini hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Sebagai ilustrasi, pemanfaatan ini dapat dikenakan terhadap sektor-sektor yang masih memiliki potensi dan memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kota Bogor.6
6 Rincian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga Konstan Tahun 1999-2001 terlampir pada lampiran.
Tabel 3. Persentase Kontribusi Sektor menurut Lapangan Usaha terhadap PDRB Kota Bogor atas dasar Harga Konstan Tahun 1999-2001
No. Jenis Sektor Tahun
1999 2000 2001* 2002**
1. Pertanian 0,40 0,41 0,41 0,39
2. Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00
3. Industri Pengolahan 25,66 25,89 26,07 26,16
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,45 4,45 4,50 4,55
5. Bangunan 8,66 8,44 8,28 8,07
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 29,92 29,59 29,34 29,01
7. Pengangkutan dan Komunikasi 10,74 10,87 10,94 11,04
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 10,89 11,30 11,69 12,14
9. Jasa-jasa 9,28 9,05 8,78 8,64
Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Bogor dalam Angka 2002, diolah kembali. Keterangan: * Angka Perbaikan.
** Angka Sementara.
Dari data kontribusi diatas, maka dapat dilihat bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap kegiatan ekonomi yang ada di Kota Bogor. Secara berturut-turut tiga sektor lainnya yang juga memberikan kontribusi diatas 10 % terhadap kegiatan ekonomi di Kota Bogor adalah Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; dan Sektor Jasa-jasa. Dari kontribusi yang diberikan dari sektor-sektor tersebut pada PDRB Kota Bogor, kiranya Pemda dapat memanfaatkan peluang yang ada di sektor-sektor dimaksud untuk mengoptimalkan pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah dengan mengenakan sejumlah retribusi daerah maupun pajak daerah yang relevan dan terkait dengannya7. Kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap perolehan PDRB Kota Bogor yang cukup besar ini sangat terkait dengan potensi pariwisata yang dimiliki oleh Kota Bogor dan posisi Kota Bogor yang relatif dekat dengan Ibukota Negara.
Hal lain yang menjadi peluang yang memberikan keleluasaan daerah dalam menarik pajak daerah dan retribusi daerah baru sejalan dengan diberlakukannya UU No.
7 Sebagai Informasi saat ini Pemda Kota Bogor sedang menunggu pengesahan sejumah retribusi yang terkait dengan sektor-sektor yang memberikan kontribusi cukup besar pada PDRB, seperti Retribusi di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan, dan Retribusi Perizinan di Bidang Perindustrian dan Perdagangan.
22/1999, UU No. 25/1999 serta UU No. 34/2000 adalah mengenai mekanisme pengawasan atas perda-perda baru yang mengatur penarikan pajak daerah dan retribusi daerah. Mekanisme pengawasan ini mengalami penyederhanaan yang sangat menguntungkan pemerintahan daerah. Dalam hal penetapan perda-perda baru, termasuk didalamnya perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah daerah tidak perlu lagi melakukan mekanisme pengesahan dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini terkait dengan perubahan mekanisme pengawasan preventif menjadi mekanisme pengawasan yang represif. Dalam mekanisme yang berlaku sesuai dengan UU No. 22/1999, peraturan daerah perlu disampaikan selambat-lambatnya 15 hari setelah ditetapkan serta tidak ada mekanisme pengesahan dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Walaupun terjadi perubahan mekanisme pengawasan atas peraturan-peraturan daerah, pengawasan terhadap peraturan-peraturan daerah yang mengatur tentang pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tetap dijalankan. Untuk perda jenis ini, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan perda yang telah dibuat dan siap diterapkan oleh daerah kabupaten/kota dengan memperhatikan pertimbangan rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka memberikan rekomendasi ini, Menteri Keuangan telah mengeluarkan sejumlah surat rekomendasi, antara lain:
Tabel 4. Beberapa Surat Rekomendasi Menteri Keuangan dalam rangka Pembatalan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
No. Nomor Surat Menteri Keuangan Tgl. Surat Jumlah perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan
1. S-486/MK.07/2001 2 November 2001 69
2. S-523/MK.07/2001 12 Desember 2001 12
3. S-70/MK.07/2002 14 Maret 2002 40
4. S-26/MK.07/2002 18 Desember 2002 52
5. S-006/MK.07/2003 17 Januari 2003 1
6. S-184/MK.07/2003 20 Mei 2003 1
7. S-018/MK.07/2003 30 Juni 2003 33
8. S-025/MK.07/2003 29 Agustus 2003 3
9. S-026/MK.07/2003 29 Agustus 2003 11
10. S-030/MK.07/2003 12 November 2003 1
11. S-0
31/MK.07/2003 12 November 2003 2
12. S-011/MK.07/2004 14 April 2004 1
Jumlah 226

Sumber : data primer, diolah.
Sejumlah alasan telah diberikan oleh Menteri Keuangan sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dibuat dan siap diimplementasikan oleh daerah kabupaten/kota. Beberapa alasan pembatalan perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut antara lain adalah :8
1 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah dapat menghambat/merintangi arus barang dan jasa, baik antar daerah maupun untuk kepentingan ekspor-impor.
2 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi, karena dapat menambah unsur biaya yang berpotensi meningkatkan harga jual barang dan jasa yang dikenakan kepada konsumen.
3 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah tumpang tindih dengan pungutan resmi lainnya, baik yang dikenakan oleh pemerintah pusat maupun tingkatan pemerintahan daerah lainnya (seperti Provisi Sumber Daya Hutan, PPN, dan PBB).

8 Analisis terhadap Surat Rekomendasi Menteri Keuangan No. S-486/MK.07/2001, No. S-523/MK.07/2001, No. S-70/MK.07/2002, No. S-26/MK.07/2002, No. S-006/MK.07/2003, No. S-184/MK.07/2003, No. S-018/MK.07/2003, No. S-025/MK.07/2003, No. S-026/MK.07/2003, No. S-030/MK.07/2003, No. S-031/MK.07/2003, dan No. S-011/MK.07/2004.
1 Pungutan atas pajak daerah dan retribusi daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih teknis, perundang-undangan sektoral (misalnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
2 Pengenaan retribusi daerah tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
3 Pengenaan retribusi daerah yang satu tumpang tindih dengan retribusi lainnya.
4 Pengenaan retribusi daerah tumpang tindih dengan pengenaan pajak daerah.
5 Retribusi daerah dikenakan terhadap pelayanan umum yang seharusnya dibiayai oleh penerimaan umum.
6 Pengenaan pungutan retribusi tidak terkait dengan pengendalian dan pemberian izin oleh pemerintah daerah karena tidak ada kepentingan umum yang perlu dilindungi.
7 Pungutanretribusi daerah lebih bersifat pajak dibandingkan dengan sifat atau karakteristik retribusi.
8 Pungutan yang bersifat retribusi terhadap beragam bentuk sumbangan bertentangan dengan kepentingan umum, sebab seharusnya sumbangan itu bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan.
9 Pengenaan pungutan, baik berbentuk pajak daerah maupun retribusi daerah, tidak efektif.
10 Jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah, yang dikenakan retribusi daerah, tidak memberikan manfaat secara langsung (nyata) dan/atau khusus bagi pembayar retribusi daerah.

Dalam proses penetapan perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, Pemda Kota Bogor beserta lembaga legislatif di daerah memanfaatkan mekanisme pengawasan ini dengan optimal. Keleluasaan yang diperoleh terkait dengan proses pengawasan dipergunakan dalam melakukan proses penyusunan perda. Walaupun ada keleluasaan, rambu-rambu perundang-undangan tetap diperhatikan oleh eksekutif maupun legislatif di Daerah Kota Bogor. Dalam melakukan proses penyusunan raperda maupun pembahasannya sehingga dapat menghasilkan perda, mereka memperhatikan ketentuan yang ada yang terkait dengan pajak daerah maupun retribusi daerah yang akan dikenakan kepada warga masyarakat. Mereka tidak ingin perda yang dihasilkan akan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Mereka melakukan interpretasi yang cukup cermat atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perda yang sedang mengalami pembahasan.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi patokan bagi Pemda Kota Bogor untuk menerbitkan perda baru yang mengatur jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah. Hal ini didasari pertimbangan agar perda yang telah ditetapkannya tidak bertabrakan dengan peraturan dan kebijakan nasional, terutama di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Sejumlah parameter itu antara lain adalah :
1 Peraturan daerah harus mengatur dengan jelas jenis pungutan yang akan dikenakan.
2 Pungutan yang dikenakan, terutama terkait dengan retribusi daerah, harus dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.
3 Pelayanan yang dikenakan maupun mekanisme perizinan yang dikenakan retribusi bukanlah pelayanan atau mekanisme perizinan yang diada-adakan, namun memang merupakan pelayanan dan mekanisme perizinan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pemda.
4 Dalam rangka melakukan penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan daerah yang telah diberlakukan selama ini.

Pemda Kota Bogor terlihat sangat hati-hati dalam mengeluarkan perda dalam rangka merespon kebijakan yang memberi keleluasaan dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Walaupun sudah memiliki tingkat kehati-hatian yang cukup tinggi, masih saja terjadi mis-interpretasi. Hal ini ditandai dengan dibatalkannya dua produk perda yang mengatur tentang retribusi daerah.
Walaupun telah memiliki sejumlah parameter seperti telah disebutkan diatas, dalam dua kasus perda (Perda No. 4/2001 dan Perda 7/2001) Pemda Kota Bogor harus melakukan pembatalan pemberlakuan perda yang telah ditetapkannya. Dari analisis yang dilakukan ditemukan bahwa penyebab utama dari pembatalan kedua perda ini adalah ketidaksamaan persepsi terhadap pemahaman peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Ketidaksamaan pemahaman ini terutama terjadi dalam memahami kriteria untuk menetapkan dan menarik jenis-jenis retribusi daerah baru selain yang secara tegas telah digolongkan ke dalam tiga kategori yang ada.
Berdasarkan analisis terhadap sejumlah pajak daerah dan retribusi daerah yang ada dan surat rekomendasi yang diberikan oleh Menteri Keuangan, terdapat suatu fenomena menarik. Fenomena ini juga terlihat di Daerah Kota Bogor. Dimana fenomena tersebut adalah semangat daerah yang sangat menggebu-kebu, bahkan cenderung kebablasan, dalam memanfaatkan keleluasaan yang diberikan kepadanya untuk menarik beragam jenis pajak daerah dan retribusi daerah, sementara di pihak lain terjadi ketidaksepahaman antara pemerintah pusat daerah kabupaten/kota dalam melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang memberikan keleluasaan kepada daerah kabupaten kota untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya benturan antara perda yang telah ditetapkan oleh daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih tinggi tingkatannya.
Besarnya semangat ini terlihat dari beragamnya perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Keberagaman yang sangat nyata dapat dilihat dari beragamnya jenis-jenis retribusi daerah dipungut oleh daerah kota/kabupaten dalam kurun waktu 2001-2004. Sedangkan untuk pajak daerah, sejumlah daerah juga menerapkan beragam jenis pajak, namun tidak seberagam jenis-jenis retribusi daerah yang ada. Beragam jenis retribusi daerah dan pajak daerah ini banyak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pemerintah daerah kabupaten/kota berpendapat dengan diberikannya keleluasaan seluas-luasnya, mereka dapat menarik jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah yang sesuai dengan potensi yang ada dan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sementara itu, pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan rambu-rambu yang dapat dilihat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada untuk membatasi keleluasan yang dimiliki oleh daerah kabupaten/kota dalam menarik jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah. Pemerintah pusat berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan tersebut perlu diindahkan agar jenis-jenis pajak daerah serta retribusi daerah tidak menimbulkan masalah-masalah yang tidak perlu dalam penerapannya, misalnya perda-perda tersebut mendistorsi kegiatan ekonomi di daerah dan memberatkan beban yang harus dit
anggung oleh masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya ketidaksamaan pemahaman antara daerah kabupaten/kota terhadap pengaturan tentang penarikan pajak daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan saat ini, perlu diambil langkah yang tepat. Salah satu langkah yang tepat adalah melakukan pembenahan institusional dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada serta melakukan sosialisasi yang tepat terhadap produk-produk hukum tersebut. Penyempurnaan dilakukan dengan cara semakin memperjelas aturan main (rules of the games) dalam menetapkan serta menerapkan jenis-jenis retribusi baru maupun jenis-jenis pajak baru. Kejelasan ini pun harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas disertai dengan konsistensi pelaksanaan aturan main. Setelah kerangka institusional ini disempurnakan, aturan-aturan main ini harus disosialisasikan dengan baik kepada daerah-daerah.
Penyusunan ataupun penyempurnaan rules of the game ini bukanlah dalam artian kembali membatasi jumlah pajak daerah maupun retribusi daerah yang dapat dipungut maupun mempersulit daerah dengan mempersempit ruang geraknya dalam memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru. Daerah tetap perlu diberikan kemampuan dan ruang gerak yang lebih bebas untuk memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru. Namun, aturan yang memungkinkan hal ini perlu semakin diperjelas.
Penutup
Dari hasil analisis semua perda yang mengatur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dalam kurun waktu 2001-2003 di Kota Bogor, sejumlah kesimpulan dapat dibuat, yaitu :
1. Pola yang terjadi dan dilakukan oleh Pemda Kota Bogor dalam merespon kebijakan desentralisasi fiskal dalam memungut jenis-jenis pajak daerah maupun retribusi daerah baru dapat dikategorisasi dalam tiga kategori. Pembagian kategori tersebut adalah (a) Menyusun perda baru untuk merespon perubahan ketentuan penarikan jenis pajak daerah maupun retribusi daerah yang diatur dalam UU No. 34/2000 serta
peraturan pelaksananya, seperti memisahkan pengaturan yang mengatur pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran; (b) Menyusun perda baru untuk merespon dimungkinkannya penarikan jenis pajak daerah maupun retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 34/2000 serta peraturan pelaksananya, antara lain dengan menyusun perda yang mengatur pemungutan kembali jenis retribusi yang telah dicabut pada saat diimplementasikannya UU No. 18/1997 serta menyusun perda retribusi daerah baru yang terkait dengan kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah kabupaten/kota; dan (c) Menyusun perda baru untuk merespon perubahan ketentuan yang disusun oleh pemerintah daerah dengan dilahirkannya perda baru yang memayungi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
2 Dalam memanfaatkan pelaksanaan kebijakan fiskal berdasarkan UU No. 34/2000, Pemerintah Daerah Kota Bogor masih melakukan penyimpangan dalam menetapkan peraturan daerah guna merespon kesempatan yang ada untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
3 Dari data yang diperoleh, Pemda Kota Bogor masih dimungkinkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan yang diberikan untuk menarik pungutan pajak daerah dan retribusi daerah baru.
4 Di sejumlah daerah, masih terjadi ketidaksamaan pemahaman antara pemerintah pusat dan daerah atas pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah dengan mengaturnya dalam suatu peraturan daerah.

Daftar Pustaka
Buku-buku
Bird, Richard & Francois Vaillancourt (Ed.)., Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama 2000.
Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989
Iksan, M. dan Salomo, Roy V.. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN Press, 2002.
Kaho, Josef Riwu. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Koswara, E.. Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Jakarta: Yayasan Pariba, 2001.
Patersen, John F. dan Strachoto, Dennis F. (Eds.). Local Government Finance: Concepts and Practices. Chicago, Illinois, USA: Government Finance Officers Association, 1991.
Smith, B. C.. Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: George Allen & Unwin. 1985.
Artikel dan Makalah
Azfar, Omar. et. all.. “Decentralization, Governance, and Public Services The Impact of Institutional Arrangement: A Review of the Literature”. Working Paper. Maryland, USA: IRIS Center, University of Maryland, College Park, September 1999.
Bird, Richard dan Wallich, Christine. “Fiscal Decentralization and Intergovernmental Relations in Transition Economies: Toward a systemic framework of analysis”. Working Paper. Washington: World Bank Working Paper No. 1122 WPS, March, 1993.
Bahl, Roy. “Implementation Rules for Fiscal Decentralization”. Working Paper. Atalanta, Georgia: International Studies Program, School of Policy Studies, Georgia State University, Working Paper No. 99-1, January, 1999.
Bϋntjen, Cludia. Fiscal Decentralization in Indonesia: The Challenge of Designing Institutions. Laporan. Laporan P4D 1988-11. Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi (P4D)/Support for Decentralization Measures (SfDM), Kerjasama antara Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan Deutsche Gesellschaft fϋr Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 1998
Bird, Richard M.. “Rethinking Subnational Taxes: A New Look at Tax Assignment”. Working Paper. International Monetary Fund Working Paper No. 165/1999. Washington D.C.: International Monetary Fund, 1999.
Cochrane, Glynn. Policies For Strengthening Local Government In Developing Countries. Working Paper. World Bank Staff Working Paper No. 582. Management and Developing Series No. 9. Washington D.C.: The World Bank, 1983
Ebel, Robert D. dan Yilmaz, Serdar. “Intergovernmental Relations: Issues in Public Policy”. Paper, presented at Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management, A Partnership of The Asian Development Bank and World Bank Institute in Manila, October 11-15 1999. Washington D.C.: World Bank Institute, 1999.
McLure, Jr., Charles E.. “The Tax Assignment Problem: Conceptual and Administrative Considerations in Achieving Subnational Fiscal Autonomy”. Paper presented at the Seminar on Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management organized by the National Economic and Social Development Board of the Royal Thai Government and World Bank, Chiang Mai (Thailand), February 24 – March 5, 1999
North, Douglass C.. “Institution and a transaction-cost: Theory of exchange.” Dalam James E. Alt dan Kenneth A. Shepsle (Eds.). Perspective on Positive Political Economy. New York: Cambridge University Press, 1994.
Rondinelli, Dennis A.. “Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience”. Paper. World Bank Working Paper Series No. 581, Management and Development Series No. 8, July 1983. Washington D.C.: The World Bank, 1983.
__________________. What Is Decentralization ?. Dalam Jennie Litvack dan Jessica Seddon (Eds.). Decentralization: Briefing Note. World Bank Institute. 2nd Printing. Washington D.C.: The World Bank, 2000.
Vito Tanzi. “Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization”. Working Paper. Working Paper No. 19, Global Policy Program, Economic Reform Project. Washington D.C.: Carnegie Endowment for International Peace, 2001.
United Nations (DDMS and UNDP). Report. Report of The United Nations Global Forum on Innovative Policies and Practices in Local Governance, Gothenburg, Sweden, 23-27 September 1996.
Prud’homme, Remy. The Dangers of Decentralization. Dalam The World Bank Research Observer. Vol. 10, No. 2 (August 1995). Washington D. C.: International Bank for Reconstruction and Development/World Bank, 1995.

BUDAYA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK

BUDAYA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Oleh : Drs. Agus Suryono. MS

A. Pengantar
Sinyalemen terhadap ketidak berdayaan administrasi negara melalui birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai “Krisis Identitas” yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi administrasi negara sebagai ilmu (science) ataukah sebagai praktek (art). Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam praktek-praktek administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal, spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi negara tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum. Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya studi perbandingan administrasi negara (atau studi perbandingan birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidak adilan sosial, terutama yang terjadi dinegara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Produk dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966) yang bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah timur. Salah satu orientasinya adalah bagaimana administrasi negara mampu mengembangkan dirinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, terutama dalam hal pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan (responsebelity), memiliki daya tanggap yang kuat (responsivity) dan mampu mewakili kepentingan masyarakat (representativity) berdasar ketentuan hukum dan aturan yang berlaku dengan pancaran hati nurani (akuntabelity) . Oleh sebab itu, pergeseran pemikiran administrasi semacam ini seharusnya tidak hanya membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia dari organisasi birokrasi itu saja, tetapi yang lebih penting bagaimana perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia organisasi birokrasi mampu diikuti oleh perubahan kultur organisasi birokrasi dan perilaku manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Apabila perubahan ini dapat terwujud, maka apa yang diharapkan dalam orientasi efektivitas pelayanan publik, Insyaallah akan dapat tercapai.
B. Adakah Teori Pelayanan Publik ?
Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara. Hal yang bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya.
Dipihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992; Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994). Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1 Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual)
2 Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3 Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda
4 Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik
5 Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi
6 Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif)

Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.

Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan studi administrasi negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data dilapangan.

Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.
C. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ? Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan ( Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota or
ganisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik. Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis). Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami ! ( Penulis, cenderung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.
D. Efektivitas Pelayanan Publik
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.

Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
E. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik
Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan
Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan
dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau

secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak
dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus
dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang
dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi
masyarakat

(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkahlangkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik; Ketiga : Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat : Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian);Kelima : Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam: Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepulu
h : Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.
F. Kesimpulan
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut. Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).
DAFTAR BACAAN :
Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton University Press.
Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan Publik Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta.
———————, 1995, Kebijaksanaan Pembinaan Organisasi Publik Pada PJP II, Percikan Pemikiran Awal, Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III, Yogyakarta.
Hardjosoekarto, Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomor 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
Heady, Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in Comparative Public Administration, The University of Michigan, Institute of Public Administration, Ann Arbor, Michigan.
Islamy,M.Irfan, 1999, Reformasi Pelayanan Publik, Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dalam Era Globalisasi, di Kabupaten Daerah Tingkat II Trenggalek.
Kristiadi,JB, Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurna Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomer 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
Luthan, Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw Hill Interntional.
Moenir, H.AS, 1998, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan III, Bumi Aksara, Jakarta.
Osborne.D and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government; How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Rending Mass: Addison-Wesley.
Riggs, Fred.W, 1964,Administration in Developing Countries, The Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston.
Rondinelli. DA. 1981, Government Decentralization in Comparative Perspectivve: Theory and Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Science, Volume XLVII, Number 2.
Robbins, Stephen.P, 1996, Perilaku Organisasi, Prenhallindo, Jakarta.
Siffin,William J (ed), 1959, Toward Comparative Study of Public Administration, Indiana University Press, Bloomington, Indiana.
Siagian, Sondang P, 1995, Teori Pengembangan Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta
Steer, Richard.M, 1985, Efektivitas Organisasi, cetakan II, Erlangga, Jakarta.
Thoha, Miftah, 1983, Perilaku Organisasi, Fisipol UGM, Rajawali Press, Jakarta.
Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.